Selamat Datang

Jumat, 18 Juni 2010

BAHASA-BAHASA DI SULAWESI SELATAN

SULAWESI SELATAN
Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar, dahulu disebut ''Ujungpandang''. Sulawesi adalah pulau dengan luas daratan 62.362,55 km2 dengan jumlah penduduk 8.213.864 (tahun 2004) dan memiliki relief berupa jazirah-jazirah yang panjang serta pipih yang ditandai fakta bahwa tidak ada titik daratan yang jauhnya melebihi 90 km dari batas pantai. Kondisi yang demikian menjadikan pulau Sulawesi memiliki garis pantai yang panjang dan sebagian daratannya bergunung-gunung.
Kombinasi ini meghamparkan alam yang mempesona dipandang baik dari daerah pesisir maupun daerah ketinggian. Sekitar 30.000 tahun silam, pulau Sulawesi telah dihuni oleh manusia. Peninggalan peradaban di masa tersebut ditemukan di gua-gua bukit kapur daerah Maros kurang lebih 30 km dari Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Peninggalan prasejarah lainnya yang berupa alat batu peeble dan flake serta fosil babi dan gajah yang telah punah, dikumpulkan dari teras sungai di Lembah Wallanae, diantara Soppeng dan Sengkang, Sulawesi Selatan.
Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku utama yaitu Toraja, Bugis, Makassar, dan Mandar. Suku Toraja terkenal memiliki keunikan tradisi yang tampak pada upacara kematian, rumah tradisional yang beratap melengkung dan ukiran cantik dengan warna natural. Sedangkan suku Bugis, Makassar dan Mandar terkenal sebagai pelaut yang patriotik. Dengan perahu layar tradisionalnya, Pinisi, mereka menjelajah sampai ke utara Australia, beberapa pulau di Samudra Pasifik, bahkan sampai ke pantai Afrika.
1. Rumpun Bahasa Sulawesi Selatan
Rumpun bahasa Sulawesi Selatan adalah grup bahasa yang bernama sama dengan provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Grup bahasa ini dituturkan oleh beragam suku di Sulawesi Selatan (sekarang juga pecahannya Sulawesi Barat), namun demikian ada juga tiga bahasa yang termasuk grup ini yang dituturkan di pedalaman Kalimantan Barat.
Bahasa yang umum digunakan di Sulawesi Selatan adalah Makassar, Bugis, Luwu, Toraja, Mandar, Melayu Kendari, Konjo, dan Pattae.
a. Bahasa Melayu-Bugis Makassar
Dialek Melayu-Bugis Makassar memiliki ciri- ciri varian yang menunjukkan banyak perbedaan dengan dialek Melayu di Indonesia Timur. Selain itu terdapat perubahan fonetik, seperti adanya konsonan panjang dan perbedaan kosakata, seperti jumlah partikel yang sering digunakan untuk menunjukkan emosi dan tanggapan penutur.
Bahasa Melayu memiliki kekhasan dalam penggunaan partikel- partikel tertentu. Umumnya berfungsi sebagai penegas. Partikel- partikel inilah yang memberi warna dalam pemakaian bahasa Melayu di Melayu Sulawesi. Seperti partikel ji, mi, pi, mo, ma', di', tonji, tawwa, pale. Partikel-partikel ini muncul saat penutur daerah menggunakan bahasa Melayu. Partikel-partikel ini melekat dan menjadi ciri sesuai dengan bahasa daerahnya.
Misalnya saja untuk orang Bugis-Makassar, mereka menggunakan mi, moko, ji. Sedangkan untuk orang Mandar mereka lebih banyak menggunkan partikel O. Sementara orang Toraja menggunakan parteikel le'.
Namun partikel ini masih mempunyai variasi. Tergantung siapa penutur dan orang yang diajaknya bertutur. Untuk dialek Melayu Bugis-Makassar misalnya, mereka biasanya menggunakan struktur susunan kalimat yang berurutan verbal, subjek, objek (VSO). Sedangkan dialek-dialek lain di Indonesia timur mempelihatkan urutan SVO.
Misalnya dalam kalimat, "Saya makan ikan". Untuk Melayu Makassar mereka mengatakan, "Makan-ka ikang". Sedangkan untuk Melayu-Ambon, "Beta makan ikang".
Dialek Melayu Bugis-Makassar adalah bahasa aglutinatif yakni unsur-unsur verbal nominal dan partikel dipadukan disambung menjadi dua kata yang panjang, dan kata itu tidak dapat dipisahkan, serta kadang-kadang tidak dapat disisipkan.
Unsur-unsur yang disatukan itu mengalami perubahan fonetik yang mengikat semua unsur bahasa itu. Misalnya dalam kalimat, "Makamma'ki (silakan Anda makan)", yakni dengan perubahan bunyi makang menjadi makam karena dicantumkan ke partikel ma'.
Dari banyaknya varian-varian bahasa ini menunjukkan adanya jejak bahasa Melayu yang berasimalisi ke dalam bahasa daerah di Indonesia timur. Hal ini melahirkan varian bahasa yang dikenal dengan bahasa Melayu-Bugis Makassar, Bahasa Melayu-Kendari, bahasa Melayu-Mandar, bahasa Melayu- Toraja
b. Bahasa Melayu-Toraja
Bahasa Toraja adalah salah satu rumpun dari Bahasa Melayu (Austronesia) Tua yang dituturkan sehari-hari oleh Suku Toraja yang dikenal sebagai satu dari suku-suku Proto-melayu. Kekhasannya dapat ditemukan dari penggunaan kata-kata Melayu Tua dalam Bahasa Toraja, Misalnya: Tasik = Laut, Tunu = Membakar, Pitu = Tujuh, dll. Bahasa Toraja memiliki banyak dialek (Logat), Misalnya di daerah Utara Toraja ada Logat Sa'dan-Rantepao, Logat Tallulembang (Sangalla', Makale dan Mengkendek), Logat Toraja Barat (Rembon-Saluputti), Logat Toraja Selatan (Gandang Batu, Sillanan, Duri), Logat Toraja Luwu (Palopo) dan Logat Mamasa.
Toraja ialah salah satu etnik yang terdapat di Sulawesi Selatan. Mereka menduduki kawasan pergunungan Sulawesi Selatan. Jumlah suku ini diperkirakan sekitar 650,000 orang.
Istilah Toraja adalah dari Bahasa Bugis to riaja. 'To' bermaksud orang dan 'riaja' bermaksud bukit. Maka Toraja bermaksud orang yang datang dari bukit. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya berasal dari To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), ertinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan sebutan tersebut menjadi Toraja.
c. Bahasa Melayu-Mandar
Bahasa Melayu-Mandar suatu waktu juga akan hilang, yaitu ketika tidak lagi dituturkan. Yang menarik di bahasa Mandar sebab ketika kita hendak menyebut selalu maka ada ekspresi sbb:
Simata Lamba-i Massikola (Dia selalu pergi ke sekolah)
Pola yang unik adalah
Sa-lamba-lambana Massikola. (Dia selalu pergi ke sekolah).
Kata kerja lamba pada contoh yang terakhir menjadi berulang.
Sehingga dengan pola yang sama kita jumpai
Sa-pole-polena. (He always comes)
Sa-suma-sumangi'na. ( He always cries)
Sa-cawa-cawana
Sa-sali-salilinna.
Sa-malo-malona.
d. Bahasa Melayu- Kendari
Dari segi logat..anak melayu Kendari jarang memakai e lemah tetapi penekanan e seperti logat batak. Bahasa Melayu Kendari membuktikan bahwa kita bisa blend dalam diversity dan kreatif membuat 'sesuatu' untuk menjembatani diversity tersebut. bahasa Melayu Kendari yang mix dari berbagai macam culture adalah simbol peleburan suatu diversity yang justru makin mendekatkan individu dalam bergaul walaupun background culturenya beragam. Walaupun mungkin bahasa Melayu Kendari ini bisa melenceng jauh dari EYD.

2. Penelitian tentang Bahasa Sulawesi Selatan
MODEL PERKEMBANGAN
BAHASA-BAHASA DAERAH SULAWESI-SELATAN

DR. MASHADI SAID
Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma Jakarta, Jalan Margonda Raya No. 100 Depok 16424
tel. 021-78881112 pes. 481
mashadi@staff.gunadarma.ac.id atau mashadisaid@yahoo.com
DR.-ING. FARID THALIB
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma Jakarta,
Jalan Margonda raya No. 100 Depok 16424
tel. 021-78881112 pes. 457
farid@staff.gunadarma.ac.id


Abstrak
Bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang ditengarai semakin hari semakin menurun persentase pengunaan dan penuturnya memerlukan perhatian khusus, bukan hanya perlu dilestarikan, tetapi lebih jauh dari itu; bahasa daerah harus diperkembangkan. Memperkembangkan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan berarti membuat bahasa daerah berkembang yang kondisinya lebih baik daripada kondisinya saat ini atau sebelum mendapat pengaruh globalisasi. Makalah ini memaparkan dua hal yang bersifat fundamental. Pertama, memaparkan 3 kategori paradigma ”peta kinerja” yang dapat ditempuh dalam pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yang meliputi a) pembiaran, b) pelestarian (pemertahanan dari keadaannya saat ini), dan c) pemerkembangan. Peta kinerja pemerkembangan dibagi ke dalam 3 model, yaitu model 1, 2, dan 3. Ketiga model itu berkinerja secara signifikan terhadap pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulwesi Selatan, tetapi memiliki tingkat kebermaknaan yang berbeda-beda dalam proses pemerkembangannya. Kedua, model implementasi pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang meliputi 3 unsur kegiatan utama, yaitu a) penilian, b) evaluasi/pembandingan terhadap visi, dan c) tindakan/pengondisian.

Kata-kata Kunci: Bahas-bahasa daerah, model pemerkembangan, peta kinerja pemerkembangan.

A. Pendahuluan
Dalam makalah ini digunakan istilah “pemerkembangan” bukan “pelestarian” atau “pemertahanan”. Karena bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada saat ini mengalami ancaman penyusutan-penyusutan dalam berbagai dimensinya, diperlukan program pemercepatan. Program pemercepatan mengandung makna membuat perkembangan bahasa-bahasa daerah jauh lebih cepat guna mengimbangi kecepatan ancaman proses kepunahan yang telah ada di depan mata. Kata “lestari” berarti tetap seperti keadaannya semula, tidak berubah, bertahan, kekal, awet, terlindung dari kemusnahan atau kerusakan. Menurut hemat kami bila digunakan usaha pemertahanan atau pelestarian, hal itu berarti bahwa perjalanan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan hanya akan bersifat stabil dan kemungkinan besar akan kalah cepat daripada faktor-faktor yang dapat membuatnya menurun yang pada akhirnya akan tinggal sebagai kenangan belaka.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, kami menggunakan istilah “pemerkembangan” yang di dalamnya mengandung makna, di samping unsur pemertahanan, juga unsur pemercepatan. Saat ini bahasa-bahasa daerah sedang mengalamai ancaman yang sangat dahsyat yang dapat menyebabkannya menjadi punah. Ancaman yang dahsyat itu perlu diimbangi dengan suatu program atau tindakan yang volumenya jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ancaman kepunahan. Sebaliknya, jika ancaman kepunahan sama besarnya dengan tindakan yang diberikan, maka besar kemungkinan bahasa-bahasa daerah itu hanya berjalan di tempat. Artinya, ancaman dan tindakan hanya menghasilkan keadaan yang seimbang, sehingga bahasa daerah sulit diharapkan mengalami meningkatan sebagaimana yang ditargetkan. Singkatnya, diperlukan usaha pemerkembangan bahasa daerah yang volumenya jauh lebih besar daripada volume ancaman kepunahan yang terimplementasi dalam program pemerkembangan.

B. Bahasa-Bahasa Daerah: Mengapa Perlu Diperkembangkan?
Perlunya program pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulwesi Selatan didasarkan atas delapan alasan.
1. Kedudukan Bahasa Daerah
Bahasa daerah memiliki kedudukan utama dalam perkembangan bahasa Indonesia. Untuk memperkaya bahasa Indonesia, kosa kata bahasa daerah merupakan penyumbang utama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, baru ada 11 bahasa daerah sebagai penyumbang. Namun, belum satu pun bahasa daerah Sulawesi Selatan yang tercatat sebagai penyumbang. Hal ini cukup memprihatinkan bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah putra Sulawesi Selatan yang telah berpartsipasi aktif dalam percaturan nasional. Artinya, keunggulan bahasa daerah dapat dinilai dari kontribusinya terhadap pengembangan bahasa Indonesia. Bila Sulawesi Selatan dikenal sebagai masyarakat bahari yang pernah mengukir kejayaan dalam menaklukkan nusantara, maka seyogyanya kosa kata yang dapat disumbangkan adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan bahari. Karena itu, penutur bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat berperan aktif untuk memperkembangkan bahasa Indonesia, sekaligus mendorong pemerkembangan bahasa daerahnya. Gambar 1 berikut menunjukkan kedudukan strategis bahasa daerah dalam tataran nasional.












Fungsi bahasa daerah, seperti tergambar pada gambar 1 menunjukkan bahwa di samping sebagai alat komunikasi pada daerah yang bersangkutan, juga sebagai pemerkaya kosa kata bahasa Indonesia. Ungkapan yang belum ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat diserap dari bahasa-bahasa daerah dari seluruh persada nusantara. Dalam hal pembentukan istilah, bahasa daerah menempati kedudukan pertama setelah bahasa Indonesia, dan bahasa asing menempati urutan terakhir5.
2. Keterasingan Generasi Muda dari Bahasa Daerahnya
Menurut pengamatan kami, generasi muda Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) saat ini mulai mengalami keterasingan terhadap bahasa-bahasa daerahnya sendiri. Di kota-kota di Sulawesi Selatan, para orang tua di rumah lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya walaupun ibu-bapaknya adalah orang asli Sulawesi Selatan yang masih fasih menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Dalam pergaulan sehari-hari, sangat jarang dijumpai sesama penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasanya sendiri ketika mereka bertemu di mana pun. Menggunakan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan lebih canggung dibandingkan dengan teman-teman kita dari Jawa yang masih sangat fasih menggunakan bahasa Jawa di mana pun mereka bertemu sesama Jawa.
3. Surutnya Kebanggaan terhadap Budaya Asli Daerah
Di forum-forum resmi, kebanggaan putra-putri Sulawesi Selatan sendiri menggunakan falsafah leluhurnya belum terlihat. Putra-putri terbaik Sulawesi Selatan lebih nyaman menggunakan falsafah orang lain daripada falsafahnya sendiri. Mungkin pemahaman dan pengimplementasian nilai-nilai budaya mulai tergusur dari eksistensinya dalam lubuk hati generasi muda Bugis-Makassar, sehingga falsafah leluhurnya yang sangat sesuai dengan ”pemerintahan yang baik”, ”demokrasi”, ”kontrak sosial”, ”penegakan hukum”, ”etos kerja”, ”prestasi” dan sebagainya kurang ditonjolkan. Falsafah ”pemerintahan yang baik” dalam hal kepemimpinan dikenal dengan ”falsafah Sulapa Eppa”. Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat empat yang tak terpisahkan, yaitu: ”Maccai na Malempu; Waranawi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur; Berani lagi Teguh dalam Pendirian).
Dalam hal etos kerja dan mencari kesejahteraan, falsafah kerja keras ”Resopa natinulu na temmangingngi malomo naletei pammase Dewata” (Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah yang dapat menjadi sarana mendapat rizki dari Tuhan). Artinya, sarana untuk memperoleh kesejahteraan adalah kerja keras dan ketekunan. Dalam hal penegakan hukum, ada falsafah ”adekumi kupopuang” (hanya hukum yang kupertuan). Artinya, hanya hukumlah yang harus kutaati. Dalam hal demokrasi, falsafah Bugis-Makassar dikenal dengan ungkapan:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.

Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak
Dalam hal orientasi prestasi juga sudah mulai luntur. Saat ini banyak generasi pelanjut menganut prinsip ”instan”, yang ingin serba cepat. Padahal kenyataannya, umumnya orang yang menduduki posisi puncak meniti karier dari bawah. Hal ini dikenal dengan falsafah ”punggawa sawi” (Kapten kapal). ”Punggawa sawi” adalah jabatan kepemimpinan tertinggi di perahu layar dalam masyarakat Bugis-Makassar, sebagai masyarakat bahari. Seseorang tidak bisa menduduki posisi ”punggawa sawi” sebelum meniti karier sebagai ”sawi” (anak buah kapal). Falsafah ini mengandung prinsip bahwa suatu prestasi hanya dapat dicapai melalui suatu proses, tidak instan.
Falsafah Rumusan Makna
Pemerintahan yang baik maccai na malempu, waraniwi na magetteng Pemimpin negeri yang dapat mengantar masyarakat mencapai ketenteraman hidup adalah yang memiliki empat sifat, yaitu cerdas/cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian.
Kesejahteraan Resopa natinulu na temmangingngi malomo naletei pammase Dewata Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah, rizki akan dilimpahkan oleh Yang Mahasa Pengasih
Demokrasi Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum, Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak.

4. Ketercerabutan dari Akar Budaya
Banyak dimensi budaya yang tidak bisa diserap dan dijelaskan tanpa menggunakan bahasa daerah. Dalam bahasa Bugis-Makassar, falsafah Rewako atau Ewako, sama dengan falsafah ”pesse” atau ”pacce” yang berarti nyali. Artinya, seorang Bugis-Makassar haruslah memiliki nyali untuk mencapai kesuksesan. Hanya saja sering disalahartikan. Akibatnya, banyak generasi muda Bugis-Makassar bertindak nekat walaupun dia berada di pihak yang salah. Karena itu, memperkenalkan bahasa daerah terhadap putra-putrinya sejak dini merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang sesungguhnya sangat sesuai dengan peradaban yang saat ini didominasi dunia luar. Kita bangga dengan kontrak sosial dengan menggunakan teori-teori dari luar, padahal sesungguhnya praktik kontrak sosial sudah lama dikenal (sejak abad ke-15) di negeri Bugis-Makassar jauh sebelum Prancis mengumandangkan kontrak sosial pada abad ke-186. Agar generasi mendatang tidak tercerabut dari akar sosial-budayanya dan tetap berwawasan nasional, memperkenalkan budaya lokal melalui bahasa daerah masing-masing perlu diperkembangkan.
5. Penyusutan Fungsional Bahasa Daerah
Bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan telah menunjukkan penyusutan fungsionalnya. Keadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan sejak tahun 1945 (kemerdekaan) mengalami serangan dari bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pemerkayaan bahasa Indonesia yang seharusnya didukung oleh bahasa-bahasa daerah yang tersebar di Indonesia, tampaknya peran bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak menunjukkan sumbangan yang berarti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hanya ada 11 bahasa daerah yang tercatat memberi sumbangan pemerkayaan bahasa Indonesia, yaitu bahasa Bali, Batak, Dayak, Jawa, Lampung, Madura, Minangkabau, Minahasa, Manado, Palembang, dan Sunda7. Ada sumbangan kata bahasa Bugis dalam KBBI, yaitu ”gantole” yang berasal dari bahasa Bugis ”gantolle” tetapi bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak dicatat sebagai salah satu penyumbang utama seperti halnya 11 bahasa daerah lainnya yang dicatat di atas. Padahal, pada dasarnya, bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat memberi sumbangan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris atau asing ke dalam bahasa Indonesia. Contoh:
Leksikon Konteks Makna dalam bahasa Bugis
Run The stocking runs. malara

The stocking runs. Kata run tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia dalam konteks ini dan hanya bahasa Bugislah yang paling tepat untuk mewakili kata run pada konteks tersebut, yaitu malara’. Banyak unsur kebudayaan Bugis yang tidak dapat diungkapkan dalam bahasa Indonesia:
Kosa kata Makna
kabo, makabo rumput agak panjang dan kurang indah dipandang, sehingga perlu dirapikan
Sande, beggo, lepa-lepa, dsb. nama-nama jenis perahu
cucuru, katiri mandi, pallu butung, nama-nama kudapan
Karena itu, bahasa-bahasa daerah tidak sekedar dilestarikan atau dipertahankan, tetapi harus dikondisikan agar dapat berfungsi secara maksimal.

6. Gejala Ketercerabutan akan Kebanggaan dari Kebudayaan Asli
Seni tradisional kecapi, sinrili, yang dipentaskan pada acara-acara seperti pernikahan dan upacara lainnya disertai dengan lagu-lagu yang mengandung nasihat dan perjuangan telah berangsur-angsur digantikan dengan musik dari luar. Seni bela diri seperti pencak silat mulai ditinggalkan dan digantikan oleh seni bela diri dari luar seperti taekwondo, karate, kungfu, dsb. Di Makassar ada kata asing yang digunakan seperti Emergency, Islamic Centre, Racing Centre, di Jakarta, nama-nama perumahan, tempat-tempat umum didominasi oleh nama-nama yang berbau asing, seperti The Plasa Semanggi, Ocean Palace, Cibubur Juction, Proyek Rest Area, BusWay, WaterWay. Hal ini menunjukkan bahwa kebanggaan terhadap bahasa dan budaya sendiri telah tercerabut dari habitatnya.

7. Gejala Ketertindasan Budaya Lokal
Di banyak daerah, nama-nama tempat umum yang memiliki nilai sejarah diganti dengan nama-nama populer dengan alasan nasionalisme. Contoh, ”Jalan Nanakeng” diganti dengan nama bahasa Indonesia ”Jalan Cempeda”. Nama-nama tempat umum seperti gedung-gedung pemerintah telah banyak diberi nama-nama orang luar atas nama nasionalisme. Contoh, nama rumah sakit kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan sama sekali tidak menggambarkan nilai-nilai budaya lokal. Nama-nama daerah para transmigran menggunakan nama daerah asal para transmigran, seperti Wonomulyo di Sulawesi Barat. Tentunya hal ini merupakan gambaran tertindasnya budaya lokal.

8. Gejala Menuju Kepunahan
Adanya gejala kepunahan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan ditandai dengan berkurangnya pajanan (exposure) bahasa daerah, baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Di banyak rumah tangga, bahasa keluarga telah didominasi oleh bahasa Indonesia. Jurusan bahasa Bugis-Makassar Universitas Negeri Makassar sudah ditutup karena tidak adanya pengangkatan guru bahasa daerah. Jurusan Sastra Daerah di Universitas Hasanuddin mulai mengalami penyusutan jumlah mahasiswa. Di samping itu, ditengarai berkurangnya penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan karena serangan bahasa Indonesia dan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris yang mengglobal saat ini.


C. Model Pemerkembangan Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan

Sebelum masa negara persatuan Republik Indonensia, bahasa daerah menduduki posisi penting pada tiap-tiap daerah sebagai alat komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan suku bangsa yang bersangkutan. Namun, seiring dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia, bahasa daerah mengalami stagnasi dalam perkembangannya karena para penutur bahasa-bahasa daerah tanpa menyadari mulai meninggalkan bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi sehari-hari, khususnya di ibu kota provinsi, kota, dan kabupaten. Selanjutnya, serangan bahasa asing yang melanda dunia global semakin menyingkirkan bahasa daerah dalam pentas nasional.
Menyadari hal tersebut, diadakanlah kongres bahasa daerah yang dimulai dari kongres bahasa Jawa, kongres bahasa Sunda dan pada saat ini adalah kongres bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghambat laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Pada dasarnya ada 5 model perjalanan ke depan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yaitu model 1 adalah model ”pembiaran”, model 2 adalah ”pelestarian”, model 3, 4, dan 5 adalah model ”pemerkembangan”. Model pembiaran adalah membiarkan perjalanan bahasa daerah ke depan apa adanya, sebagaimana tergambar pada grafik hipotetik (kurva 1 gambar 2). Kurva itu menunjukkan bahwa jumlah penutur bahasa daerah semakin hari semakin berkurang. Ini berarti bahwa jika penurunan eksistensi bahasa daerah dibiarkan tanpa intervensi, maka secara alami bahasa daerah akan diakhiri dengan kepunahan.
Untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan (sesuai dengan makna lestari yang telah dijelaskan di atas), maka gambarannya sama dengan kurva 2 gambar 2. Namun, jika paradigma ini digunakan, maka kondisi bahasa daerah ke depan sama dengan keadaannya sekarang. Kondisinya telah mengalami penyusutan-penyusutan dalam perjalanannya selama 61 tahun Indonesia merdeka. Posisinya sangat terancam karena dahsyatnya arus globalisasi yang dapat merambah sampai ke seluruh sendi-sendi peradaban masyarakat di daerah.
Pemerkembangan bahasa daerah dapat ditempuh melalui 3 paradigma peta kinerja, yaitu peta kinerja yang ditunjukkan pada kurva 3, kurva 4, dan kurva 5 pada gambar 2. Peta kinerja pada kurva 3 menunjukkan bahwa pemerkembangan bahasa daerah ditempuh melalui tindakan secara pelan-pelan yang semakin lama semakin intensif, tetapi ketercapaian tujuannya lebih lambat daripada kurva 4. Pada paradigma peta kinerja kurva 4, pemerkembangan bahasa daerah lebih bersifat monoton, tetapi pencapaian tujuan lebih cepat daripada paradigma kurva 3 karena keintesifannya sedikit lebih tinggi. Paradigma peta kinerja pada kurva 5 menunjukkan pemerkembangan bahasa-bahasa daerah yang lebih intensif sejak dari awal tindakan, tetapi memerlukan usaha maksimal dan biaya yang lebih besar. Paradigma peta kinerja ini merupakan paradigma unggulan untuk memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal dan diharapkan capaian kemajuannya sama dengan kondisi sebelum tahun 1945.










Berdasarkan pilihan paradigma yang akan diambil pada gambar 2, model pemerkembangan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai model yang bersifat implementatif. Pengimplementasian model pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada model ini merupakan siklus yang semua unsurnya berjalan secara serempak, yaitu:
1. Penetapan visi, cita-cita, atau target yang akan dicapai. Kondisi kuantitatif dan kualitatif bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang diharapkan. Butir-butir yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk dijadikan tolok ukur pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan meliputi:
• Jumlah penutur  67% ( dua per tiga bagian )
• Bahasa daerah sebagai bahasa rumah tangga  67%
• Kemampuan baca/tulis bahasa daerah  67%
• Bahasa daerah adalah bahasa pergaulan sehari-hari
• dst.
2. Penilaian kondisi riil bahasa-bahasa daerah. Hal ini dilakukan melalui survei.
3. Mengevaluasi hasil penilaian kondisi riil bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan dan membandingkan dengan target yang hendak dicapai.
4. Hasil evaluasi (tahap 3) berupa kesenjangan antara target dengan kondisi riil menjadi masukan bagi mengambilan tindakan atau pengondisian. Masukan itu bisa berupa fakta dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan.



















5. Pengambilan tindakan dan pengondisian dapat berupa:
• Pembuatan atau penyempurnaan peraturan daerah;
• Perumusan atau penyempurnaan kebijakan pemerintah daerah;
• Pengadaan sarana dan prasarana;
• Pengadaan kegiatan-kegiatan rutin.
Tindakan dan pengondisian itu dipandu oleh visi, cita-cita, atau target pada bitir 1 untuk memperoleh hasil maksimal.
6. Siklus ini berjalan terus-menerus sampai target yang diharapkan benar-benar tercapai.
7. Bila target yang diharapkan telah tercapai, langkah selanjutnya adalah program pemertahanan/pelestarian.
Kegiatan pada butir 2, 3, dan harus dilaksanakan setiap tahun. Hasil kegiatan pada butir 3 digunakan sebagai rujukan untuk menetapkan kebijakan dalam penyusunan mata anggaran daerah setiap tahun sesuai dengan kegiatan pada butir 5.
D. Alternatif Tindakan dan Pengondisian
Berdasarkan masukan dari hasil evaluasi, secara garis besar tindakan dan pengondisian dapat ditempuh melalui 4 cara, yaitu:
• Peraturan daerah
• Kebijakan
• Sarana dan Prasarana
• Kegiatan-kegiatan
1. Peraturan Daerah
Peraturan yang dimaksudkan adalah penerbitan PERDA sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Misalnya, di jenjang pendidikan sekolah Bahasa daerah dijadikan muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2. Kebijakan
Penjabaran PERDA berupa langkah-langkah yang bersifat teknis. Misalnya, penetapan rencana pembangunan jangka menengah yang lebih rinci mengenai pemerkembangan bahasa-bahasa daerah.

3. Sarana/Prasarana
Pengadaan sarana/prasana sesuai dengan kebutuhan seperti:
a) Pengembangan Program Studi Sastra daerah yang didanai oleh PEMDA.
b) Pembentukan Pusat Studi Bahasa dan Kebudayaan Sulawesi-Selatan.
c) Pembentukan lembaga ”Kalang Budaya” yang berfungsi sebagai think-tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan.
d) Pengadaan rubrik koran/majalah berbahasa daerah.
e) Website (situs) berbahasa daerah.
f) Pembentukan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bidang bahasa dan kebudayaan Sulawesi Selatan.
g) Dsb.

4. Kegiatan
a. Akademik
1) Pembelajaran bahasa-bahasa dan kebudayaan daerah
2) Penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
3) Pengembangan Kamus bahasa-bahasa daerah
4) Dsb.
• Non-formal
1) Lomba pidato, baca puisi, prosa, MC, dsb. dalam bahasa daerah
2) Lomba penulisan prosa, puisi dalam aksara lontara
3) Penggunaan dwi-bahasa nama-nama jalan, tempat umum, seperti gedung pemerintah, swalayan, pasar, sekolah, tempat hiburan, rumah sakit, dan sejenisnya.
4) Penulisan karya sastra yang bernuansa budaya Sulawesi Selatan.
5) Mengangkat kepermukaan budaya Sulawesi Selatan ke dalam film-film laga.
6) Pengadaan acara berbahasa daerah melalui radio dan televisi.
7) Penggubahan lagu-lagu berbahasa daerah dan musik trandisional, tari-tarian dan seni tradisional lainnya.
8) Penggunaan bahasa daerah dalam pidato-pidato (formal dan informal), komunikasi verbal pada acara-acara resmi dan tidak resmi (pernikahan, rapat, ulang tahun, dsb.)
9) Lomba musik tradisional, seperti kecapi, sinrilik, dsb.
• Informal
Pemerkembangan bahasa daerah yang bersifat informal dilakukan dalam lingkungan keluarga sebagai bahasa rumah tangga. Penanaman kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui ceritera rakyat yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa lebih menarik, seperti dikemas dalam bentuk buku ceritera bergambar, komik, CD. Banyak ceritera rakyat Sulwesi Selatan yang dapat membangun semangat berprestasi bagi generasi mendatang. McClelland, seorang psikolog Amerika dari Havard University menunjukkan bahwa bangsa maju didominasi oleh genarasi produktif yang di masa kecilnya banyak membaca ceritera perjuangan.
E. Penutup
Seiring dengan dahsyatnya serangan globalisasi terhadap bahasa-bahasa daerah, yang memungkinkan terancamkan keberadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, diperlukan usaha-usaha maksimal. Usaha-usaha maksimal itu tidak hanya diarahkan pada pelestarian bahasa-bahasa daerah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu membuat bahasa daerah lebih diperkembangkan. Dengan kata lain, diperlukan penciptaan kondisi-kondisi untuk membuat bahasa daerah berkembang guna mengembalikan eksistensi bahasa daerah sebagaimana keadaannya sebelum tahun 1945.
Model pemerkembangan bahasa yang ditawarkan di sini diyakini dapat mengantisipasi kepunahan dan mengimbangi dampak negatif pengaruh luar. Untuk memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal diperlukan upaya-upaya dan pengondisian yang lebih optimal berdasarkan paradigma peta kinerja pada kurva 5 pada gambar 2. Perealisasiannya dilaksanakan melalui aktivitas yang bersifat terencana, konsisten atau terus-menerus, dan dievaluasi secara berkala berdasarkan model implementasi pemerkembangan yang tergambar pada gambar 3.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H. (1985). Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press., hlm. 86.
Departemen Pendidikan Nasional. ( 2003). Kamus Besar Bahasa Indenesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Ogata, Katsuhigo. (2004). Modern Control Engineering. Tokyo: Prentice Hall.
Purbo-Hadiwidjojo, M. M. (1999). Kata dan Makna: teman penulis dan penerjemah menemukan kata dan istilah . Bandung: Penerbit ITB, hlm 127.
Said, Mashadi. (1998). Konsep Jati Diri Manusia Bugis dalam Lontara: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Manusia Bugis. Disertasi Universitas Negeri Malang. Belum diterbitkan.


















INTERFERENSI BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR BAHASA TORAJA DI SDN 013 TARAKAN (BAB II )
Oleh MARTINA S.
A. Bahasa
Soekono (91984 :1) berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat yang berupa bunyi suara. Maksud dari pendapat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia lainnya. Dengan demikian dapat di katakan bahwa manusia tidak dapat berinteraksi satu sama lain tanpa adanya bahasa.
Keraf (1995 : 1:2) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi, yang di hasilkan oleh alat ucap manusia. Pendapat tersebut menyatakan bahwa bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi berupa lambang bunyi ujaran yang mempunyai makna dan arti. Dengan demikian, dapat di katakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi manusia yang berupa lamnbang bunyi ujaran, yang memiliki makna dan arti.
Chaer (1995 : 159) mangatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di bentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat di kaidahkan. Maksud pernyataan tersebut menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem yang tersusun menurut pola-pola tertentu dan terdiri atas beberapa kaidah yakni kaidah fonologi, morfologi, dan sintaksis.
B. Interferensi Bahasa
Chaer (1995 : 159) mengatakan bahwa interferensi merupakan perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Pernyataan tersebut pada dasamya menyatakan bahwa interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa akibat adanya pengaruh bahasa lain. Interferensi merupakan salah satu gejala yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa karena adanya dua system bahasa yang dikuasai. Yakni bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua. Seseorang yang menguasai dua bahasa (dwi bahasa) dalam berbahasa kedua sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa pertama. Jadi bahasa pertama berinterferensi pada bahasa kedua. Interferensi lebih bersifat individual.
Interferensi yang terjadi berupa pengucapan baik secara lisan maupun tulisan. Interferensi bahasa lisan terdapat dalam ujaran seorang dwi bahasa, akibat penguasaan bahasa pertama. Penutur bilingual menggunakan dua bahasa secara bergantian. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penutur memiliki variasi bahasa. Ada penutur yang menguasai Bl dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak, serta ada pula yang kemampuan B2-nya sangat minim. Penuturan bilingual yang mempunyai kemampuan bahasa pertama (Bl) dan bahasa kedua (B2) sama baiknya tentu tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan (kemampuan bahasa sejajar), sedangkan yang mempunyai kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah (tidak sama) dari kemampuan Bl-nya disebut kemampuan bahasa majemuk (Chaer, 1995:159). Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena dipengaruhi oleh kemampuan B1 -nya. Interferensinya terjadi pada beberapa bidang kebahasaan yaitu bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis.
C. Fonologi
1) Klasifikasi Vokal (Bahasa Toraja)
Bunyi vocal biasanya di klasifikasikan dan di beri nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertical dan biasa bersifat horizontal. Secara vertical di bedakan adanya vokal tinggi misalnya bunyi {i} dan {«} : vocal tengah , misalnya bunyi {e} dan {9} dan vocal rendah, misalnya bunyi {a}, secara horizontal di bedakan adanya vocal depan, misalnya bunyi {/} dan {e} vocal pusat, misalnya bunyi {3} dan vocal belakang, misalnya bunyi {M} dan {o}. Kemudian menurut bentuk mulut di bedakan adanya vocal bundar dan vocal tak bundar. Di sebut vocal bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misalnya vocal {o} dan {«}. di sebut vocal tak bundar karena bentuk mulut tak membundar, melainkan melebar ketika mengucapkan vocal tersebut, misalnya vocal {/’} dan {e} (Chaer, 1993:113).
Klasifikasi Vocal (Bahasa Toraja)
Klasifikasi vocal bahasa Toraja bertujuan untuk member! gambaran mengenai posisi ata tempat setoap fonem di wilayah alat-alat ucap berdasarkan pembentuknya,yaitu alat ucap mana yang aktif dalam proses terjadinya bunyi-bunyi vocal itu. Fonem vocal dalam bahasa Toraja sebanyak lima buah, yakni {i}, {u}, {e}, {o}, dan {a}. Selain itu bahasa Toraja yang memiliki rangkaian vocal, baik itu rangkaian vokal yang sama (kembar) maupun rangkaian vocal yang berbeda
2) Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Konsonan adalah bunyi ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan (Keraf, 1990 ; 25). Berikut klarifikasi konsonan dalam bahasa Indonesia.
Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Bahasa Toraja memiliki tujuh belas konsonan termasuk satu konsonan serapan yaitu (c) (sande, 1990 : 47). Bahasa toraja juga memiliki rangkaian konsonan yang di namakan konsonan kembar (geminate). Rangkaian ini memiliki ciri spesifik dan unik dalam bahasa toraja karena secara fonetis merupakan bunyi panjang yang kelihatannya sebagai suatu konsonan terdiri (Sander, 1990:55)
C. Morfologi
Ramlan (2001:21) mendefinisikan morfologi sebagai bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata baik secara gramatukal maupun leksikal. Ramlan mengatakan bahwa perubahan-prubahan bentuk kata terjadi padabentuk dasar yang mengikutinya. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada afiksasi dan reduplikasi. Komponen tersebut juga terjadi pada interferensi bahasa.
1. Afiksasi
Afiks atau imbuhan ada tiga, yakni imbuhan awal, imbuhan tengah, dan imbuhan akhir (Soekono, 198:92).
a. Imbuhan awal
1. Awalan / perfiks : me-, her-, di-, ter-, pe-, per-, se-, ke-
2. Prokilis : ku, kau
b. Imbuhan tengah Sisipan / infiks : -el-, -em-, -er-,
c. Imbuhan akhir
1. Akhiran / supfiks : -/, -kan, -an, -man, -wan, -wati, -is
2. Partikel : -lah, -kah, -tah, -pun
3. Eknis : -ku, -mu, -dal, -ndal, -anda
d. Konfiks : ke-an, me-kan, mem-per-i, mem-per-kan, di-i, di-kan, di-per-i, di- per- kan.
2. Reduplikasi
Mansoer (1996:143) menjelaskan adanya bentuk ulang dan bentuk ulang kata. Ulangan kata adalah kata yang di ulang-ulang, misalnya “mana,mana yang kau maksud?” kalinat tersebut terdapat kata ‘mantf yang diulang beberapa kali. Sedangkan kata ‘mand’ dalam kalimat “mana-mana yang kau sukai, ambil saja”. adalah kata ulang yang menyatakan benda atau bahan apa saja kata ulang (reduplikasi) adalah proses morfemis yang megulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 1994:182).
D. Sintaksis
Sintaksis merupakan bidang tataran linguistic yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsure-unsur lain sebagai satuan. Objek kajian sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.
1. Frasa
Frasa merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang masing-masing mempertahankan makna dasar katanya (kreaft, 1991: 175).
Setiap frasa memiliki satu unsur yang di sebut inti atau pusat, sedangkan unsur yang lain menjadi penjelas atau pembatas, misalnya: petani muda, tepi sawah, lereng gunung. Kata ‘petani’, ‘tepi’, ‘lereng’, adalah inti atau pusat, sedangkan kata ‘muda”, ‘sawah’, ‘gunung’, adalah unsur penjelas atau pembatasnya.
2. Klausa
Klausa adalah sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi prodikatif. Artinya, di adalam konstruksi itu ada komponen lain yang berfungsi sebagai subjek, sebgai objek, dan keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek boleh di katakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib (chaer, 1994:231). Misalnya ‘kamar mandi’ dan ‘adik mandi’. Konstruksi ‘kamar mandi’ bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen ‘kamar’ dan ; ‘mandi’ tidak bersifat perdikatif. Sedangkan konsruksi ‘nenek mandi’ adalah klausa karena hubungan komponen ‘nenek’ dan ‘mandi ‘ bersifat predikatif; ‘nenek’ adalah subjak dan ‘mandi’ pengisi predikat.
3. Kalimat
Bahasa dalam setiap hari, sering terjadi hubungan antar kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan antara kata-kata dapat menimbulkan kelompok kata atau kalimat. Kelompok kata merupakan bagian kalimat, tetapi tidak semua kelompok kata dapat di namai kalimat (Soekono, 1984:231).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar