Selamat Datang

Jumat, 18 Juni 2010

Makna atau Lambang pada Upacara Khitanan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang semantik yang mempelajari tentang makna.
Makna merupakan aspek mental bahasa, isi semantis dan respons yang ditimbulkan oleh bentuk bahasa. Teori acuan mengidentifikasikan makna dengan apa yang diacunya atau makna adalah sesuatu yang ditunjuk oleh bentuk ujaran tadi. Apa dan sesuatu yang ditunjuk dapat berupa benda atau hal.
Benda atau hal itu dapat konkrit dan dapat pula abstrak. Oleh karena itu, kata-kata atu ungkapan bahasa menurut teori ini akan menunjukan benda atau hal di alam semesta ini. Sebagai contoh yang jelas adalah kata benda dalam bahasa Jawa pasti menunjukkan barang yang diwakilinya. Misalnya kata “kursi”, jadi kata kursi menunjuk kepada benda “kursi” yang terdiri dari komponen-komponen sebagai tempat duduk, terbuat dari kayu dan sebagainya.
Persiapan dan perlengkapan upacara khitanan berupa cungkupan, alat-alat musik rebana (terbang), bagi yang mampu pula sarana untuk pertunjukan wayang kulit. Dari uraian di atas disini penulis akan menjelaskan tentang lambang atau makna yang terdapat dalam Upacara Khitanan.

B. Permasalahan
1. Apakah pengertian dari makna, aspek apa saja yang dipelajari dalam semantik ?
2. Lambang atau makna apa sajakah yang terkandung dalam upacara khitanan?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
a. Maksud pembicara;
b. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
c. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
d. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Dari pengertian para ahli bahsa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
B. Aspek-aspek Makna
Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Mansoer Pateda ada empat hal, yaitu :
1. Pengertian (sense)
Pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam Mansoer Pateda, 2001:92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata.
2. Nilai rasa (feeling)
Aspek makna yang berhubungan dengan nilai rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang dibicarakan.dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan dengan makna adalah kata0kata yang berhubungan dengan perasaan, baik yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiapkata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan.
3. Nada (tone)
Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap pembicara terhadap kawan bicara (dalam Mansoer Pateda, 2001:94). Aspek nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa. Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang digunakan.
4. Maksud (intention)
Aspek maksud menurut Shipley (dalam Mansoer Pateda, 2001: 95) merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan. Maksud yang diinginkan dapat bersifat deklarasi, imperatif, narasi, pedagogis, persuasi, rekreasi atau politik.
Aspek-aspek makna tersebut tentunya mempunyai pengaruh terhadap jenis-jenis makna yang ada dalam semantik.


C. PERSIAPAN DAN PERLENGAKAPAN UPACARA KHITANAN
Seorang dukun sunat lengkap dengan peralatannya tela dipesan sebelumnya, dipersiapkan pula putih telur, sarung batik yang masih baru dan belum dijahit atau ada juga yang menggunakan sarung polos putih yang dicelup air kunyit sehingga warnanya kekuning-kuningan, cengkal, tuding/ tongkat, baju putih, peci, sandal.
Sesaji yang dipersiapkan berupa golong/ berkat dan panggang ayam, bubur putih tujuh takir, bubur katubur merah putih tujuh takir/ samir, Wedang teh, kopi, kopi jembawuk, arang-arangan kembang, cengkaru gimbal dan cengkaruk pura, bubur cadhil dan rujak degan.
Tiga hari sebelum pelaksanaan khitan bersama orang tuanya menjenguk makam leluhur dan dibimbing mendoakan agar arwah leluhur mendapat tempat yang layak. Malam hari sebelum pelaksanaan khitan, sesudah maghrib diadakan kendhuri arang-arang kembang yang dihadiri oleh sanak keluarg dan tetangga dekat. Waktu pagi hari si anak dibangunkan dari tidurnya, disuruh untuk kungkum atau merendam tubuhnya di sungai selama kurang lebih dua atau tiga jam.
Selesai kungkum si anak memakai sarung, baju putih, peci, sandal. Kemudian si anak minta doa restu kepada ibunya dengan disuwuk. Setelah melaksanakan upacara suwukan, si anak masuk ke dalam cungkup dan siap untuk disunat. Setelah selesai disunat, si anak diberi makanan yang enak-enak biasa disebut mapas. Sisa makanan diberikan pada anak-anak sepermainannya.

D. LAMBANG ATAU MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM UNSUR-UNSUR UPACARA KHITANAN.
Pada upacara khitanan perlengkapan dan sesajen upacaranya tidak terlepas dengan lambang atau makna yang terkandung di dalamnya, antara lain:
 Sarung yang belum dijahit, mengandung makna lepas dari sukerta dan lambang masuk islam.
 Membawa teken tuding dengan maksud setelah islam harus berjalan yang benar (lurus), yang kotor disingkirkan/ dihindari.
 Cungkup dengan tiang empat buah dari pohon pisang dengan maksud minta tolong sedulur papat yang lahir bersama-sama dalam sehari, agar dalam pelaksanaan khitanan diberi keselamatan.
 Kendi gosok berlubang satu mengandung makna menyatunya cipta, rasa, karsa dan karya.
 Telur ayam, mengandung makna perwujudan kehidupan (tri tunggal) yaitu Allah, Rosul, Umat.
 Bubur putih/ lemu mengandung makna memberi makan pada saudara tua (kakang kawah).
 Bubur merah putih mengandung makna menyatunya saudara tua dan muda (kakang kawah adi ari-ari).
 Janur kuning berasal dari kata janur dan kuning, janur mengandung makna memuja nur (ingat kepada allah), kuning mengandung makna laku harus bening artinya dalam memuja pada Allah dengan khusuk.
 Golong mengandung makna menyatunya tekad yang bulat.
 Bubur/umbul mengandung makna supaya mumbul (lulur derajatnya).
 Bubur katul mangandung makna katularan supaya kebaikan orang tua bisa turun kepada anaknya.
 Bubur sandung mengandung makna supaya dapat menghindari halangan/ rintangan hidup.
 Rujak degan mengandung makna siap menerima kehidupan yang pahit, manis, asam, pedas.
 Wedang mengandung makna nggawe kadang atau yang tadinya belum berteman menjadi teman.
 Arang-arang kambang mengandung makna setelah dewasa dapat mencari nafkah dengan lancar.
 Cengkaruk mengandung makna supaya dapat menyatu dengan masyarakat.




BAB III
PENUTUP

Simpulan
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi maksud pembicara, pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti. Batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata. Aspek-aspek makna dalam semantik ada empat hal, yaitu pengertian (sense), nilai rasa (feeling), nada (tone), dan maksud (intention). Keempat aspek makna di atas memiliki keterkaitan dengan jenis makna yang ada dalam semantik.
Lambang-lambang yang terkandung pada upacara khitanan yaitu golong/ berkat dan panggang ayam, bubur putih tujuh takir, bubur katubur merah putih tujuh takir/ samir, Wedang teh, kopi, kopi jembawuk, arang-arangan kembang, cengkaru gimbal dan cengkaruk pura, bubur cadhil dan rujak degan. Tiap lambang mempunyai makna tersendiri seperti yang telah dijelaskan dalam makalah tersebut di atas.





DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdul Wahab. 1995. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga University Pres
Adi Setyawan, Susilo. Aspek Makna Dalam Semantik dan Keterkaitannya dengan Jenis-Jenis Makna diunduh 10 Desember 2009.
Fathimah Djajasudarma. 1999. Semantik 2: Pemahaman Makna. Bandung: Refika Aditama.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar