Selamat Datang

Jumat, 18 Juni 2010

PERGESERAN, PERUBAHAN, PEMERTAHANAN BAHASA ANAK PURBALINGGA DAN ANAK KENDAL DI ROMATIQUE KOST

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Oleh karena itu hubungan antara bahasa dan pemakai (penuturnya) perlu untuk dikaji. Ada beberapa kejadian menarik berkaitan dengan hubungan antara bahasa dengan penuturnya. Seperti : a. jumlah penutur pendukung suatu daerah (aspek demografis kebahasaan), b. jumlah variasi bahasa berdasarkan masyarakat penuturnya, c. dan sejumlah segi lainnya yang berkaitan langsung dengan masalah pembinaan dan pengembangan bahasa serta pemertahanan sebuah bahasa.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa pada masyarakat, yakni faktor linguistik dan faktor nonlinguistik. Faktor linguistik berkaitan dengan bahasa itu sendiri sedangkan faktor nonlinguistik berkaitan dengan faktor sosial dan situasional. Faktor sosial misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin. Faktor situasional misalnya siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Faktor sosial dan situasional ini menyebabkan munculnya variasi bahasa.
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh sebagian besar masyarakat atau penduduk di pulau Jawa. Pulau Jawa sendiri terdiri atas banyak wilayah, mulai dari tingkat provinsi, kota/kabupaten, sampai tingkat kecamatan dan kelurahan/desa. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila bahasa Jawa memiliki ragam bahasa regional (dialek) yang bervariasi, misalnya dialek Jogja-Solo, dialek Banyumas, dialek Semarang, dan belum lagi dialek Jawa Timur yang juga masih menggunakan bahasa Jawa. Adanya variasi yang beragam ini mengakibatkan setiap ragam bahasa (dialek) memiliki beberapa perbedaan, mulai dari pelafalan, intonasi, maupun kosakata. Namun berbagai perbedaan itu tidak menyebabkan pemakainya merasa memiliki bahasa yang berbeda, melainkan mereka merasa tetap memiliki bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa.
Sebagaimana telah disebutkan, di antara hal yang mempengaruhi pemakaian bahasa salah satunya adalah tempat, yakni tempat berlangsungnya interaksi lingual atau peristiwa tutur. Berbeda tempat berbeda pula ragam bahasa yang digunakan ataupun variasi bahasa yang dihasilkan. Tempat pun akan menentukan siapa saja pelaku tutur yang ada di sana, dan topik pembicaraan pun tidak akan terlepas dari tempat berlangsungnya peristiwa tutur.
Kost adalah sebuah tempat hunian atau rumah kedua bagi mahasiswa yang rumahnya jauh dari kampus. Dalam kost mereka melakukan interaksi dan komunikasi seperti halnya di mana saja. Dalam sebuah kost juga terdapat anak-anak yang berbeda daerah seperti halnya yang ada di “Romantique kost” ini. Mereka berasal dari beragam daerah di antaranya Kendal dan Purbalingga.
Bahasa ibu acap dipersamakan dengan bahasa daerah, terlebih- lebih dalam masyarakat multilingual dan diglosik seperti Indonesia, dengan pembedaan peran di antara bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah.
Karena bahasa Jawa juga bahasa ibu, perhatian besar mutlak harus diberikan. Hal ini mengingat angka laju kepunahan bahasa Jawa tergolong tinggi.
Di Indonesia sebagian besar masyarakat berdwibahasaan. Namun di samping itu sudah banyak pula bahasa nusantara (bahasa daerah) yang terancam punah bahkan sebelum dilestarikan. Setiap bahasa di dunia ini tidak luput dari tantangan, termasuk bahasa daerah. Tantangan itu perlu diantisipasi dengan perencanaan, pemikiran konseptual, intelektual dan penuh kearifan.
Tantangan yang dimaksud di sini bisa bersifat internal dan bisa juga bersifat eksternal. Tantangan yang bersifat eksternal itu antara lain arus globalisasi. Tantangan internal antara lain datangnya dari pemilik dan penutur bahasa sebenarnya yang bersumber dari sikap, kesadaran berbahasa yang kemudian tercermin dalam perilaku berbahasa. (Pateda, 1990:25-32).
Untuk mempertahankan bahasa daerah, perlu diciptakan strategi. Salah satu strategi tersebut dapat ditempuh melalui jalur pendidikan baik secara formal maupun informal. Bahasa daerah kendal dan purbalingga adalah dua buah bahasa daerah yang mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan.
Anak kendal dan anak purbalingga yang berada di romantik kost kadangkala menggunakan bahasa semarang yang bisa mereka pahami karena jika memakai bahasa daerah mereka masing-masing tidak paham dengan apa yang lawan bicara katakan. Tetapi mereka lebih sering menggunakan bahasa mereka tersendiri. Mereka mencoba menjelaskan arti dari kata-kata yang mereka ucapkan karena mereka ingin mempertahankan bahasa daerah masing-masing. Mereka lebih bangga jika anak-anak lain yang berasal dari daerah lain menirukan bahasa mereka bahkan mengikuti bahasa yang mereka pergunakan.
Berdasar uraian di atas, pembahasan pada karya tulis atau laporan penelitian ini adalah mengenai pergeseran, perubahan, pemertahan bahasa yang digunakan oleh anak Purbalingga dan Kendal di lingkungan kost “Romantique Kost”.

1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana perubahan, pergeseran, pemertahanan bahasa anak Purbalingga dan Kendal yang berada di Romantique Kost?
b. Faktor- faktor apa sajakah yang melatarbelakangi terjadinya perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa pada anak Purbalingga dan anak Kendal di Romantique Kost?

1.3. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa yang dilakukan oleh anak Purbalingga dan Kendal yang berada di Romantique Kost.
b. Mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa pada anak Purbalingga dan anak Kendal di Romantique Kost?


BAB II
LANDASAN TEORI

Konsep-konsep yang digunakan dalam membahas topik pada karya tulis ini meliputi bahasa dan Ragam Bahasa, kajian peristiwa tutur dan tindak tutur, variasi bahasa, bilingualisme, perubahan, pergeseran dan pemertahanan bahasa, dan sikap bahasa.

2.1. Bahasa dan Ragam Bahasa
Pandangan muncul dari linguistic structural dengan tokoh Bloomfield bahwa bahasa adalah system lambing berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan da berinteraksi. Bahasa mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung, dan mengandung unsure-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah. Bahasa sebagai alat komunikasi juga diabaikan. SL memandang bahasa sebagai tingkah laku social (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi. SL meliht bahasa menjadi terpecah-pecah oleh kelompok kecil.
Bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk tekhnologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa, sebagai hasil budaya, mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya.
Ada sejumlah ragam atau variasi bahasa yang disebut dialek. Perbedaan dialek di dalam sebuah bahasa maka ditentukan oleh letak geografis atau regio kelompok pemakainya. Karena itu dialek disebut dialek geografis atau dialek regional. Karena paham dialek adalah bagian dari suatu bahasa, maka timbul paham lanjutan yang mengatakan, pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek lain seperti apa yang akan kita bahasa dalam makalah ini.

2.2. Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokk tuutran, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dell Hymes, seorang pakar sosiolinguisti terkenal menyatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bisa diakronimkan menjadi SPEAKING. Kedelepan komponen itu adalah:
Setting and schene : waktu dan tempat tutur berlangsung serta situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
Participant : pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau penerima dan pengirim.
Ends, purpose and goal : maksud dan tujuan penuturan.
Act sequence : bentuk dan isi ujaran.
Key : nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan.
Instrumentalities : jalur bahasa yang digunakan.
Norm of interaction and interpretation : norma atau aturan dalam berinteraksi.
Genre : jenis bentuk penyampaian.

Fishman juga merumuskan komponen tutur sebagai pokok pembicaraan sosiolinguistik, yaitu “who speak, what language, to whom, when, and what end.”. Poedjosoedarmo (Rahardi, 2001:36) menuturkan tiga belas komponen yang ada dalam sebuah tuturan. Ketigabelas komponen itu antara lain pribadi si penutur atau orang pertama, anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak bicara, kehadiran orang ketiga, maksud dan kehendak si penutur, warna emosi si penutur, nada suasana bicara, pokok pembicaraan, urutan bicara, bentuk wacana, sarana tutur, adegan tutur, lingkungan tutur, dan norma kebahasaan lainnya.
Peristiwa tutur merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti telah disebutkan, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu prosesm yaitu proses komunikasi (Chaer dan Agustina, 2004 : 47-50).
Pada penelitan ini, peristiwa dan tindak tutur yang diteliti adalah peristiwa dan tindak tutur yang berlangsung di lingkungan kost “Romantique kost” antara orang Purbalingga dan orang Kendal.

2.3. Variasi Bahasa
Sebagai sebuah langue, bahasa mempunyai sebuah sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu, namun karena penutur bahasa tersebut bukan merupakan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret (parole) menjadi tidak seragam, bahasa menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa bukan hanya disebabkan oleh penuturnya yang tidak homogen tetapi juga karena interaksi sosial yang beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu.
Ada dua pandangan dalam variasi bahasa. Pertama, variasi atau ragam bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur dan keragaman fungsi bahasa itu. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, maka tidak ada variasi atau keragaman bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan tersebut dapat saja diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa dapat diklasifikasikan berdasar adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial (Chaer dan Agustina, 2004 : 62). Hartman dan Stork (1972) membedakan variasi berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan.


2.4. Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa indonesia berarti kedwibahasaan. Secara sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73 dalam Chaer dan Agustina, 2004 : 84).
Macnamara (Rahardi, 2001:14) mengusulkan batasan bilingualisme sebagai pemilikan penguasaan (mastery) atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua kendatipun tingkat penguasaan bahasa yang kedua itu hanyalah pada batas yang paling rendah. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Haugen yang menyatakan bahwa bilingualisme dapat diartikan sebagai sekadar mengenal bahasa kedua.
Bilingualisme merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai bahasa ibu, bahasa pertama (B1) dengan bai, ditambah sedikit tahu akan B2 (bahasa setelah bahasa pertama), dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1.Mengenai kapan harus digunakan B1 dan B2 bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Bahasa dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Kendal. Dalam penelitian ini adanya bilingualisme ragam bahasa Jawa antara Kendal dan Purbalingga.

2.5. Perubahan, Pergeseran, dan Pemertahanan Bahasa
Perubahan bahasa menyangkut soal bahasa sebagai kode, di mana sesuai dengan sifatnya yang dinamis, dan sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Pergeseran bahasa menyangkut masalah mobilitas penutur, di mana sebagai akibat dari perpindahan penutur itu dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa, seperti penutur yang tadinya menggunakan bahasa ibu kemudian menjadi tidak menggunakannya lagi. Sedangkan pemertahanan bahasa lebih menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya.

2.5.1. Perubahan Bahasa
Perubahan bahasa tidak dapat diamati karena yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu yang relatif terbatas.
2.5.1.1. Perubahan Fonologi
Perubahan fonologi dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada fonem /f/, /x/, dan /s/. Dulunya belum dimasukkan dalam khazanah fonem bahasa Indonesia tetapi kini telah menjadi bagian dalam khazanag bahasa Indonesia.
2.5.1.2. Perubahan Morfologi
Perubahan bahasa dapat juga terjadi dalam bidang morfologi, yakni dalam proses pembentukan kata. Dalam bahasa Indonesia ada proses penasalan dalam proses pembentukan kata dengan prefiks me- dan pe-. Kaidahnya adalah: (1) Apabila kedua prefiks itu diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /l/, /r/, /w/, dan /y/ tidak ada terjadi penasalan; (2) kalau diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /b/ dan /p/ diberi nasal /na/; (3) bila diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /d/ dan /t/ diberi nasal /n/; (4) kalau diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /g/, /k/, /h/ dan semua vokal diberi nasal /ng/.
2.5.1.3. Perubahan Sintaksis
Menurut kaidah sintaksis yang berlaku sebuah kalimat aktif transitif harus selalu mempunyai objek, atau dengan rumusan lain, kata kerja transitif harus selalu diikuti oleh objek. Tetapi dewasa ini kalimat aktif transitif banyak yang tidak dilengkapi objek.
2.5.1.4. Perubahan Kosakata
Perubahan bahasa yang paling mudah adalah pada bidang kosakata. Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna. Penambahan kata-kata baru selain dengan cara menyerap dari bahasa lain, dapat juga dilakukan dengan proses penciptaan.
2.5.1.5. Perubahan Semantik
Perubahan semantik yang umum adalah berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas, atau juga menyempit. Perubahan makna total maksudnya kalau dulu kata itu artiya A sekarang berubah menjadi B. Perubahan makna yang meluas maksudnya dulu kata tersebut hanya memiliki satu makna tetapi sekarang memiliki lebih dari satu makna. Perubahan makna yang menyempit maksudnya kalau pada mulanya kata itu memiliki makna yang luas, sekarang maknanya menjadi lebih sempit.
Wardhaught (1990) membedakan adanya dua macam perubahan bahasa, yaitu perubahan internal dan perubahan eksternal. Perubahan internal terjadi dari dalam bahasa itu sendiri, seperti berubahnya sistem fonologi, sistem morfologi, atau sistem sintaksis. Sedangkan perubahan eksternal terjadi sebagai akibat adanya pengaruh dari luar, sepserti peminjaman atau penyerapan kosakata, penambahan fonem dari bahasa lain, dan sebagainya.

2.5.2. Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa itu.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran atau transmigran untuk mendatanginya. Hampir semua kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alihgenerasi (intergenerasi), menyangkut lebih dari satu generasi. Dengan kata lain, jarang terjadi sejumlah besar individu dalam suatu masyarakat menanggalkan bahasa dan mengganti dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya. Setiap dwibahasa mempunyai resiko bahasa yang satu kadang-kadang hilang. Bahasa dalam guyup ekabahasa sebenarnya pasti dapat dipertahankan sepanjang keekabahasaan itu tetap jaya. Banyak juga guyup dwibahasa tetapi dwibahasa selama beberapa puluh atau ratus tahun, sehingga keberadaan kedwibahasaan kemasyarakatan tidak selalu berarti akan terjadi pergeseran. Pergeseran bahasa melalui kedwibahasaan, tetapi faktor-faktor pendorong lain juga harus dicari.
Salah satu faktor itu adalah migrasi atau perpindahan penduduk, yang bisa berwujud dua kemungkinan. Pertama, kelompok-kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara lain yang tentu saja menyebabkan bahasa mereka tidak berfungsi di daerah baru. Kedua, gelombang besar penutur bahasa bermigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk menyebabkan penduduk setempat terpecah dan bahasanya tergeser (Sumarsono 2002:235).
Pergeseran bahasa kadang-kadang disebut kepunahan bahasa, terutama kalau kelompok yang sedang bergeser bahasanya itu tinggal satu-satunya orang di dunia. Pergeseran bahasa akan terjadi hanya kalau, dan seberapa jauh, suatu guyup menghendaki untuk menghilangkan identitasnya sebagai kelompok sosiokultural yang dapat diidentifikasi sendiri demi identitas sebagai bagian dari guyup lain.
Prasyarat nyata bagi pergeseran bahasa adalah kedwibahasaan, tetapi banyak masyarakat dwibahasa, diglosianya benar-benar stabil. Barangkali tanda awal pergeseran adalah bergeraknya satu bahasa (B2, bahasa baru, bahasa dominan) ke dalam ranah yang semula memakai bahasa lain. Bahasa yang sedang bergeser itu mungkin akan dianggap atau dipandang rendah dibandingkan dengan bahasa baru, bahkan mungkin dipandang lebih rendah dari satu atau lebih ragam bahasa dari bahasa yang sama. Bisa jadi terdapat ketidakseimbangan dalam peminjaman bahasa: kata-kata dari bahasa baru bebas dipinjam oleh bahasa lama, tetapi arah yang sebaliknya sangat jarang.



2.5.3. Pemertahanan Bahasa
2.5.3.1 Konsep Pemertahanan Bahasa
Keanekaragaman bahasa merupakan gejala yang dapat menumbuhkan persaingan antar bahasa sehingga memungkinkan bahasa-bahasa tertentu tidak sanggup bertahan selama persaingan mengakibatkan terjadi kepunahan bahasa.
Bagi peneliti sosiolinguistik, keanekaragaman bahasa yang berkaitan dengan pemertahanan dan kepunahan bahasa merupakan masalah yang menarik untuk dibicarakan, (Sumarsono, 1955:173). Mengatakan membahas pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa artinya adanya interaksi bahasa menimbulkan adanya upaya pemertahanan. Jika hal tersebut gagal, maka bahasa yang mengalami pergeseran itu akan perlahan-lahan menjadi punah.
Pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa sebesarnya merupakan dua sisi mata uang. Satu sisi bahasa yang menggeser kepada bahasa lain atau bahasa yang tergeser oleh bahasa lainnya. Bahasa yang bergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan dirinya. Pemertahanan dan pergeseran bahasa berkaitan dengan perencanaan bahasa ( Eastman,1983:32).
Hal tersebut diatas mengisyaratkan pemertahanan bahasa sangat erat dengan pilihan bahasa yang dipergunakan (language choise), (Eastman:1983:142). Studi pemertahan bahasa (language maitenance) dan pergeseran bahasa (language shift) memandang kepada ;
1. Bahasa yang digunakan yang berhubungan dengan situasi
2. Proses sosial, budaya dan psikologis yang berhubungan dengan pergeseran bahasa, dan
3. Perilaku yang mempengaruhi perubahan bahasa. Hal tersebut di atas mengisyaratkan pemertahanan bahasa yang digunakan (language choise).


2.5.3.2. Strategi Pemertahanan Bahasa
Yang dimaksud strategi pemertahanan bahasa daerah adalah cara atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menjadikan suatu bahasa bertahan dalam suatu masyarakat yang multikultural.
Thomson (1983:33-35), menyatakan bahwa upaya untuk menyelamatkan bahasa adalah :
1. Menetapkan bahasa nasional secara yuridis
2. Menjadikannya bahasa sebagai bahasa dalam proses pengajaran
3. Mempergunakannya dalam aktivitas pelayanan masyarakat
4. Menetapkannya sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan
5. Mendirikan lembaga/departemen yang khusus menangani masalah bahasa.
Disisi lain bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang telah diakui secara yudiris telah ditetapkan dan diperlakukan suatu strategi aplikasi, artinya segala program perencanaan bahasa dapat berjalan dengan baik. Ada dua faktor yang mempengaruhi pemertahanan suatu bahasa yakni, a). eksternal (lingkungan masyarakat dan alam) dan b). faktor internal meliputi konsentrasi penutur, sikap penutur (Sumarsono, 1993:142-154).
Untuk mencegah terjadinya pemunahan bahasa, maka diperlukan kiat-kiat atau strategi penagukangannya. Dalam hal ini layak dipertimbangkan perencanaan bahasa. (Moeliono,1985:5-11), melihat pembahasan dari tiga hal, yakni a. Perencanaan fungsional, b. Perencanaan sebagai proses, c. Penamaan yang bervariasi.
Perencanaan dilihat dari segi proses meliputi tiga kegiatan , yakni a. perencanaan, b. pelaksanaan, c. penilaian. (Fasold, 1984:254). Sementara itu klose (dalam fishman, 1974:112), mengidentifikasi dimensi bahasa yang meliputi a. Korpus bahasa, b. Status bahasa, dan c.Aspek bahasa yang mempengaruhi perkembangan bahasa, misalnya ekonomi dalam kaitan dengan dimensi-dimensi ini, Jernudd dan Eastman (1983:146-147), menyebutkan kegiatan perencanaan bahasa yang meliputi a. Kodifikasi, b. Regularisasi, c. Simplikasi , d. Perifikasi , e.Elaborasi, f. Implementasi dan g. Evaluasi.

2.5.3.3. Pengajaran Bahasa Daerah
Pengajaran bahasa daerah juga adalah salah satu strategi untuk mempertahankan bahasa sebagai strategi pembinaan dan pengembangan bahasa daerah dapat diperoleh melalui pengajaran bahasa daerah.
Berdasarkan penjelaskan UUD 1945, pasal 36, bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Oleh karena itu, bahasa daerah perlu dipertahankan dan dilindungi. Bahasa daerah secara yuridis telah ditetapkan, konsekwensinya pendidikan formal sudah seharusnya melindungi dan menyelamatkan bahasa daerah.
Bahasa daerah merupakan alat komunikasi yang alami bagi peserta didik, dan merupakan pengalaman batiniahnya. Pemakaian bahasa daerah sangat cocok untuk mewariskan nilai-nilai dan pengalaman yang sifatnya tidak formal, misalnya santun berbicara, bergaul dan berpakaian dll. Bahasa daerah diasosiasikan dengan proses berpikir, rasa identitas diri dan solidaritas dengan keluarga dan lingkungan sampai menjadi simbol kebanggaan regional dan nasional. Oleh karena itu idealnya para pengajar khususnya di sekolah dasar kelas I sampai kelas III, dapat memberikan pengetahuan-pengetahuan dasar dalam bahasa itu (bahasa daerah), namun hal ini kelihatannya kurang berterima di lingkungan yang multilingual.
Keberadaan bahasa daerah berpeluang untuk bertahan namun berpeluang juga untuk punah, artinya jumlah penutur suatu bahasa daerah kurang berimbang sesuai dengan pemertahanan bahasa daerah. Peluang bahasa daerah untuk bertahan sangat kecil karena banyaknya penutur daerah yang tidak memiliki lembaga tertentu untuk pemertahanan bahasa daerah.
Keluarga-keluarga Jawa harus menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian dalam ranah kekeluargaan dengan penuh kesadaran. Juga, dalam domain kekerabatan Jawa dengan sesama warga yang masih mampu berbahasa Jawa. Artinya pula, bahasa Jawa harus dijaga ketat pemakaian dalam ranah-ranah yang masih memungkinkan digunakan untuk peranti pemertahanan bahasa Jawa.
Hanya sedikit pemertahanan bahasa yang berkaitan dengan pnduduk yang menetap-tidak karena imigrasi.

2.5.4. Sikap Bahasa
Sikap bahasa merupakan proses kejiwaan dan merupakan bagian dari sikap pada umumnya. Bentuk sikap ini tidak dapat diamati secara langsung, tetapi hanya melalui perilaku. Sikap bahasa dapat diamati antara lain melalui perilaku bahasa atau perilaku tutur. Sikap bahasa cenderung mengacu bahasa sebagai suatu sistem (langue) sedangkan perilaku tutur lebih cenderung mengacu kepada pemakaian bahasa secara konkret (parole).
Menurut Ditumar (1976:181) pengertian sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri-ciri antara lain meliputi: pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan-perbedaan dialektual dn problem-problem yang timbul sebagai akibat adnya interaksi antara individu.
Garvin dan Mathiot (1968) mengemukakan tiga ciri sikap bahasa, yaitu:
1. Kesetiaan Bahasa (language loyalti) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
2. Kebanggan Bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
3. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung). Tujuan menggunakan metode inni adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitiaan dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. (Travers dalam Sevilla, 1993:71). Gay mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai kegiatan pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Pada penelitian ini, metode yang digunakan di antaranya adalah metode deskriptif di mana penelitian ini semata-mata hanya mendeskripsikan perubahan, pergeseran, dan pemertahanan bahasa yang terjadi di “Romantique Kost”.
Di samping metode deskriptif, pendekatan lain yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif biasa dilawankan dengan dengan penelitian kuantitatif dengan alasan bahwa dalam kegiatan ini peneliti tidak menggunakan angka dalam pengumpulan data dan dalm memberikan penafsiran terhadap hasilnya. Namun demikian tidak berarti bahwa dalam penelitian kualitatif ini peneliti sama sekali tidak diperbolehkan menggunakan angka. Dalam hal-hal tertentu, misalnya menyebutkan jumlah anggota keluarga, banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk belanja sehari-hari ketika menggambarkan kondisi sebuah keluarga, tentu saja bisa. Yang tidak tepat adalah apabila dalam mengumpulkan data dan penafsirannya peneliti menggunakan rumus-rumus statistik (Arikunto, 2006:12). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena data yang diperoleh pada penelitian ini bukan merupakan data yang berwujud angka-angka, analisisnya juga tidak menggunakan rumus-rumus statistik.

3.2. Data dan Sumber Data
Dari sumber SK Menteri P dan K No.0259/U/1977 tanggal 11 Juli 1977 disebutkan bahwa data adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi. Sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan. Data atau variabel pada penelitian ini berupa percakapan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes yang dilakukan di lingkungan kampus.
Yang dimaksud dengan sumber data adalah benda, hal, atau orang tempat peneliti mengamati, membaca, atau bertanya tentang data. Secara umum sumber data dapat dibedakan menjadi 3, yakni person, paper, place (3P). Person (orang) adalah tempat peneliti bertanya mengenai variabel yang sedang diteliti. Paper (kertas) berupa dokumen, warkat, keterangan, arsip, pedoman, surat keputusa, dan sebagainya tempat peneliti membaca dan mempelajari sesuatu yang berhubungan dengan data penelitiannya. Place (tempat) berupa ruang, laboratorium (yang berisi perlengkapan), bengkel, kelas, dan sebagainya tempat berlangsungnya suatu kegiatan yang berhubungan dengan data penelitian. Sumber data pada penelitian ini yang berupa orang adalah anak kost yang berasal dari Purbalingga dan Kendal. Unnes, sedangkan yang berupa tempat adalah “Romantique Kost” yang mana anak-anak kost berinteraksi dan berkomunikasi.

3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data pada penelitian ini diperoleh dengan teknik rekam dan teknik catat. Pengumpulan data dengan teknik rekam dilakukan dengan merekam pembicaraan atau percakapan anak Kendal dan Purbalingga di Romantique Kost. Perekaman dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan para penutur, sehingga data yang diperoleh benar-benar alami dan tidak dibuat-buat. Alat yang digunakan untuk merekam yaitu hand phone yang memiliki fasilitas perekam suara. Data yang berupa rekaman pembicaraan mahasiswa selanjutnya diputar ulang dan dicatat berdasar apa yang bisa ditangkap atau didengar secara jelas. Setelah dicatat data-data kemudian analisis.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Perubahan, pergeseran, dan pemertahanan Bahasa yang dilakukan oleh anak Purbalingga dan anak Kendal di Romantique Kost

Keanekaragaman bahasa merupakan gejala yang dapat menumbuhkan persaingan antar bahasa sehingga memungkinkan bahasa-bahasa tertentu tidak sanggup bertahan selama persaingan mengakibatkan terjadi kepunahan bahasa. Untuk melestarikan dan mempertahankan bahasa selama berada pada daerah yang berbeda mereka tetap melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa mereka sendiri walaupun lawan tutur mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda.

Begitu juga anak Romantique Kost yang didalamnya anak-anaknya berasal dari daerah yang berbeda-beda dari anak Pati, Kudus, Jepara, Cepu, Magelang, Purbalingga, dan Kendal. Di sini penulis hanya akan meneliti tentang pemertahanan bahasa yang dilakukan oleh anak Purbalingga dan anak Kendal dalam komunikasi mereka yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di dalam kost.

4.1.1. Perubahan Bahasa pada anak Purbalingga dan anak Kendal di Romantique Kost

Perubahan bahasa tidak dapat diamati karena yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu yang relatif terbatas.

Berikut adalah percakapan yang terjadi di kost. Di dalam percakapan itu telah terjadi perubahan bahasa. Fika sebagai anak Kendal dan Dian sebagai anak Purbalingga. Perubahan bahasa yang terjadi yaitu perubahan pada Dian, anak Purbalingga yang terkenal dengan ngapaknya tetapi dalam berkomunikasi di kost dia sudah menggunakan bahasa Semarang. Bahasa yang dipakai sudah tercampur dengan bahasa Semarang bahkan terkesan bahasa Purbalingga yang dia punyai itu sedikit demi sedikit telah berubah bahkan hilang dan jarang ditemui Dian melakukan komunikasi dengan bahasa Purbalingga.

Fika : “Mbak, kowe mengko wengi meh lunga ta ra?”
Dian : “Aku arep ora lunga, tapi mbuh ding. Miki si Widi ngajek aku metu, mbuh sida mbuh ora. Napa fik?”
Fika : “Ugag kenapa-kenapa mba, aku pengin njaluk diajari EYD wae soale tugase akeh meni.”
Dian : “Ya wis mengko tek waraih wis. Tenang bae.”

Pada percakapan di atas Dian anak Purbalingga memakai bahasa dominan bahasa Semarang dan hanya sedikit memakai bahasa Purbalingga. Disini terjadi perubahan bahasa dari yang awalnya dia orang Purbalingga dan berbicara ngapak ternyata setelah 2,5 tahun kuliah di Semarang dia terbawa arus dengan memakai bahasa Semarang dalam komunikasi dikost sehari-hari.

Dian : “Fik, aku kok kencot banget ya? Mangan yuk?”
Fika : “Rene lho mbak tak encot-encot.”
Dian : “Maksude? Asem yah. Aku kuwi ngelih.”
Fika : “Owh, , , tak kira kencot kuwi diencot-encot mbak, diidhak-idhak ngono.”

Contoh di atas adalah ilustrasi yang menggambarkan tentang perubahan bahasa yang terjadi karena perubahan Semantik. Dian mengatakan “kencot” yang dimaksud adalah lapar, tetapi Fika menganggap kata “kencot” adalah hal yang artinya adalah diinjak-injak. Di sini terjadilah perubahan semantik atau perubahan makna kata yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.


4.1.2. Pergeseran Bahasa pada anak Purbalingga dan anak Kendal di Romantique Kost
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa itu.

Pergeseran yang terjadi di Romantique Kost akibat perpindahan anak-anak tersebut dari daerah yang terjadi. Mereka yang awalnya anak Purbalingga berpindah ke Semarang untuk kuliah dan bahasa yang dipakai bercampur. Mereka menggunakan bahasa Semarang yang notabene mereka sudah berada di Semarang beberapa lama sehingga terpengaruh menggunakan bahasa Semarang. Mereka pindah ke Semarang dengan tujuan untuk belajar atau kuliah. Dari sinilah terjadi pergeseran bahasa.

Dian dan Fika adalah dua orang mahasiswa yang tinggal di Romatique Kost. Ketika pertama kali Fika datang ke kost dia tidak mengerti dengan bahasa yang digunakan oleh Dian. Dian menggunakan bahasa Purbalingga alias ngapak dan tentu saja Fika tidak paham dengan apa yang Dian bicarakan. Maka agar Fika dan anak-anak baru mengerti, Dian memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Seperti contoh di bawah ini:

Dian dan Fika sedang bersih-bersih di belakang kost. Fika adalah anak semester baru.

Dian : “Siki angger awan mesti panas ngemplak. Aku ora kuat angger kon njanggleg terus"
Fika : “Kowe ngomong apa ta mbak? Aku gak paham karo omonganmu.”
Dian : “Ngene lho adheku sayang, sekarang kalo siang kok panas banget. Aku gak kuat kalo harus berdiri terus.”
Fika : “Owh, , , omonganmu kuwi lho mbak, aneh banget. Rak mudengi, basamu ya ngono nggawe wong mumet.”

Contoh di atas adalah ilustrasi yang menggambarkan tentang pergeseran bahasa. Dian yang awalnya berbicara dengan bahasa Purbalingga bergeser menggunakan bahasa Indonesia agar Fika mitra tuturnya paham dengan apa yang dia bicarakan. “Siki angger awan mesti panas ngemplak. Aku ora kuat angger kon njanggleg terus” bergeser menjadi “Ngene lho adheku sayang, sekarang kalo siang kok panas banget. Aku gak kuat kalo harus berdiri terus.”

4.1.3. Pemertahanan Bahasa anak Purbalingga dan anak Kendal di Romantique Kost

Keanekaragaman bahasa merupakan gejala yang dapat menumbuhkan persaingan antar bahasa sehingga memungkinkan bahasa-bahasa tertentu tidak sanggup bertahan selama persaingan mengakibatkan terjadi kepunahan bahasa. Pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa sebesarnya merupakan dua sisi mata uang. Satu sisi bahasa yang menggeser kepada bahasa lain atau bahasa yang tergeser oleh bahasa lainnya. Bahasa yang bergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan dirinya. Pemertahanan dan pergeseran bahasa berkaitan dengan perencanaan bahasa.

Anak Purbalingga dan anak Kendal sering sekali melakukan percakapan dengan bahasa mereka masing-masing karena mereka bangga dengan bahasa dari daerah mereka masing-masing. Walaupun kadang mereka menggunakan bahasa Semarang tempat di mana mereka ngekost tapi itu hanya sebatas agar orang lain yang berasal dari daerah lain paham akan apa yang dibicarakan. Tetapi jika lawan tutur mereka sudah mengetahui bahasa-bahasa daerah yang sering digunakan, mereka tetap saja memakai bahasa daerah mereka masing-masing.
Percakapan yang terjadi saat anak-anak Romantique Kost menonton TV film “The Greet of Soendoek”.

Dian : “Waduh bisane kuwe wong kok malah mundur? Haruse miki kae mlayu baen ngudag dadine ngko kewenangan. Lah putrine malah neng tandu bae"
Fika : “Heem mba, iku sing nggawa tandune we kayake ngrungu kok.”
Dian : “Lah...kok malah ana musuhe kuwe, kepriwe si? Akeh maning, malah pada gelut.”
Fika : “Wis, nganggo tangan kosong ik anggone ngajar.”
Dian : “ Anu maring muride dhewek.”
Fika : “Lha iya mba karena marang muride dhewe kuwi ngajare, maksude menghajare ngono.


















BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Berdasar pembahasan yang telah dipaparkan pada Bab III, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Anak Purbalingga dan anak Kendal di Romantique Kost dalam melakukan perbincangan mereka masih tetap menggunakan bahasa yang mereka pergunakan sehari-hari di rumah. Mereka tidak menggunakan bahasa Semarang di mana kost mereka berada. Bahasa yang mereka gunakan dalam perbincangan mereka sehari-hari adalah bahasa ngoko.
2. Faktor yang melatarbelakangi adanya pergeseran bahasa yang dilakukan oleh anak-anak tersebut antara lain:
a. Kedwibahasaan
b. Alih generasi (intergenerasi menyangkut lebih dari satu generasi
c. Migrasi atau perpindahan yang mereka lakukan dari daerah mereka masing-masing ke Semarang untuk kuliah.
Faktor yang melatarbelakangi adanya pemertahan bahasa yang dilakukan oleh anak-anak tersebut antara lain:
a. Berfungsi sebagai lambangan kebanggaan daerah
b. Sebagai lambang identitas daerah
c. Sebagai sarana perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah
d. Sebagai pendukung bahasa nasional
e. Berkedudukan sebagai bahasa daerah

5.2. Saran
Pada penelitian ini, objek yang diteliti adalah pemertahan bahasa daerh masing-masing. Dari hal tersebut, kiranya dapat diadakan penelitian lanjutan mengenai peristiwa kebahasaan lain, misalnya mengenai sikap bahasa, atau kesetiaan bahasa.
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 1987. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung : Penerbit Angkasa.
Arikunto, Suharsimi. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
___________. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi VI). Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Lingustik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung : Penerbit Angkasa.
Sevilla, Consuelo G., dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : UI Press.
Sulistiyono, Ranu. 2009. Variasi Pemakaian Bahasa Jawa Masyarakat Nelayan di Pantai Widuri Kabupaen Pemalang (Kajian Sosiolinguitik). Skripsi. Semarang : Universitas Negeri Semarang.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2007. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta : Kanisius.










LAMPIRAN

1. Percakapan 1
Percakapan di kamar Fika jam 15.00 WIB Tanggal 8 Desember 2009.

Fika : “Mbak aku bingung kie mbak.”
Dian : “Napa ta fik?”
Fika : “Tugasku akeh meni ngene kok mba. Aku mumet, wis ngono ujian dhek mau gagal. Huh!!”
Dian : “Ya wis sing sabar Fik, kan kie emang resiko nggo dhewek cah kuliahan.”
Fika : “Mbak, kowe mengko wengi meh lunga ta ra?”
Dian : “Aku arep ora lunga, tapi mbuh ding. Miki si Widi ngajek aku metu, mbuh sida mbuh ora. Napa fik?”
Fika : “Ugag kenapa-kenapa mba, aku pengin njaluk diajari EYD wae soale tugase akeh meni.”
Dian : “Ya wis mengko tek waraih wis. Tenang bae.”

2. Percakapan 2
Percakapan di ruang TV saat menonton televisi.
Dian : “Siki jam pira si fik?”
Fika : “Ngopo mbak?”
Dian : “Fik, aku kok kencot banget ya? Mangan yuk?”
Fika : “Rene lho mbak tak encot-encot.”
Dian : “Maksude? Asem yah. Aku kuwi ngelih.”
Fika : “Owh, , , tak kira kencot kuwi diencot-encot mbak, diidhak-idhak ngono.”




3. Percakapan 3
Percakapan saat anak Kost sedang kerja bakti

Dian : “Siki angger awan mesti panas ngemplak. Aku ora kuat angger kon njanggleg terus"
Fika : “Kowe ngomong apa ta mbak? Aku gak paham karo omonganmu.”
Dian : “Ngene lho adheku sayang, sekarang kalo siang kok panas banget. Aku gak kuat kalo harus berdiri terus.”
Fika : “Owh, , , omonganmu kuwi lho mbak, aneh banget. Rak mudengi, basamu ya ngono nggawe wong mumet.”

4. Percakapan 4
Percakapan yang terjadi saat anak-anak Romantique Kost menonton TV film “The Greet of Soendoek”.

Dian : “Waduh bisane kuwe wong kok malah mundur? Haruse miki kae mlayu baen ngudag dadine ngko kewenangan. Lah putrine malah neng tandu bae"
Fika : “Heem mba, iku sing nggawa tandune we kayake ngrungu kok.”
Dian : “Lah...kok malah ana musuhe kuwe, kepriwe si? Akeh maning, malah pada gelut.”
Fika : “Wis, nganggo tangan kosong ik anggone ngajar.”
Dian : “ Anu maring muride dhewek.”
Fika : “Lha iya mba karena marang muride dhewe kuwi ngajare, maksude menghajare ngono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar