Aku Nglukis Ing Sayuta Langit
Delengen aku nglukis ing sayuta langit
kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut
banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang
guguran getihe tak wadhahi genthong angen-angen kagelan
dene kuwase dakcipta nganggo rambut gunung njeblug
lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga
nasib para glandhangan sing kasingkir merga impen
para pemuja patung adipura
O, kadang-kadangku sing ora nae bosen nyawang lukisan
delengen lukisanku ing sayuta langit kae
kebak akrilik mata nangis, tangan nyandhong, lan sandhangan
Pating srrantil!!!
warna-warnane banget naturalis awit dumadi saka nyawa-nyawa
sing pecat tanpa dosa
ANALISIS GEGURITAN
“AKU NGLUKIS ING SAYUTA LANGIT”
Dilihat dari bentuknya, geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” termasuk dalam jenis geguritan diafan atau transparansi karena dalam geguritan ini tidak banyak menggunakan lambang-lambang atau kiasan-kiasan. Untuk memahami geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” ini tidak banyak membutuhkan asosiasi.
Strata bunyi tampak pada asonansi, aliterasi, persajakan, dan kombinasi, bunyi yang menimbulkan orkestrasi. Dalam geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” terdapat asonansi a, u, dan i yang dikombinasikan dengan bunyi sengau “ng”, yang memberi kesan berirama dan dari asonansi tersebut memberi kesan ada sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh penyair.
Begitu juga pada bait pertama dan bait kedua, asonansi a, u dan i juga mendominasi dan dikombinasikan dengan bunyi sengau ”ng” dan bunyi “g”. Asonansi tersebut memberi kesan suatu kepiluan yang mendalam dan memberi kesan tegas.
Dalam geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” pengarang menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat Indonesia yang terjadi sekarang ini. Banyak sekali tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai moral yang terjadi di negeri ini. Banyak orang hamil di luar nikah seperti yang tersirat dalam bait pertama “..kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut”. Kemudian karena rasa malu atau lainnya mereka melakukan aborsi tanpa mempedulikan nyawa-nyawa bayi yang tidak berdosa seperti yang tergambar dalam bait “..banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang”.
Di negeri ini juga banyak terjadi bencana, seperti gunung meletus. Banyak orang-orang yang menjadi korban. Pengangguran dan kesengsaraan masyarakat semakin meningkat karena kurang pedulinya pemerintah terhadap kehidupan masyarakatnya.
Dalam persajakan, geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” sajak ini tampak adanya nonsense. Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab tidak terdapat dalam kosakata. Adapun penciptaan arti dalam sajak ini tampak pada pembaitan, tipografi, persajakan akhir, ejambement, dan homologues. Semua tanda-tanda visual itu secara linguistik tidak menimbulkan arti, tetapi secara persajakan menimbulkan suasana puitis.
Bentuk tipografi geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” tidak berbeda jauh dengan geguritan-geguritan biasanya sehingga mungkin saja tidak menrik perhatian bagi pembacanya. Di sini penulisannya tidak ada yang terlalu menjorok, semuanya ditulis sejajar. Huruf kapital juga hanya digunakan di awal bait saja. Pembaitan juga sama semua.
Bentuk penuturan geguritan ini adalah monolog yang mana di sini penyair menceritakan tentang sebuah kehidupan yang ada di kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Gaya kalimat di sini ada yang khusus berupa sarana retorika ironi dan hiperbola. Ironi tampak pada baris “..lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga”. Dalam hal ini telah diterangkan ketidaklangsungan ekspresi berupa pergantian arti(metafora) dan penyimpangan arti berupa ambiguitas. Oleh karena itu, perlu sebuah kemampuan untuk memahami makna geguritan ini. Disini pengarang tidak memakai kata-kata yang umum atau yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, karena itulah membuat geguritan itu lebih bagus dan lebih membuat pembaca semakin ingin mengerti geguritan tersebut.
Metafora tertera dalam bait pertama dan kedua, yaitu:
Bait pertama
“..sayuta langit..” adalah metafora yang mengiaskan negeri ini.
“...warna abang.." adalah metafora yang mengiaskan darah bayi-bayi yang tidak berdosa.
“..lukisan..” adalah metafora yang mengiaskan keadaan negeri ini.
“..pemuja patung adipura..” adalah metafora yang mengiaskan pemerintahan.
Bait kedua
“..kadang-kadangku..” adalah metafora yang mengiaskan penguasa- penguasa negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar