Tindak Tutur
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya untuk mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara formal (Subyakto, 1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan, baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat yang berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan bersifat formal.
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering dihadapi oleh pembelajar bahasa Indonesia pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih sering menjadi kendala bagi pembelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2001) tentang kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pembelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).
Secara fungsi, banyak ahli membagi bahasa ke dalam bermacam klasifikasi, misalnya, Halliday mendeskripsikan tujuh fungsi bahasa, yakni fungsi instrumental, regulatory, representational interactional, personal, heuristic, dan imaginative (dalam Brown, 1980:194-195). Whatmough membaginya atas empat fungsi, yakni informatif, dinamis, emotif, dan estetis (Rusyana, 1984:141-142), dan yang lebih rinci disampaikan oleh Brown (1980:195) bukan dalam fungsi bahasa, melainkan dalam tindak komunikasi. Brown menyajikan lima belas tindak komunikasi, yaitu greeting, complimenting, interrupting, requesting, evading, criticizing, complaining, accusing, agreeing, persuading, reporting, commanding, questioning, sympathizing, dan apologizing. Perbedaan pendapat tersebut bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk menjadi khasanah dalam pemerian fungsi bahasa.
Menurut Muhammad Rohmadi, (2004) teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to do Things with words?. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tu¬tur (fire performance of speech acts).
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.
Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1962). Teori tersebut dikembangkan kembali oleh Searle pada tahun 1969. Menurut Searle, dalam semua komunikasi kebahasaan terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sekedar lambang, kata atau kalimat, tetapi lebih merupakan hasil dari perilaku tindak tutur (Searle 1969 dalam Suwito 1983:33). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur merupakan inti dari komunikasi. Tindak tutur merupajkan suatu analisis yang bersifat pokok dalam kajian pragmatik (Levinson dalam Suyono 1990:5). Pendapat tersebut berkaitan dengan objek kajian pragmatik yang sebagian besar berupa tindak tutur dalam peristiwa komunikasi. Dalam analisis pragmatik objek yang dianalisis adalah objek yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi, yaitu berupa ujaran atau tuturan yang yang diidentifikasikan maknanya dengan menggunakan teori pragmatik.
Sementara itu Austin (dalam Ibrahim 1992:106) sebagai peletak dasar teori tindak tutur mengungkapkan bahwa sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan (action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujaran sesuatu dapat disebut sebagai tindakan atau aktifitas. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu, maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain, seperti halnya mencubit atau memukul. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Austin mengungkapkan teori tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.
Sejalan dengan teori yang dikemukakan Austin, Rustono (1999:24) mengemukakan pula bahwa aktivitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu merupakan tindak tutur atau tindak ujar. Rumusan tersebut merupakan simpulan dari dua pendapat, yaitu pendapat Austin (1962) dan Gunarwan (1994:43) yang menyatakan bahwa mengujarkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Karena disamping melakukan ujaran, ujaran tersebut dapat berpengaruh terhadap orang lain yang mendengarkan sehingga menimbulkan respon dan terjadilah peristiwa komunikasi. Dalam menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan bermacam-macam maksud yang dikomunikasikan, Leech (1983) berpendapat bahwa tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakupi (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai tindakan atau aktivitas dan (5) tuturan sebagai hasil tindakan bertutur. Konsep tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
a. Jenis Tindak Tutur
Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan bertutur tidak terbatas jumlahnya, karena setiap hari seseorang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berkomunikasi, sehingga tindakan bertutur selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan atau pesan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Meskipun demikian para ahli dapat mengklasifikasikan tindak tutur tersebut dalam berbagai jenis tindak tutur yang dikelompokkan berdasarkan jenis tuturannya, kategori, modus dan sudut pandang kelayakan pelakunya. Beberapa ahli yang mengklasifikasikan tindak tutur antara lain Austin (1962), Searle (1969), Fraser (1974) dan Wijana (1996). Teori-teori yang telah dikembangkan oleh para ahli tersebut akan dijelaskan berikut ini.
1) Tindak Tutur Konstantif dan Performatif
Austin (1962) mengklasifikasikan tindak tutur yang bermodus deklaratif menjadi dua, yaitu tindak tutur konstantif dan performatif. Tindak tutur konstantif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.
• “Soekarno adalah presiden pertama RI”
Tuturan tersebut merupakan tuturan konstantif karena kebenaran tuturan tersebut dapat diterima berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh mitra tutur yang mendengarkannya, yaitu bahwa Soekarno adalah presiden pertama RI.
Tuturan performatif, menurut Austin adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu.
• “Mohon maaf atas segala kekurangan saya”
Tuturan tersebut merupakan tuturan performatif, karena tuturan tersebut selain sebagai tindak bertutur namun juga memiliki kegunaan untuk memohon maaf kepada mitra tutur. Dalam tuturan performatif penutur tidak dapat menyatakan bahwa tuturan itu benar atau salah, tetapi sahih atau tidak sahih.
Austin (1962:26-36 dalam Rustono 1999:35) mengemukakan adanya empat syarat kesahihan, yaitu (1) harus ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu, (2) orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu, (3) prosedur itu harus dilaksanakan oleh peserta secara benar, dan (4) prosedur itu harus dilaksanakan oleh peserta secara lengkap.
2) Tindak Tutur Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
Austin (1962) dan Searle (1969) menyempurnakan teori mengenai tindak tutur yang terdahulu dan mengklasifikasikan tuturan-tuturan yang ada, maka Austin dan Searle membagi tuturan menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusioner (locutionary act), tindak ilokusione (ilokutionary act) dan perlokusioner (perlocutionary act) atau biasa disebut dengan istilah lokusi, ilokusi dan perlokusi yang akan dijabarkan berikut ini.
a) Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Dalam tindak tutur ini dihasilkan serangkaian bunyi bahasa yang berarti sesuatu (Ibrahim, 1993:15). Lebih jauh tindak tutur yang relative paling mudah untuk diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan (Wijana 1996:17-18). Lokusi semata-mata tindak mengucapkan sesuatu dengan kata-kata. Dalam tindak lokusi mengacu pada apa makna tuturan yang diucapkan tanpa mengikutsertakan maksud. Tuturan berikut adalah tindak tutur lokusi:
(1) “Saya sedang makan”
(2) “Ayah ke Jakarta”
(3)“Kucing itu lucu”
Tuturan (1) mengacu pada makna bahwa penutur hanya memberitahukanbahwa dirinya sedang makan tanpa dimaksudkan meminta perhatian. Sama halnya dengan tuturan (2) dan (3), masing-masing hanya memberitahukan bahwa Ayahnya pergi ke Jakarta dan bahwa kucing yang disaksikan oleh penutur itu lucu.
b) Tindak Tutur Ilokusi
Berbeda dengan lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur (Wijana 1996:19). Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something.
Leech (dalam Rustono 1999:38) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi ada beberapa verba yang menandai tindak tutur ilokusi, antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengucapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya. Berikut adalah tindak tutur ilokusi:
(4) “Nasi goreng pak Amat itu enak “
(5) “Jalan disana licin “
(6) “Di rumah itu banyak setannya “
Tuturan (4) yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tuturnya tidak semata-mata memberi tahu, tetapi juga mempunyai maksud bahwa penutur mengajak mitra tuturnya intuk bersama-sama makan nasi goreng Pak Amat. Tuturan (5) dan (6) juga tidak semata-mata memberitahukan, tetapi mempunyai maksud menyarankan agar berhati-hati karena jalan di sana licin, dan menakut-nakuti agar mitra tutur tidak pergi ke rumah itu.
c) Tindak Tutur Perlokusi
Tin¬dak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang penutur sering kali memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak disengaja oleh penuturnya. Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah oleh Austin (1962 dalam Rustono 1999:38) sebut tindak perlokusi.
Rustono (1999:38) menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Sementara itu Tarigan (1987:35) mengatakan bahwa ujaran yang diucapkan penutur bukan hanya peristiwa ujar yang terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan ujaran yang diujarkan mengandung maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh atau akibat terhadap lingkungan mitra tutur atau penyimak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur perlokusi berhubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik (Chaer 1995:70)
Leech (dalam Rustono 1999:39) menjelaskan terdapat beberapa verba yang menandai sekaligus menjadi fungsi tindak perlokusi. Beberapa verba tersebut antara lain membujuk, menipu, mendorong, membuat jengkel, menakut-nakuti, menyenangkan, melegakan, mempermalukan, menarik perhatian dan sebagainya. Tuturan berikut adalah tindak tutur perlokusi yang masing-masing mempunyai efek pada mitra tutur.
(7) “Saya tidak punya uang pak”
(8) “Kemarin saya terlambat”
(9) “Ada pencuri !”
Tuturan (7) yang diujarkan seorang anak kepada ayahnya bermakna tidak hanya memberitahu tetapi juga sekaligus meminta uang, efek yang terjadi sang ayah akan merasa iba dan memberikan uang kepada anaknya sama halnya dengan tuturan (8) yang dituturkan oleh seorang karyawan kepada atasannya, tidak hanya memberitahu, tetapi juga minta maaf atas keterlambatannya yang berefek sang atasan tidak jadi marah-marah. Tuturan (9) yang dituturkan seseorang kepada tetangganya bisa bermakna menyarankan agar tetangganya lebih waspada, efeknya tetangga akan merasa khawatir. Tuturan yang mengandung tindak perlokusi mempunyai ‘fungsi’ yang mengakibatkan efek terhadap mitra tutur atas tuturan yang diujarkan. Dengan demikian tindak tutur perlokusi menekankan hasil dari suatu tuturan (Suyono 1990:8).
3) Tindak Tutur Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, Isbati
Menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Austin (1962), Searle kembali membahas mengenai teori tindak tutur. Apabila Austin membagi tuturan berdasarkan jenisnya menjadi tiga jenis, yaitu tuturan lokusi, ilokusi dan perlokusi, maka Searle (dalam Suyono 1990:5) mengembangkan jenis tuturan berdasarkan kategorinya menjadi lima, yaitu antara lain (1) tindak tutur representatif (asertif), (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, (5) deklaratif (isbati). Kelima tindak tutur tersebut dijabarkan sebagai berikut.
a) Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, jenis tindak tutur tersebut disebut juga tindak tutur asertif. Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan yang menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi dan sebagainya. Contoh tindak tutur representatif terdapat dalam tuturan berikut ini.
(10 ) “Saya suka makan nasi goreng”
(11) “Besok peringatan hari pahlawan”
(12) “R.A Kartini lahir di Jepara”
Tuturan (10) merupakan tindak tutur representatif karena penutur mengakui bahwa dirinya suka nasi goreng, hal tersebut mengikat penuturnya akan kebenaran isi tuturan tersebut. Demikian pula dengan tuturan (11) dan (12), tuturan (11) merupakan tuturan pernyataan bahwa besok akan diadakan peringatan hari pahlawan, sedangkan tuturan (12) merupakan tuturan menyebutkan bahwa R.A Kartini lahir di Jepara.
b) Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif disebut juga tindak tutur imposif, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba atau menantang. Contoh tuturan direktif terdapat dalam tuturan berikut.
(13) “ Berikan buku itu!”
(14) “Silakan masuk!”
(15) “Tolong ambilkan pensil di meja itu!”
Tuturan (13) termasuk tuturan direktif karena tuturan tersebut dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan memberikan buku yang dipegang oleh mitra tuturnya. Demikian juga dengan tuturan (14) dan (15) masing-masing dimaksudkan untuk menyuruh mitra tuturnya untuk melakukan apa yng disebutkan oleh penutur.
c) Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif biasajuga disebut dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tuturan ekspresif tersebut antara lain tuturan memuji, mengucapkan terimakasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung. Contoh dari tindak tutur ekspresif terdapat dalam tuturan berikut.
(15) “Bagus sekali jawabanmu, hanya masih kurang spesifik”
(16) “Terimakasih atas sanjunganmu”
(17) “Sudah bekerja keras tapi gaji tidak naik”
Tuturan (15) merupakan tindak tutur ekspresif berupa pujian yang memiliki maksud agar mitra tutur dapat memperbaiki jawaban yang dinilai kurang spesifik. Demikian pula dengan tuturan (16) dan (17) masing-masing memiliki maksud agar mitra tutur tidak memuji penutur terlalu berlebihan dan tuturan (17) merupakan keluhan terhadap apa yang selama ini telah dikerjakannya.
d) Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul. Contoh tindak tutur komisif terdapat dalam tutran berikut:
(18) “Saya akan segera datang ke rumahmu”
(19) “Saya berani bersumpah bahwa saya tidak melakukan hal itu”
(20) “ Awas kalau kamu berani berbohong”
Tuturan (18) adalah tindak komisif berjanji yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang diucapkan bahwa penutur akan segera datang ke rumah mitra tutur. Demikian juga dengan tuturan (19) dan (20) masing-masing merupakan tindak tutur komisif bersumpah bahwa penutur tidak melakukan hal yang dituduhkan dan tuturan (20) merupakan tuturan mengancam mitra tutur.
e) Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklarasi disebut juga tindak tutur isbati, tindak tutur tersebut merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru misalnya status atau keadaan dan lain sebagainya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini berupa tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni dan memaafkan. Contoh tindak tutur tersebut terdapat dalam tuturan berikut.
(21) “Kamu jangan keluar rumah ya, nak”
(22) “Besok aku tidak jadi ke sana”
(23) “Anda boleh mengajukan lamaran”
Tuturan (21) merupakan tuturan deklaratif melarang agar mitra tutur tidak keluar dari rumah, demikian juga dengan tuturan (22) dan (23) masing-masing memiliki maksud membatalkan janji dengan mitra tutur dan mengizinkan mitra tutur untuk mengajukan lamaran.
4) Tindak Tutur Langsung, Tak Langsung, Literal dan Tak Literal
Tuturan yang bermodus deklaratif dapat mengandung arti yang sebenarnya dan berfungsi untuk menyampaikan informasi secara langsung. Wijana (1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal yang akan dijabarkan sebagai berikut.
a) Tindak Tutur Langsung
Secara umum tindak tutur langsung adalah tuturan yang digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa kalimat Tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu, kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, atau permohonan. Tuturan tersebut dicontohkan sebagai berikut:
(24) “Kapan kamu datang?”
(25) “Saya pergi sekolah.”
(26) “Tolong ambilkan sapu!”
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan langsung karena digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa tuturan (24) digunakan untuk bertanya, tuturan (25) digunakan untuk memberitahukan bahwa penutur pergi ke sekolah dan tuturan (26) digunakan untuk menyatakan perintah.
b) Tindak Tutur Tak Langsung
Tindak tutur tak langsung merupakan tindak tutur yang digunakan tidak sesuai dengan penggunaan tuturan tersebut secara umum, yaitu apabila kalimat tanya digunakan untuk menyuruh mitra tutur, kalimat berita digunakan untuk bertanya dan sebagainya. Tuturan tak langsung tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut:
(27) “Kapan kamu pulang?
(28) “Sudah malam, besok ketemu lagi”
(29) “Besok ke sini lagi ya!”
Tuturan (27), (28) dan (29) merupakan tuturan tak langsung, yaitu bahwa tuturan (27), (28) dan (29) masing-masing digunakan untuk menyuruh mitra tuturnya agar segera pulang dengan menggunakan kalimat tanya, kalimat berita dan kalimat perintah.
c) Tindak Tutur Literal
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Contohnya dapat dilihat dalam tuturan berikut:
(30) “Tutup mulut”
(31) “Makan hati”
(32) “Tangan kanannya”
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan literal, yaitu bahwa pada tuturan (30) yang dimaksud dengan tutup mulut adalah menutup mulut dengan tangan ketika menguap, sedangkan tuturan (31) dan (32) masing-masing memiliki makna makan hati ayam dan tangan yang sebelah kanannya.
d) Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut:
(33) “Orang itu tinggi hati”
(34) “Pejabat itu menerima suap”
(35) “Ia dijadikan kambing hitam”
Kata yang dicetak miring dalan tuturan-tuturan tersebut merupakan kata yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya, yaitu bahwa kata “tinggi hati” dalam tuturan (33) memiliki makna bahwa orang yang dibicarakan adalah orang yang sombong dan merasa lebih mulia dari yang lain, maka digunakan kata tinggi hati. Kata “suap” dalam tuturan (34) memiliki makna uang sogok, yaitu uang yang diberikan kepada pejabat atau orang yang berwenang mengurus perkara sebagai sarana untuk melancarkan maksudnya dalam arti negatif dan kata “kambing hitam” pada tuturan (35) memiliki maksud orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, namun dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan atau lebih jelasnya orang yang dilimpahi kesalahan orang lain.
Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut :
1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya : Ambilkan buku itu! Kusuma gadis yang cantik”, Berapa saudaramu, Mad?
2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.
3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.
4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: pengenalan awal. Jakarta: Balai Pustaka
Gunarwan, Asim. 1994. Pragmatik: Pandangan Mata Burung. Jakarta: Universitas Indonesia
Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmtik (Diterjemahkan oleh Oka). Jakarta: Balai Pustaka
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Andi Offset
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media Jogja
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henry Offset
Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajaran. Malang: YA3
Tarigan, Henri Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset
__________________. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar