BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah merupakan lingkungan yang sangat kompleks. Pertama karena konsep tentang sekolah itu sendiri sukar untuk dipahami jika menggunakan perspektif tunggal. Kedua karena terdapat beberapa perbedaan acuan tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam mendefinisikan sekolah. Ketiga karena sekolah selalu berkaitan dengan unsur manusia, yaitu guru dan siswa. Karena faktor manusia itulah maka sekolah sukar untuk dikelola secara efektif dan efisien.
Manajemen sekolah sangat penting untuk dipelajari oleh mahasiswa calon guru dan praktisi yang terlibat di dalam pendidikan. Manajemen sekolah menuntut adanya tindakan yang dilandasi oleh proses berpikir rasional dan berlandaskan pada data empiric yang ada di sekolah. Tindakan berpikir inilah yang menjadi focus observasi.
Manajemen sekolah pada hakikatnya mempunyai pengertian yang hampir sama dengan manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen pendidikan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada manajemen sekolah. Keduanya menekankan pada tercapainya efisiensi dan efektifitas kerja agar manajemen substansi-substansi pendidikan di suatu sekolah atau manajemen berbasis sekolah dapat berjalan dengan tertib, lancer dan benar-benar terintegrasi dalam suatu sistem kerjasama yang baik.
Untuk kegiatan manajemen sekolah sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik, yaitu kurikulum dan program pengajaran, tenaga pendidikan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.
B. Sejarah Singkat Sekolah
Berdasarkan Keputusan Mendikbud RI Tanggal 22 Nopember 1985 No 0601/0/1985 Tahun Pelajaran 1985-1986 mendapat kelas baru 3 kelas bertempat di SMA Negeri Kebakkramat Karanganyar di Jalan Nangsri, Kebakkramat Kab.Karanganyar.
C. Visi dan Misi Sekolah
a.Visi Sekolah
Unggul dalam prestasi, trampil dalam bidang IPTEK, disiplin, beriman dan berbudaya.
b.Misi Sekolah
1. Melaksanakan pembelajaran bimbingan dan secara efektif, sehingga prosentase siswa yang dapat diterima di Perguruan Tinggi melalui jalur UMPTN meningkat.
2. Melaksanakan proses belajar bimbingan secara efektif sehingga siswa dapat mempunyai prestasi dalam perolehan nilai UANAS, daya daya serap dan ketuntasan tinggi.
3. Melaksanakan bimbingan dan pelatihan ketrampilan hidup dan pembinaan bakat dan prestasi.
4. Melaksanakan pembinaan dala melaksanakan tata tertib dan kedisiplinan terhadap seluruh warga sekolah.
5. Melaksanakan kegiatan keagamaan dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
D. Organisasi dan Tata Kerja
1. Struktur Organisasi Lembaga (terlampir)
2. Tugas Pokok dan Fungsi Struktur Organisasi Lembaga
1) Tugas Kepala Sekolah
Dalam melaksanakan peran / fungsinya kepala sekolah melaksanakan tugas yang banyak dan kompleks yaitu:
a. Dalam perannya sebagai pendidik, kepala sekolah bertugas membimbing guru, karyawan, siswa, mengembangkan staf, mengikuti perkembangan IPTEK dan menjadi contoh dalam proses pembelajaran.
b. Dalam perannya sebagai manager, kepala sekolah bertugas menyusun program, menyusun pengorganisasian sekolah, menggerakkan staf, mengoptimalkan sumber daya sekolah dan mengendalikan kegiatan.
c. Sebagai administrator, kepala sekolah bertugas mengelola administrasi, kegiatan belajar mengajar dan bimbingan konseling, kesiswaan, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana,persuratan, dan urusan rumah tangga sekolah.
d. Sebagai supervisor, kepala sekolah bertugas menyusun program supervise pendidikan, memanfaatkan hasil supervise.
e. Sebagai pemimpin, kepala sekolah bertugas menyusun dan mensosialisasikan visi dan misi suatu program sekolah, mengambil keputusan, melakukan komunikasi.
f. Sebagai pembaharu, kepala sekolah bertugas mencari dan melakukan pembaharuan dalam berbagai aspek, mendorong guru, staf dan orang tua untuk memahami dan memberikan dukunga terhadap pembaharuan yang ditawarkan.
g. Sebagi pembangkit minat (motivator), kepala sekolah bertugas menyihir lingkungan kerja, suasana kerja, membangun prinsip penghargaan dan hukuman (reward and punishment) yang sistemik.
2) Tugas Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
a. Menyusun program pengajaran.
b. Menyusun Pembagian tugas guru dan jadwal pelajaran.
c. Menyusun jadwal dan pelaksanaan ulangan umum serta ujian akhir.
d. Menerapkan kriteria persyaratan naik atau tidak naik dan kriteria kelulusan.
e. Mengatur jadwal penerimaan buku Laporan Penilaian Hasil Belajar dan STTB.
f. Mengkoordinasi dan mengarahkan penyusunan satuan pelajaran.
g. Menyusun laporan pelaksanaan pelajaran.
h. Membina kegiatan MGMP.
i. Membina kegiatan sanggar PKG atau MGMP atau media.
j. Melaksanakan pemilihan guru teladan.
k. Membina kegiatan lomba-lomba bidang akademis seperti LPIR, LKIR, OSN, TOEFL, mengarang dan lain-lain.
3) Tugas Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan
a. Menyusun program pembinaan kesiswaan atau OSIS.
b. Melaksanakan bimbingan, pengarahan dan pengendalian kegiatan siswa atau OSIS dalam rangka menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah serta pemilihan pengurus OSIS.
c. Membina pengurus OSIS dalam berorganisasi.
d. Menyusun program dan jadwal pembinaan siswa secara berkala dan incidental.
e. Membina dan melaksanakan koordinasi keamanan, kebersihan, ketertiban, kerindangan, keindahan, kekeluargaan.
f. Melaksanakan pemilihan calon siswa teladan dan calon siswa penerimaan beasiswa.
g. Mengadakan pemilihan siswa untuk mewakili sekolah dalam kegiatan di luar sekolah.
h. Mengatur mutasi siswa.
i. Menyusun program kegiatan ekstra kurikuler.
j. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan kesiswaan secara berkala.
4) Tugas Wakil Kepala sekolah Bidang Humas
a. Mengatur dan menyelenggarakan hubungan sekolah dengan orang tua atau wali murid.
b. Membina hubungan antara sekolah dengan komite sekolah.
c. Membina pengembangan hubungan antara sekolah dengan lembaga pemerintah dan lembaga sosial lainnya.
d. Menyusun laporan pelaksanaan hubungan masyarakat secara berkala.
5) Tugas Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana Prasarana
a. Menyusun rencana kebutuhan sarana dan prasarana sekolah.
b. Merencanakan RAPBS.
c. Mengkoordinasi pendayagunaan sarana dan prasarana.
d. Pengelola pembiayaan alat-alat pengajaran.
e. Menyusun laporan pelaksanaan urusan sarana dan prasarana secara berkala.
6) Tugas dan Tanggung Jawab Guru
a. Membuat perangkat program kerja.
b. Melaksanakan kegiatan pembelajaran.
c. Melaksanakan kegiatan penilaian proses belajar.
d. Melaksanakan analisis hasil ulangan harian.
e. Menyusun dan melaksakan program perbaikan dan pengayaan.
f. Mengisi daftar nilai siswa.
g. Melaksanakan kegiatan pengimbasan pengetahuan kepada guru lain dalam kegiatan PBM.
h. Membuat alat pelajaran atau alat peraga.
i. Mengikuti kegiatan pengembangan dan pemasyarakatan kurikulum.
j. Melaksanakan tugas tertentu di sekolah.
k. Menumbuhkembangkan sikap menghargai karya seni.
l. Membuat catatan tentang kemajuan hasil belajar siswa.
m. Mengatur kebersihan ruang kelas dan ruang praktikum.
7) Tugas Kepala Tata Usaha
a. Menyusun program tata usaha sekolah.
b. Mengelola keuangan sekolah.
c. Mengurus administrasi ketenagaan dan siswa.
d. Membina dan pengembangan karier pegawai tata usaha.
e. Menyusun administrasi perlengkapan sekolah.
f. Menyusun dan penyajian data atau statistic sekolah.
g. Mengkoordinasi dan melaksanakan keamanan, kebersihan, ketertiban, kerindangan, keindahan, kekeluargaan.
h. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan pengurusan ketatausahaan secara berkala
.
8) Tugas Wali Kelas
a. Pengelolaan kelas.
b. Penyelenggaraan administrasi kelas meliputi:
1. Denah tempat duduk siswa.
2. Papan absent siswa.
3. Daftar pelajaran kelas.
4. Daftar piket kelas.
5. Buku absensi siswa.
6. Buku kegiatan pembelajaran atau buku kelas.
7. Tata tertib kelas.
c. Penyususnan atau pembuatan statistic bulanan siswa.
d. Pengisian daftar kumpulan nilai siswa.
e. Pembuatan catatan khusus tentang siswa.
f. Pencatatan mutasi siswa.
g. Pengisian buku laporan penilaian hasil belajar.
h. Pembagian buku laporan penilaian hasil belajar.
9) Tugas Guru Bimbingan dan Konseling
a. Menyususn program pelaksanaan bimbingan dan konseling.
b. Melakukan koordinasi dengan wali kelas dalam rangka mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tentang kesulitan belajar.
c. Memberikan layanan bimbingan kepada siswa agar lebih berprestasi dalam kegiatan belajar.
d. Memberikan saran dan pertimbangan kepada siswa agar dalam memperoleh gambaran tentang lanjutan pendidikan dan lapangan pekerjaan yang sesuai.
e. Mengadakan penilaian pelaksanaan bimbingan dan konseling.
f. Menyusun statistik hasil penilaian bimbingan dan konseling.
g. Melaksanakan kegiatan analisis hasil evaluasi belajar.
h. Menyususn dan melaksanakan program tindak lanjut bimbinagn dan konseling.
i. Mengikuti kegiatan musyawarah guru pembimbing.
j. Menyusun laporan pelaksanaan bimbingan dan konseling.
10) Tugas Pustakawan Sekolah
a. Merencanakan pengadaan buku atau bahan pustaka atau media elektronika.
b. Mengurus layanan perpustakaan.
c. Memelihara dan perbaikan buku-buku atau bahan pustaka atau media elektronika.
d. Menyimpan buku-buku perpustakaan atau media elektronika.
e. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan perpustakaan secara berkala.
11) Tugas Laboran
a. Merencanakan alat dan bahan yang akan digunakan untuk praktikum.
b. Pelayanan pengadaan alat dan bahan untuk praktikum.
c. Memelihara alat dan bahan praktikum.
d. Menginventarisasikan alat dan bahan kebutuhan praktikum.
e. Menyimpan alat dan bahan setelah digunakan untuk praktikum.
f. Menyusun kerapian ruang laboratorium.
g. Menjaga kebersihan ruangan, alat-alat dan kelengkapan laboratorium.
h. Membuat laporan alat-alat dan bahan yang habis atau rusak.
3. Program Sekolah
4. Hasil Pelaksanaan Program
E. Permasalahan
Dalam melaksanakan observasi ini kami merumuskan beberapa masalah yaitu:
1. Komponen apa saja yang ada dalam manajemen sekolah
2. Bagaimana manajemen kurikulum di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
3. Bagaimana manajemen personal di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
4. Bagaimana manajemen anggaran/biaya di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
5. Bagaimana manajemen peserta didik di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
6. Bagaimana manajemen sarana prasarana di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
7. Bagaimana manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
F. Tujuan
Tujuan observasi ini adalah:
1. Mengetahui komponen manajemen sekolah
2. Mengetahui manajemen kurikulum di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
3. Mengetahui manajemen personal di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
4. Mengetahui manajemen anggaran/biaya di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
5. Mengetahui manajemen peserta didik di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
6. Mengetahui manajemen sarana dan prasarana di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
7. Mengetahui manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
G. Manfaat
1. Memberi pengetahuan kepada pembaca tentang manajemen sekolah
2. Memberi gambaran kepada pembaca tantang manajemen sekolah di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
3. Memenuhi tugas akhir semester gasal mata kuliah Manajemen Sekolah
BAB II
METODE OBSERVASI
Dalam melaksanakan observasi ini, dilakukan dengan observasi secara langsung yaitu mendatangi SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar
A. Setting Lokasi
Observasi ini dilakukan di SMA N Kebakkramat Karanganyar. Kami memilih SMA N 5 Semarang sebagai tempat melakukan observasi karena SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar merupakan sekolah favorit di Kabupaten Karanganyar Surakarta. Dari berbagai pertimbangan tersebut akhirnya kami memilih SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar sebagai tempat melakukan observasi.
B. Sumber Data
Dalam observasi ini kami memperoleh data dari sumber non-test yaitu melalui wawancara.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan pembicaraan atau tanya jawab secara lisan antara pewawancara dengan responden. Wawancara yang kami lakukan bersifat langsung dan tidak langsung. Bersifat langsung karena kami langsung mewawancarai manajer sekolah seperti kepala sekolah, guru, dan karyawan TU. Bersifat tidak langsung yaitu dari siswa dan penjaga sekolah dengan meminta pendapatnya tentang sekolah.
C. Teknik Observasi
Teknik observasi yang kami gunakan yaitu mengunjungi SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar secara langsung terjun ke lapangan. Dalam melakukan observasi kami juga meminta data-data yang berhubungan dengan semua komponen manajemen sekolah di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar. Data tersebut sebagai acuan dalam laporan observasi selain dari data wawancara dan data tersebut dimasukkan dalam lampiran.
BAB III
PEMBAHASAN
Manajemen sekolah pada hakikatnya memiliki pengertian yang hampir sama dengan manajemen pendidikan. Ruang lingkup dan bidang kajian manajemen sekolah juga merupakan ruang lingkup dan bidang kajian manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas daripada manajemen sekolah. Dengan perkataan lain, manajemen sekolah merupakan bagian dari manajemen pendidikan atau penerapan manajemen pendidikan dalam organisasi sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem pendidikan yang berlaku. Manajemen sekolah terbatas pada satu sekolah saja, sedangkan manajemen pendidikan meliputi seluruh komponen sistem pendidikan, bahkan bisa menjangkau system yang lebih luas dan besar secara regional, nasional, bahkan internasional.
Terdapat enam komponen manajemen sekolah yang perlu dikelola dengan baik, yaitu kurikulum, peserta didik, personal, anggaran/biaya, hubungan sekolah dengan masyarakat serta layanan khusus.
A. Manajemen Kurikulum
Manajemen kurikulum merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan sungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinyu terhadap situasi belajar secara efektif dan efisien demi membantu tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Dalam melaksanakan tugas dibidang manajemen kurikulum, kepala sekolah dibantu oleh wakasek bidang kurikulum yaitu Bapak Soenarso,Spd.. Urusan kurikulum ini mempunyai tugas diantaranya
1. Intrakurikuler
• Kegiatan Pembelajaran
1. Perencanaan Program Pembelajaran
2. Pelaksanaan Program Pembelajaran
3. Evaluasi
a.Kognitif
b.Psikomotor
c.Afektif
Dilakukan melalui Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, dan Ulangan Akhir Sekolah.
4. Program Remidi / Pengayaan
Dilaksanakan oleh Sekolah setelah Ulangan Kompetensi Dasar. Diikuti oleh siswa yang belum tuntas standar kompetensi. Standar Kompetensi ditentukan oleh sekolah.
Standar kompetensi tertinggi 75 untuk mata pelajaran Pkn, Pendidikan seni, Penjaskes, dan Bahasa Jawa.
Standar Kompetensi terendah 62 untuk mata pelajaran Matematika.
5. Tindak Lanjut
2. Kegiatan Ekstrakurikuler
1. Kegiatan Akademis
1. Pembinaan mata pelajaran olimpiade, science, dan bahasa inggris. Kegiatan ini dibina sendiri oleh guru mata pelajaran tersebut. Kegiatan ini rutin dilakukan setiap tiga kali dalam seminggu. Siswa yang mengikuti pembinaan ini telah dipilih oleh siswa berdasarkan nilai raport semester sebelumnya atau nilai UAS bagi siswa kelas X.
2. Tambahan jam pelajaran UAN bagi kelas XI dan XII.
Tambahan ini dilaksanakan tiga kali dalam 1 minggu. Dibina oleh guru mata pelajaran UAN.
3. KIR
Kelompok Ilmiah Remaja ini diikuti oleh siswa kelas XI dan XII. Kelompok ini dibina oleh Ibu Soedarjati, S.pd guru mata pelajararan Bahasa Indonesia. Kelompok ini melakukan kegiatan setiap 1 minggu sekali, berupa pelatihan penulisan karya ilmiah. Kelompok ini telah banyak menyumbangkan piala, dan piagam penghargaan bagi sekolah.
4.Kelompok Majalah Dinding
Kelompok pengisi majalah dinding ini dibina oleh guru mata pelajaran bahasa indonesia, setiap 1 minggu sekali. Kelompok ini melakukan penggantian isi majalah dinding setiap 1 minggu sekali sesuai tema yang ditentukan oleh sekolah. Kelompok ini sering memenangkan perlombaan-perlombaan majalah dinding tingkat Kabupaten Karanganyar.
2. Kegiatan Non Akademis
1. Pembinaan seni musik
Pembinaan ini dilakukan oleh guru mata pelajaran seni musik. Pembinaan ini dilakukan setiap 1 minggu sekali. Kegiatannya berupa pelatihan gitar, drum, dan seni suara.
2. Tata Boga
Tata Boga adalah kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang berupa pelatihan memasak bagi siswa. Bertujuan untuk menambah dan mengembangkan kemampuan siswa khususnya siswa putri dalam memasak. Kegiatan dilaksanakan setiap 1 minggu sekali oleh pembina dari luar ( bukan guru ).
3, Pramuka
Pramuka dilaksanakan setiap 1 minggu sekali, pada hari Jumat. Kegiatan ini wajib diikuti oleh siswa kelas X dan dilatih oleh Bantara dari kakak kelas XI dan Pembina dari Kabupaten Karanganyar. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan dan kemandirian siswa.
5. Olahraga
Olahraga yang dijadikan kegiatan ekstrakurikuler adalah volley dan bola basket. Kegiatan dilakukan setiap 2 kali dalam 1 minggu. Pembinaan dilakukan oleh guru penjaskes. Kegiatan ini diadakan dengan tujuan mengembangkan kemampuan siswa pada dua cabang olahraga itu. Kegiatan ini juga sering mengikuti pertandingan-pertandingan tingkat Kabupaten, Eks Karesidenan Surakarta, dan Tingkat Propinsi.
6. Tata Rias
Tata rias adalah salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan sekolah untuk menampung kreativitas siswa dalam bidang rias. Kegiatan dilaksanakan setiap satu minggu sekali, dengan pelatih mendatangkan dari pihak luar. Ekstrakurikuler ini banyak mendatangkan manfaat bagi siswa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Siswa yang mengikuti ekstrakurikuler ini telah mendapat sertifikat sehingga mudah melamar pekerjaan dimanapun dalam bidang tata rias.
Setiap siswa wajib mengikuti salah satu kegiatan ekstrakurikular tersebut diatas. Bagi siswa kelas XII dibebaskan dari kegiatan ekstrakurikuler pada semester II.
B. Manajemen Peserta Didik
Manajemen peserta didik (siswa) adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara kontinyu terhadap seluruh peserta didik (dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan) agar dapat mengikuti proses belajar mengajar (PBM) secara efektif dan efisien, demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Secara kronologis operasional, rentangan kegiatannya mulai dari penerimaan peserta didik baru sampai mereka meninggalkan sekolahnya (eksit), karena telah tamat, meninggal dunia, putus sekolah atau karena sebab-sebab lain sehingga ia tidak terdaftar lagi sebagai peserta didik sekolah tersebut. Secara garis besar, kegiatan manajemen peserta didik menunjuk kegiatan-kegiatan diluar kelas dan dalam kelas.
1. Kegiatan-kegiatan di luar kelas (Penerimaan siswa baru)
Sesuai dengan Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karanganyar tentang petunjuk teknis penerimaan peserta didik di Kabupaten Karanganyar tahun 2008/2009 yang diantaranya menyatakan bahwa :
(1) Sistem seleksi penerimaan peserta didik SMA dengan ketentuan :
a. Berdasarkan rayonisasi
b. Berdasarkan peringkat nilai akhir penjumlahan nilai UN dan Nilai Bonus Prestasi di bidang akademik, olah raga, kesenian, dan bidang ketrampilan baik pribadi maupun kelompok
(2) Rumus perhitungan nilai akhirnya adalah :
Keterangan : NA = Nilai Akhir
A = Jumlah Nilai Akhir
B = Nilai Bonus Prestasi
(3) Apabila terdapat nilai akhir yang sama maka penentuan peringkat berdasarkan :
a. pilihan 1 (satu) lebih diutamakan
b. dalam Rayon lebih diutamakan
c. usia calon peserta didik yang lebih tinggi diutamakan
d. nilai yang lebih tinggi berdasarkan urutan mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan Bahasa Indonesia
(4) Peserta didik lulusan sebelum tahun pelajaran 2007/2008 nilai IPA menggunakan nilai UAS.
(5) Pendaftaran SMA pada salah satu satuan pendidikan yang dipilih dari 2 (dua) pilihan SMA Negeri menjadi hak setiap peserta didik pada jenjang pendidikan tersebut.
(6) Usia paling tinggi 21 (dua puluh satu) tahun pada awal tahun pelajaran baru (14 Juli 2008)
Merujuk pada ketentuan umum diatas, maka SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar menerapkan prosedur penerimaan siswa baru dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Lulus SMP/MTs
2. Mengisi formulir pendaftaran
3. Diisi sesuai persyaratan ;
- NEM
- STL
- Pas Photo 3X4 10 lembar
- Piagam
4. Seleksi NEM
5. Mengisi pilihan satu dan pilihan dua sekolah
6. Pengumuman penerimaan ditempel di sekolah
7. Setelah diterima menjadi siswa SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar, maka
- siswa mengisi data pribadi
- menyerahkan NIM/STB asli
selanjutnya setelah adanya penerimaan siswa baru, maka siswa-siswi baru diwajibkan mengikuti kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa) yaitu kegiatan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengenalkan siswa pada sekolah dengan program kegiatan yang diatur sedemikian rupa oleh sekolah.
2. Kegiatan-kegiatan di dalam kelas
Harus diakui bahwa kondisi fisik dan non-fisik kelas SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar dapat dikatakan baik, kegiatan PBM pun berjalan dengan lancar. Hal tersebut dapat dilihat dari bangunan yang bagus, antusias siswa dalam mengikuti PBM serta kepiawaian guru dalam menyampaikan materi hingga siswa tidak merasa jenuh. Kesemuanya berimbas pada terciptanya interaksi belajar mengajar yang aktif dari siswa ke guru dan begitu pula sebaliknya.
Pihak sekolah juga menyediakan berbagai macam jenis kegiatan ekstrakulikuler yang dapat dipilih sendiri oleh siswa dalam upaya mengembangkan potensi dan bakat peserta didik. Sekolah pun menyediakan pembinaan ESQ yang dimasukkan ke dalam ekstrakulikuler dan BP yang memberikan pembinaan secara kontinyu sebagai upaya sekolah untuk menangkal dan menanggulangi kenakalan peserta didik.
C. Manajemen Personel
Manajemen personel merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinyu para pegawai sekolah, sehingga mereka dapat membantu/menunjang kegiatan-kegiatan sekolah (khususnya PBM) secara efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Para personel harus diadministrasikan dikelola dengan baik agar mereka senantiasa aktif dan bergairah dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.
Kegiatan administrasi personel meliputi :
1. Pengadaan Pegawai
Pegawai yang telah memperoleh SK PNS dan ditempatkan pemerintah di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar langsung diterima oleh pihak sekolah. Sebelum menempatkan guru di sekolah tertentu, Pemerintah Kabupaten terlebih dahulu memeriksa keadaan di SMA yang bersangkutan. Guru mata pelajaran apa sajakah dan berapa banyak yang dibutuhkan oleh SMA tersebut. Pemerintah tidak tiba-tiba saja menempatkan seorang guru di sembarang sekolah tanpa memperhatikan kondidi sekolah terlebih dahulu.
Lain halnya jika sekolah kekurangan guru/pegawai tetapi pemerintah tidak bisa mengirimkan pegawai maka sekolah akan mengadakan open recruitment sendiri. Dalam penerimaannya sekolah mengadakan seleksi baik tertulis maupun wawancara dengan persetujuan dari dinas pendidikan.
Namun perlu diketahui bahwa SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar jarang mendapat ataupun merekrut pegawai baru mengingat jumlah personel yang sudah melebihi kapasitas.
2. Pembinaan dan Pengembangan pegawai
Usaha sekolah dalam membina dan mengembangkan semangat kerja pegawai disusun dalam program MGMP. Contohnya, adanya pemberian penghargaan dan hadiah kepada pegawai yang berprestasi, promosi jabatan, pemilihan keteladanan dan diikutsertakan dalam diklat atas rekomendasi kepala sekolah. Hal ini dilakukan sehingga memacu semangat kerja pegawai untuk bekerja semaksimal mungkin dan memberikan yang terbaik serta guru tidak terlalu membosankan ketika menyampaikan materi yang membuat siswa bosan.
3. Evaluasi dan Supervisi
Evaluasi dilakukan lebih menggunakan pendekatan emosional, berdasarkan kinerja dari pegawai. Supervisi masih sama menggunakan sistem kekeluargaan. Namun, hal ini terkesan kepala sekolah kurang tegas, menyebabkan terjadi beberapa penyalahgunaan tugas oleh pegawai. Tetapi kepala sekolah akan bertindak tegas jika terjadi pelanggaran yang di luar batas.
Untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, sekolah juga mengalokasikan dana dari pemasukan sekolah dalam bentuk tunjangan-tunjangan untuk pegawai.
D. Manajemen Anggaran/Biaya Pendidikan
Manajemen Anggaran/Biaya Sekolah/Pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh, serta pembinaan secara kontinyu terhadap biaya operasional sekolah/pendidikan, sehingga kegiatan operasional pendidikan semakin efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Secara garis besar kegiatannya meliputi pengumpulan/penerimaan dana, yang sah (dana rutin,SPP,sumbangan BP3, Donasi, dan usaha-usaha halal lainyya), penggunaan dana, dan pertanggungjawaban dana kepada pihak-pihak terkait yang berwenang.
1. Penerimaan Dana
Penerimaan dana di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar sebagian besar diperoleh dari SPP dan SPI.
Sumbangan orangtua berwujud pada dana operasional dan dana pengembangan institusi. Dana operasional dibayar tiap bulan yang besarnya sesuai ketetapan dalam rapat pleno yang dihadiri komite sekolah dan orangtua atau wali murid. Dana pengembangan institusi hanya dibayar satu kali yaitu ketika awal masuk sekolah yang besarnya juga sesuai dengan ketetapan dalam rapat pleno. Bagi siswa yang orangtuanya kurang mampu untuk membayar dana-dana tersebut, dibebaskan atau diberi keringanan dibuktikan dengan surat keterangan kurang mampu dan kunjungan rumah.
Dana operasional diterima sekolah melalui bendahara pungutan, kemudian bendahara pungutan merekap semua yang masuk dalam satu bulan dan diserahkan kepada bendahara dua, dari bendahara dua diserahkan kepada bendahara DOP.
2. Penggunaan Dana
Pemasukan tersebut digunakan untuk operasional harian yang berupa PBM, peningkatan prestasi akademik non-akademik, honorarium dan kesejahteraan, kegiatan pelajar meliputi : program OSIS, Pramuka, perlombaan, pembinaan, penataran, upacara, STP2K, bapopsi, dll. Program fisik dan non-fisik, tim koordinasi, dan pleno komite dan orangtua siswa.
3. Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban dilakukan pada akhir tahun pelajaran yaitu pada saat rapat komite. Bendahara merekap semua pemasukan dan pengeluaran selama satu tahun pelajaran disertai bukti berupa kuitansi penggunaan dana. Rekap tersebut diketahui oleh kepala sekolah dan ketua komite SMA N 5 1 Kebakkramat Karanganyar. Sebelumnya pun kepala sekolah melakukan pemeriksaan rutin terhadap kegiataan Tata Keuangan paling tidak sebulan sekali.
E. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan sungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinyu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya dan public pada khususnya. Sehingga kegiatan operasional sekolah/pendidikan semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Dalam bidang akademik, sekolah sering mengadakan lomba Pramuka dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar. Kegiatan lain yang dilakukan oleh sekolah dalam menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar dapat dilihat dalam bidang Prasarana Pendidikan. Sekolah sering bekerjasama dengan Institusi lainnya untuk digunakan sebagai tempat dilaksanakannya try out dan ujian masuk STAN, IPB dan SPMB.
Keterlibatan masyarakat dengan sekolah juga dapat dilihat dalam bidang sosial. Pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, sekolah sering mengadakan sholat Ied berjamaah, membagikan potongan hewan qurban, zakat dan perpisahan.
Dalam bidang karya wisata, para guru SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar melaksanakan karya wisata pada bulan April.
F. Manajemen Layanan Khusus
SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar memiliki manajemen layanan khusus lengkap yang meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah. Manajemen komponen-komponen tersebut merupakan bagian penting dari MBS yang efektif dan efisien.
Fungsi perpus, UKS, dan keamanan di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar ini berjalan sebagaimana mestinya. Perpustakaan lengkap sebagai sumber informasi alternative siswa jika dikelola dengan baik memungkiknkan peserta didik untuk lebih mengembangkan pengetahuan secara mandiri, baik pada waktu-waktu kosong di sekolah maupun di rumah. Disamping itu, juga memungkinkan guru untuk mengembangkan pengetahuan secara mandiri, dan juga dapat mengajar dengan metode, bervariasi misalnya belajar individual.
Sekolah sebagai satuan pendidikan yang bertugas dan bertanggungjawab melaksanakan proses pembelajaran, tidak hanya bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap saja, tetapi harus menjaga dan meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani peserta didik. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan manusia seutuhnya. Untuk kepentingan tersebut, di sekolah-sekolah dikembangkan program pendidikan jasmani dan kesehatan, menyediakan pelayanan kesehatan sekolah melalui usaha kesehatan sekolah (UKS) dan berusaha meningkatkan program pelayanan melalui kerjasama dengan unit-unit dinas kesehatan setempat.
Di samping itu, sekolah juga perlu memberikan pelayanan keamanan kepada peserta didik dan para pegawai yang ada di sekolah agar mereka dapat belajar dan melaksanakan tugas dengan tenang dan nyaman.
Keberadaan UKS juga benar-benar dapat dirasakan siswa. Siswa dapat memanfaatkan fasilitas UKS sebagaimana mestinya.
Ada beberapa hal dalam keamanan sekolah di SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar ini yang tidak biasa dijumpai di sekolah-sekolah pada umumnya. Karena letaknya yang strategis di pinggir jalan raya, keadaan lalu lintas sekitar sekolah sudah seharusnya mendapat perhatian khusus demi terciptanya keselamatan seluruh penghuni sekolah dan SMA N 1 Kebakkrmat Karanganyar telah menyediakan beberapa personel untuk mengatur lalu lintas sekitar sekolah dan mengatur parker kendaraan guru, siswa, dan pegawai lainnya. Sebelum tamu memasuki lingkungan sekolah, maka kami diwajibkan untuk mengisi daftar hadir di pos keamanan sekolah lalu kami diberi tanda pengenal dan diperbolehkan memasuki lingkungan sekolah.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil observasi dapat kami simpulkan bahwa :
1. Komponen manajemen sekolah yaitu kurikulum, personal, anggaran/biaya, hubungan sekolah dengan masyarakat dan sarana prasarana.
2. SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar menerima pegawai melalui tes dan pembinaan meskipun pada kenyataannya sekolah ini jarang menerima ataupun merekrut pegawai baru mengingat jumlah pegawai yang cukup.
3. Anggaran pendidikan SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar sebagian besar diperoleh dari SPP dan SPI dan digunakan untuk operasional harian.
4. Dalam menerima siswa baru, SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar mengacu pada peraturan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karanganyar tentang petunjuk teknis penerimaan peserta didik di Kabupaten Karangayar tahun pelajaran 2008/2009.
5. SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar telah mencetak berbagai macam prestasi baik dibidang akademis maupun non akademis.
6. Hubungan SMA N 1 Kebakkramat Karanganyar dengan masyarakat terjalin erat dan saling membutuhkan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
B. Saran
Saran yang dapat kami rekomendasikan dari hasil observasi adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan profesionalisme setiap guru dan staf yang bertanggungjawab menjalankan operasional harian.
2. Meningkatkan kualitas peserta didik sehingga dapat menghasilkan lulusan yang lebih baik.
3. Meningkatkan fungsi dari setiap sarana dan prasarana yang ada sehingga lebih bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Sutomo, M.Pd. dkk. 2007. Manajemen Sekolah. Semarang: UNNES PRESS
____________. 2008. Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Di Kabupaten Karanganyar . Surakarta: Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Karanganyar
Selamat Datang
Minggu, 20 Juni 2010
SUPERVISI AKADEMIKA DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
SUPERVISI AKADEMIKA DALAM
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Hakikat Supervisi
Ada beberapa definisi para ahli tentang supervisi yaitu :
1. P. Adam dan Frank G. Dickey
Supervisi adalah program yang terencana untuk memperbaiki pengajaran. Dengan tujuan pokok memperbaiki proses belajar dan mengajar. Keberhasilan program ini akan tercapai jika supervisor memiliki ketrampilan dan cara kerja yang tepat untuk bekerja sama dengan orang lain(guru dan tenaga kependidikan lain).
2. Dalaru Carter Good’s Dictionary of Education
Supervisi adalah segala usaha pejabat sekolah dalam memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya, untuk memperbaiki pengajaran termasuk mengstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan-jabatan guru,menyeleksi, dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pelajaran.
3. Pidarta
Supervisi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses administrasi pendidikan yang ditujukan terutama untuk mengembangkan efektivitas kinerja personalia sekolah yang berhubungan dengan tugas-tugas utama pendidikan.
Pidarta juga memandang supervisi sebagai sub sistem dari administrasi sekolah yang mana tidak terlepas dari sistem administrasi dalam arti luas meliputi pengelolaan sarana, prasarana, dana, tenaga, lingkungan dan lain-lain. Namun, seharusnya titik berat supervisi itu ada pada perbaikan dan pengembangan kinerja profesional guru untuk mengembangkan usaha pembimbingan, pengajaran dan pelatihan peserta, dan juga meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar.
4. Sutrisna
Supervisi adalah suatu kegiatan pembelajaran untuk membantu para guru agar dalam menjalankan pembelajaran menjadi lebih baik. Dengan begitu peran supervisi bukan menyuruh, bukan mencela, dan bukan memarahi tapi untuk mendukung dan membantu.
5. Wiles
Supervisi yang baik hendaknya mengembangkan kepemimpinan di dlam kelompok, membangun program latihan dalam jabatan untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan guru dalam menilai hasil pekerjaan.
6. Sahertian
Supervisi adalah usaha mengawali, mengarahkan, mengkoordinasi dan membimbing secara individual maupun secara kolektif agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajarn sehingga dapat mengstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu sehingga dapat lebih cepat berpartisipasi dalam mmasyarakat demokrasi modern.
Secara implisit definisi itu menyodorkan konsep baru, wawasan baru, pendekatan baru tentang supervisi sebagai bantuan, pelayanan serta fasilitas kepada guru dan personil pendidik lain untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas pendidikan umumnya, khususnya kualitas proses belajar mengajar di sekolah.
B. Tujuan Supervisi
Tujuan supervisi pendidikan secara operasional yaitu untuk memberikan bantuan kepada guru guna peningkatkan kemampuan mereka dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang lebih baik yaitu yang mampu Menumbuhkembangkan potensi para siswa potensi intelektual, emosional, sosial, keagamaan maupun jasmaniyahnya.
Adapun tujuan supervisi menurut para ahli, yaitu :
1. Mulyasa (2002)
Mulyasa merumuskan tujuan supervisi sebagai bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada guru untuk belajar bagaimana meningkatkan kemampuan mereka guna mewujudkan tujuan belajar.
2. Sahertian (1981)
a. Membantu guru melihat dengan jelas tujuan pendidikan.
b. Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar murid.
c. Membantu guru dalam menggunakan sumber pengalaman murid.
d. Membantu guru dalam menggunakan metode dan alat pelajaran modern.
e. Membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar murid.
f. Membantu guru dalam menilai kemajuan murid dan hasil pekerjaan itu sendiri.
g. Membantu guru dalam membina reaksi mental atau moral kerja guru dalam rangka pertumbuhan pribadi dan jabatan mereka.
h. Membantu guru di sekolah sehingga mereka merasa gembira dengan tugas yang diperolehnya.
i. Membantu guru agar lebih mudah mengadakan penyesuaian terhadap masyarakat, cara-cara menggunakan sumber masyarakat dan seterusnya.
j. Membantu guru agar waktu dan tenaga guru tercurahkan sepenuhnya dalam pembinaan sekolah.
3. Ametembun
a. Membina kepala sekolah dan guru untuk lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya dan peranan sekolah dalam merealisasikan tujuan tersebut.
b. Memperbesar kesanggupan kepala sekolah dan guru ubtuk mempersiapkan peserta didiknya menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif.
c. Membantu kepala sekolah dan guru mengadakan diagnosis secara langsung terhadap aktivitas dan kesulitan belajar-mengajar, serta menolong mereka merencanakan perbaikan.
d. Meningkatkan kesadaran kepala sekolah dan guru serta warga sekolah lain terhadap cara kerja yang demokratis dan komprehensip, serta memperbesar kesediaan ubtuk tolong menolong.
e. Memperbesar semangat guru-guru dan meningkatkan motivasi berprestasi untuk mengoptimalkan kinerja secara maksimal dalam profesinya.
f. Membantu kepala sekolah untuk mempopulerkan pengembangan program pendidikan di sekolah kepada masyarakat.
g. Melindungi orang yang disupervisi terhadap, tuntutan yang tidak wajar dan kritik yang sehat dari masyarakat.
h. Membantu kepala sekolah dan guru dalam mengevaluasi aktivitasnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
i. Mengembangkan rasa kesatuan dan persatuan (kolegialitas) diantara, guru.
Supervisi pendidikan dilakukan atas dasar kerjasama, pertisipasi dan kolaborasi, tidak berdasarkan atas paksaan dan kepatuhan apalagi ancaman. Supervisi lebih mengutamakan peningkatan proses pembelajarn. Supervisi berarti juga bagaimana memberikan kemudahan dan membantu guru untuk mengembangkan potensinya secara optimal, dalam memberdayakan sumber dan alat pembelajaran. Supervisi hendaknya melahirkan kepemimpinan yang mampu meningkatkan efektivitas dab efisiensi program sekolah, memperkaya lingkungan para guru, member kesempatan kepada mereka untuk bekerja dan meningkatkan kinerja, mengidentifikasi serta memecahkan masalah, melibatkan guru dalam merumuskan tujuan/ dan sebagainya.
Untuk itu Gwyn merumuskan 10 tugas utama supervisor :
1. Membantu guru mengerti dan memahami para peserta didik.
2. Membentu mengembangkan dan memperbaiki, baik secara individual maupun secara bersama-sama.
3. Membantu seluruh staf sekolah agar lebih efektif dalam melaksanakan proses belajar-mengajar.
4. Membantu guru meningkatkan cara mengajar yang efektif.
5. Membantu guru secara individual.
6. Membantu guru agar dapat menilai peserta didik lebih baik.
7. Menstimulir guru agar dapat menilai diri dan pekerjaannya dengan penuh rasa aman.
8. Membantu guru agar merasa bergairah dalam pekerjaannya dengan penuh rasa aman.
9. Membantu guru dalam melaksanakan kurikulum di sekolah.
10. Membantu guru agar dapat memberikan informasi tentang kemajuan sekolahnya.
C. Fungsi Supervisi
Supervisi adalah untuk “perbaikan pengajaran”, dibuktikan dengan pendapat para ahli tentang fungsi supervisi.
a. Franseth Jane (Sahertian, 1981)
• Memberi bantuan terhadap program pendidikan melalui bermacam cara sehingga kualitas kehidupan akan doperbaiki oleh karenanya.
b. Ayer Fred E. (Sahertian, 1981)
• Memelihara program pangajaran yang ada sebaik-baiknya sehingga ada perbaikan
c. W. H. Burton dan Leo J. Buckner (Sahertian, 1981)
• Menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi hal belajar.
d. Kimball Wiles (Sahertian, 1981)
• Memperbaiki situasi belajr anak-anak.
e. Swearingen
• Mengkoordinir semua usaha sekolah.
• Melengkapi kepemimpinan kepala sekolah.
• Memperluas pengalamn guru-guru.
• Menstimulir usaha-usaha yang kreatif.
• Memberikan fasilitas dan penilaian yang terus menerus.
• Menganalisa situasi belajar dan mengajar.
• Memberikan pengetahuan dan skill kepada setiap anggota staf.
• Mengintegrasikan tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan kemampuan mengajar guru-guru.
D. Teknik Supervisi
Keberhasilan supervise ditentukn oleh tepatnya pemilihan teknik supervisi yang dilakukan. Adapun teknik-teknik supervise, yaitu :
a. Kunjungan dan observasi kelas
Kelebihan dan kakurangan dapat diamati langsung. Diskusi anatar guru dan supervisor untuk menemukan alternative dan solusi peningkatan/ perbaikan proses pembelajaran lebih konkrit dan mendalam. Ada tiga (3) pola teknik ini yaitu denagn memberi tahu, tanpa memberi tahu dan atas permintaan guru.
b. Pembicaran individual
Tindak lanjut dari hasil kunjungan dan observasi kelas. Jika tanpa kunjungan dan observasi kelas bias kalau guru sendiri merasa membutuhkan bantuan.
c. Diskusi kelompok
Setiap anggota memberikan sumbangan pemikiran untuk mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi. Tugas supervisor adalah untuk mendorong dan memotivasi anggota kelompok serta mengkoordinasikannya
E. Prinsip-prinsip Supervisi
1. Praktis
2. Fungsional
3. Relevansi
4. Ilmiah
5. Demokrasi
6. Kooperatif.
7. Konstruktif dan Kreatif
F. Tenaga Supervisi
1. Kepala sekolah terhadap guru-guru.
2. Penilik TK/ SD, SLB terhadap kepala/ guru TK, SD dan SLB dan kebudayaan
3. Kepala seksi TK, SD, SLB(Tingkat Kabupaten/ Kodya) terhadap penilik TK, SD, SLB/ Kepala sekolah dan kebudayaan.
4. Kepala Bidang Pendidikan Dasar/ Pendidikan Guru terhadap Kepala seksi TK, SD, SLB/ Panilik berdasarkan struktur mekanisme yang berlaku.
5. Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum terhadap kepala sekolas SMP, SMA.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Hakikat Supervisi
Ada beberapa definisi para ahli tentang supervisi yaitu :
1. P. Adam dan Frank G. Dickey
Supervisi adalah program yang terencana untuk memperbaiki pengajaran. Dengan tujuan pokok memperbaiki proses belajar dan mengajar. Keberhasilan program ini akan tercapai jika supervisor memiliki ketrampilan dan cara kerja yang tepat untuk bekerja sama dengan orang lain(guru dan tenaga kependidikan lain).
2. Dalaru Carter Good’s Dictionary of Education
Supervisi adalah segala usaha pejabat sekolah dalam memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya, untuk memperbaiki pengajaran termasuk mengstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan-jabatan guru,menyeleksi, dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pelajaran.
3. Pidarta
Supervisi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses administrasi pendidikan yang ditujukan terutama untuk mengembangkan efektivitas kinerja personalia sekolah yang berhubungan dengan tugas-tugas utama pendidikan.
Pidarta juga memandang supervisi sebagai sub sistem dari administrasi sekolah yang mana tidak terlepas dari sistem administrasi dalam arti luas meliputi pengelolaan sarana, prasarana, dana, tenaga, lingkungan dan lain-lain. Namun, seharusnya titik berat supervisi itu ada pada perbaikan dan pengembangan kinerja profesional guru untuk mengembangkan usaha pembimbingan, pengajaran dan pelatihan peserta, dan juga meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar.
4. Sutrisna
Supervisi adalah suatu kegiatan pembelajaran untuk membantu para guru agar dalam menjalankan pembelajaran menjadi lebih baik. Dengan begitu peran supervisi bukan menyuruh, bukan mencela, dan bukan memarahi tapi untuk mendukung dan membantu.
5. Wiles
Supervisi yang baik hendaknya mengembangkan kepemimpinan di dlam kelompok, membangun program latihan dalam jabatan untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan guru dalam menilai hasil pekerjaan.
6. Sahertian
Supervisi adalah usaha mengawali, mengarahkan, mengkoordinasi dan membimbing secara individual maupun secara kolektif agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajarn sehingga dapat mengstimulasi dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontinyu sehingga dapat lebih cepat berpartisipasi dalam mmasyarakat demokrasi modern.
Secara implisit definisi itu menyodorkan konsep baru, wawasan baru, pendekatan baru tentang supervisi sebagai bantuan, pelayanan serta fasilitas kepada guru dan personil pendidik lain untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas pendidikan umumnya, khususnya kualitas proses belajar mengajar di sekolah.
B. Tujuan Supervisi
Tujuan supervisi pendidikan secara operasional yaitu untuk memberikan bantuan kepada guru guna peningkatkan kemampuan mereka dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran yang lebih baik yaitu yang mampu Menumbuhkembangkan potensi para siswa potensi intelektual, emosional, sosial, keagamaan maupun jasmaniyahnya.
Adapun tujuan supervisi menurut para ahli, yaitu :
1. Mulyasa (2002)
Mulyasa merumuskan tujuan supervisi sebagai bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada guru untuk belajar bagaimana meningkatkan kemampuan mereka guna mewujudkan tujuan belajar.
2. Sahertian (1981)
a. Membantu guru melihat dengan jelas tujuan pendidikan.
b. Membantu guru dalam membimbing pengalaman belajar murid.
c. Membantu guru dalam menggunakan sumber pengalaman murid.
d. Membantu guru dalam menggunakan metode dan alat pelajaran modern.
e. Membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar murid.
f. Membantu guru dalam menilai kemajuan murid dan hasil pekerjaan itu sendiri.
g. Membantu guru dalam membina reaksi mental atau moral kerja guru dalam rangka pertumbuhan pribadi dan jabatan mereka.
h. Membantu guru di sekolah sehingga mereka merasa gembira dengan tugas yang diperolehnya.
i. Membantu guru agar lebih mudah mengadakan penyesuaian terhadap masyarakat, cara-cara menggunakan sumber masyarakat dan seterusnya.
j. Membantu guru agar waktu dan tenaga guru tercurahkan sepenuhnya dalam pembinaan sekolah.
3. Ametembun
a. Membina kepala sekolah dan guru untuk lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya dan peranan sekolah dalam merealisasikan tujuan tersebut.
b. Memperbesar kesanggupan kepala sekolah dan guru ubtuk mempersiapkan peserta didiknya menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif.
c. Membantu kepala sekolah dan guru mengadakan diagnosis secara langsung terhadap aktivitas dan kesulitan belajar-mengajar, serta menolong mereka merencanakan perbaikan.
d. Meningkatkan kesadaran kepala sekolah dan guru serta warga sekolah lain terhadap cara kerja yang demokratis dan komprehensip, serta memperbesar kesediaan ubtuk tolong menolong.
e. Memperbesar semangat guru-guru dan meningkatkan motivasi berprestasi untuk mengoptimalkan kinerja secara maksimal dalam profesinya.
f. Membantu kepala sekolah untuk mempopulerkan pengembangan program pendidikan di sekolah kepada masyarakat.
g. Melindungi orang yang disupervisi terhadap, tuntutan yang tidak wajar dan kritik yang sehat dari masyarakat.
h. Membantu kepala sekolah dan guru dalam mengevaluasi aktivitasnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
i. Mengembangkan rasa kesatuan dan persatuan (kolegialitas) diantara, guru.
Supervisi pendidikan dilakukan atas dasar kerjasama, pertisipasi dan kolaborasi, tidak berdasarkan atas paksaan dan kepatuhan apalagi ancaman. Supervisi lebih mengutamakan peningkatan proses pembelajarn. Supervisi berarti juga bagaimana memberikan kemudahan dan membantu guru untuk mengembangkan potensinya secara optimal, dalam memberdayakan sumber dan alat pembelajaran. Supervisi hendaknya melahirkan kepemimpinan yang mampu meningkatkan efektivitas dab efisiensi program sekolah, memperkaya lingkungan para guru, member kesempatan kepada mereka untuk bekerja dan meningkatkan kinerja, mengidentifikasi serta memecahkan masalah, melibatkan guru dalam merumuskan tujuan/ dan sebagainya.
Untuk itu Gwyn merumuskan 10 tugas utama supervisor :
1. Membantu guru mengerti dan memahami para peserta didik.
2. Membentu mengembangkan dan memperbaiki, baik secara individual maupun secara bersama-sama.
3. Membantu seluruh staf sekolah agar lebih efektif dalam melaksanakan proses belajar-mengajar.
4. Membantu guru meningkatkan cara mengajar yang efektif.
5. Membantu guru secara individual.
6. Membantu guru agar dapat menilai peserta didik lebih baik.
7. Menstimulir guru agar dapat menilai diri dan pekerjaannya dengan penuh rasa aman.
8. Membantu guru agar merasa bergairah dalam pekerjaannya dengan penuh rasa aman.
9. Membantu guru dalam melaksanakan kurikulum di sekolah.
10. Membantu guru agar dapat memberikan informasi tentang kemajuan sekolahnya.
C. Fungsi Supervisi
Supervisi adalah untuk “perbaikan pengajaran”, dibuktikan dengan pendapat para ahli tentang fungsi supervisi.
a. Franseth Jane (Sahertian, 1981)
• Memberi bantuan terhadap program pendidikan melalui bermacam cara sehingga kualitas kehidupan akan doperbaiki oleh karenanya.
b. Ayer Fred E. (Sahertian, 1981)
• Memelihara program pangajaran yang ada sebaik-baiknya sehingga ada perbaikan
c. W. H. Burton dan Leo J. Buckner (Sahertian, 1981)
• Menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi hal belajar.
d. Kimball Wiles (Sahertian, 1981)
• Memperbaiki situasi belajr anak-anak.
e. Swearingen
• Mengkoordinir semua usaha sekolah.
• Melengkapi kepemimpinan kepala sekolah.
• Memperluas pengalamn guru-guru.
• Menstimulir usaha-usaha yang kreatif.
• Memberikan fasilitas dan penilaian yang terus menerus.
• Menganalisa situasi belajar dan mengajar.
• Memberikan pengetahuan dan skill kepada setiap anggota staf.
• Mengintegrasikan tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan kemampuan mengajar guru-guru.
D. Teknik Supervisi
Keberhasilan supervise ditentukn oleh tepatnya pemilihan teknik supervisi yang dilakukan. Adapun teknik-teknik supervise, yaitu :
a. Kunjungan dan observasi kelas
Kelebihan dan kakurangan dapat diamati langsung. Diskusi anatar guru dan supervisor untuk menemukan alternative dan solusi peningkatan/ perbaikan proses pembelajaran lebih konkrit dan mendalam. Ada tiga (3) pola teknik ini yaitu denagn memberi tahu, tanpa memberi tahu dan atas permintaan guru.
b. Pembicaran individual
Tindak lanjut dari hasil kunjungan dan observasi kelas. Jika tanpa kunjungan dan observasi kelas bias kalau guru sendiri merasa membutuhkan bantuan.
c. Diskusi kelompok
Setiap anggota memberikan sumbangan pemikiran untuk mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi. Tugas supervisor adalah untuk mendorong dan memotivasi anggota kelompok serta mengkoordinasikannya
E. Prinsip-prinsip Supervisi
1. Praktis
2. Fungsional
3. Relevansi
4. Ilmiah
5. Demokrasi
6. Kooperatif.
7. Konstruktif dan Kreatif
F. Tenaga Supervisi
1. Kepala sekolah terhadap guru-guru.
2. Penilik TK/ SD, SLB terhadap kepala/ guru TK, SD dan SLB dan kebudayaan
3. Kepala seksi TK, SD, SLB(Tingkat Kabupaten/ Kodya) terhadap penilik TK, SD, SLB/ Kepala sekolah dan kebudayaan.
4. Kepala Bidang Pendidikan Dasar/ Pendidikan Guru terhadap Kepala seksi TK, SD, SLB/ Panilik berdasarkan struktur mekanisme yang berlaku.
5. Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum terhadap kepala sekolas SMP, SMA.
analisis geguritan
Aku Nglukis Ing Sayuta Langit
Delengen aku nglukis ing sayuta langit
kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut
banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang
guguran getihe tak wadhahi genthong angen-angen kagelan
dene kuwase dakcipta nganggo rambut gunung njeblug
lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga
nasib para glandhangan sing kasingkir merga impen
para pemuja patung adipura
O, kadang-kadangku sing ora nae bosen nyawang lukisan
delengen lukisanku ing sayuta langit kae
kebak akrilik mata nangis, tangan nyandhong, lan sandhangan
Pating srrantil!!!
warna-warnane banget naturalis awit dumadi saka nyawa-nyawa
sing pecat tanpa dosa
ANALISIS GEGURITAN
“AKU NGLUKIS ING SAYUTA LANGIT”
Dilihat dari bentuknya, geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” termasuk dalam jenis geguritan diafan atau transparansi karena dalam geguritan ini tidak banyak menggunakan lambang-lambang atau kiasan-kiasan. Untuk memahami geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” ini tidak banyak membutuhkan asosiasi.
Strata bunyi tampak pada asonansi, aliterasi, persajakan, dan kombinasi, bunyi yang menimbulkan orkestrasi. Dalam geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” terdapat asonansi a, u, dan i yang dikombinasikan dengan bunyi sengau “ng”, yang memberi kesan berirama dan dari asonansi tersebut memberi kesan ada sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh penyair.
Begitu juga pada bait pertama dan bait kedua, asonansi a, u dan i juga mendominasi dan dikombinasikan dengan bunyi sengau ”ng” dan bunyi “g”. Asonansi tersebut memberi kesan suatu kepiluan yang mendalam dan memberi kesan tegas.
Dalam geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” pengarang menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat Indonesia yang terjadi sekarang ini. Banyak sekali tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai moral yang terjadi di negeri ini. Banyak orang hamil di luar nikah seperti yang tersirat dalam bait pertama “..kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut”. Kemudian karena rasa malu atau lainnya mereka melakukan aborsi tanpa mempedulikan nyawa-nyawa bayi yang tidak berdosa seperti yang tergambar dalam bait “..banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang”.
Di negeri ini juga banyak terjadi bencana, seperti gunung meletus. Banyak orang-orang yang menjadi korban. Pengangguran dan kesengsaraan masyarakat semakin meningkat karena kurang pedulinya pemerintah terhadap kehidupan masyarakatnya.
Dalam persajakan, geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” sajak ini tampak adanya nonsense. Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab tidak terdapat dalam kosakata. Adapun penciptaan arti dalam sajak ini tampak pada pembaitan, tipografi, persajakan akhir, ejambement, dan homologues. Semua tanda-tanda visual itu secara linguistik tidak menimbulkan arti, tetapi secara persajakan menimbulkan suasana puitis.
Bentuk tipografi geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” tidak berbeda jauh dengan geguritan-geguritan biasanya sehingga mungkin saja tidak menrik perhatian bagi pembacanya. Di sini penulisannya tidak ada yang terlalu menjorok, semuanya ditulis sejajar. Huruf kapital juga hanya digunakan di awal bait saja. Pembaitan juga sama semua.
Bentuk penuturan geguritan ini adalah monolog yang mana di sini penyair menceritakan tentang sebuah kehidupan yang ada di kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Gaya kalimat di sini ada yang khusus berupa sarana retorika ironi dan hiperbola. Ironi tampak pada baris “..lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga”. Dalam hal ini telah diterangkan ketidaklangsungan ekspresi berupa pergantian arti(metafora) dan penyimpangan arti berupa ambiguitas. Oleh karena itu, perlu sebuah kemampuan untuk memahami makna geguritan ini. Disini pengarang tidak memakai kata-kata yang umum atau yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, karena itulah membuat geguritan itu lebih bagus dan lebih membuat pembaca semakin ingin mengerti geguritan tersebut.
Metafora tertera dalam bait pertama dan kedua, yaitu:
Bait pertama
“..sayuta langit..” adalah metafora yang mengiaskan negeri ini.
“...warna abang.." adalah metafora yang mengiaskan darah bayi-bayi yang tidak berdosa.
“..lukisan..” adalah metafora yang mengiaskan keadaan negeri ini.
“..pemuja patung adipura..” adalah metafora yang mengiaskan pemerintahan.
Bait kedua
“..kadang-kadangku..” adalah metafora yang mengiaskan penguasa- penguasa negeri ini.
Delengen aku nglukis ing sayuta langit
kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut
banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang
guguran getihe tak wadhahi genthong angen-angen kagelan
dene kuwase dakcipta nganggo rambut gunung njeblug
lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga
nasib para glandhangan sing kasingkir merga impen
para pemuja patung adipura
O, kadang-kadangku sing ora nae bosen nyawang lukisan
delengen lukisanku ing sayuta langit kae
kebak akrilik mata nangis, tangan nyandhong, lan sandhangan
Pating srrantil!!!
warna-warnane banget naturalis awit dumadi saka nyawa-nyawa
sing pecat tanpa dosa
ANALISIS GEGURITAN
“AKU NGLUKIS ING SAYUTA LANGIT”
Dilihat dari bentuknya, geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” termasuk dalam jenis geguritan diafan atau transparansi karena dalam geguritan ini tidak banyak menggunakan lambang-lambang atau kiasan-kiasan. Untuk memahami geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” ini tidak banyak membutuhkan asosiasi.
Strata bunyi tampak pada asonansi, aliterasi, persajakan, dan kombinasi, bunyi yang menimbulkan orkestrasi. Dalam geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” terdapat asonansi a, u, dan i yang dikombinasikan dengan bunyi sengau “ng”, yang memberi kesan berirama dan dari asonansi tersebut memberi kesan ada sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh penyair.
Begitu juga pada bait pertama dan bait kedua, asonansi a, u dan i juga mendominasi dan dikombinasikan dengan bunyi sengau ”ng” dan bunyi “g”. Asonansi tersebut memberi kesan suatu kepiluan yang mendalam dan memberi kesan tegas.
Dalam geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” pengarang menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat Indonesia yang terjadi sekarang ini. Banyak sekali tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai moral yang terjadi di negeri ini. Banyak orang hamil di luar nikah seperti yang tersirat dalam bait pertama “..kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut”. Kemudian karena rasa malu atau lainnya mereka melakukan aborsi tanpa mempedulikan nyawa-nyawa bayi yang tidak berdosa seperti yang tergambar dalam bait “..banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang”.
Di negeri ini juga banyak terjadi bencana, seperti gunung meletus. Banyak orang-orang yang menjadi korban. Pengangguran dan kesengsaraan masyarakat semakin meningkat karena kurang pedulinya pemerintah terhadap kehidupan masyarakatnya.
Dalam persajakan, geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” sajak ini tampak adanya nonsense. Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab tidak terdapat dalam kosakata. Adapun penciptaan arti dalam sajak ini tampak pada pembaitan, tipografi, persajakan akhir, ejambement, dan homologues. Semua tanda-tanda visual itu secara linguistik tidak menimbulkan arti, tetapi secara persajakan menimbulkan suasana puitis.
Bentuk tipografi geguritan “Aku Nglukis Ing sayuta Langit” tidak berbeda jauh dengan geguritan-geguritan biasanya sehingga mungkin saja tidak menrik perhatian bagi pembacanya. Di sini penulisannya tidak ada yang terlalu menjorok, semuanya ditulis sejajar. Huruf kapital juga hanya digunakan di awal bait saja. Pembaitan juga sama semua.
Bentuk penuturan geguritan ini adalah monolog yang mana di sini penyair menceritakan tentang sebuah kehidupan yang ada di kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini. Gaya kalimat di sini ada yang khusus berupa sarana retorika ironi dan hiperbola. Ironi tampak pada baris “..lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga”. Dalam hal ini telah diterangkan ketidaklangsungan ekspresi berupa pergantian arti(metafora) dan penyimpangan arti berupa ambiguitas. Oleh karena itu, perlu sebuah kemampuan untuk memahami makna geguritan ini. Disini pengarang tidak memakai kata-kata yang umum atau yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, karena itulah membuat geguritan itu lebih bagus dan lebih membuat pembaca semakin ingin mengerti geguritan tersebut.
Metafora tertera dalam bait pertama dan kedua, yaitu:
Bait pertama
“..sayuta langit..” adalah metafora yang mengiaskan negeri ini.
“...warna abang.." adalah metafora yang mengiaskan darah bayi-bayi yang tidak berdosa.
“..lukisan..” adalah metafora yang mengiaskan keadaan negeri ini.
“..pemuja patung adipura..” adalah metafora yang mengiaskan pemerintahan.
Bait kedua
“..kadang-kadangku..” adalah metafora yang mengiaskan penguasa- penguasa negeri ini.
guritku
TRESNAMU ING ATIKU
Ing wulan cahyane terang
Aku weruh pasuryanmu ing kana
Ngguyu lan nyawang aku
Sliramu mancarke cahya ing atiku
Kaya wulan kang mancarke cahya saben wengi
Wangine tresna wis mambu
Ngguyu wis ngrekah
Tresna kuwi wis mekar
Lara wis mari
Ra ana goresan lara
Tresnamu dadi obat ing jero atiku
Ireng wis karubah dadi putih
Lan...
Karepku tetep putih selawase
SLIRAMU
Atise wengi iki,
ngrasuk ing awakku
Resahe ati dadi slimute kalbu
Aku pengin sliramu ana terus
Ing ngimpi lan nyataku
Ngiasi saben dina-dinakU
HELEN
Helen.....
Ya, jeneng kuwi sliramu ucapke marang aku
Nyapa aku ngono
Aku ora ngerti apa karepmu?
Sliramu nggawe aku ngguyu
Najan ora ana kang lucu
Aku langsung ngguyu
Yen krungu omongan lan swaramu
Nggawe atiku rumangsa kepenak
Sliramu sakabehane kanggo aku
Kanca sejatiku
Najan kita nembe sedhela kancanan
Sliramu lunga adoh saka aku
Nganti aku mikir
Dhewe ora mungkin ketemu maneh
Helen,
Aku pengin krungu kata kuwi
Metu saka wicaramu marang aku
ESUK IKI
Atise esuk karo slimute kabut
Lan tetesan banyu udan
Nggawe ora ana tenaga
Karo apa kang meh dilakokake
Kabeh tek rasakake
Kaya atise awak ora nganggo slimut
Lan...
Tetesane luh nggawe aku pengin lunga
Iki dalan kang mesti aku lakoni
KANCA
Kanca kuwi kaya lintang ing langit
Senajan adoh,
Tetep mancarke cahya
Najan kadang ilang
Dheweke tetep ana
Ra ana wong kuwi
Namung...
Ora bisa dilalekake
Ana terus lan ngiasi ati
PURBALINGGA
Purbalingga...
Aku kangen
Wes suwe aku lunga
Aku pengin ngrasakake ramene maneh
Alun-alun ora tau sepi
Sawah-sawah ijo,
Esih akeh tak sawang
Gunung slamet ingkang endah
Purbalingga...
Kapan aku balik?
Nyawang kahananmu saiki
TAUN BARU
Langit ing wengi iki
Akeh lintang-lintang ingkang mancarke cahya
Nanging wulan ora gelem metu
Ngancani lintang-lintang ingkang akeh
Aku nyawang langit iku
Lungguh karo sliramu
Pengin ngerti kahanane langit pas taun baru
Jam 12 wengi kurang seprapat
Kembang api wis akeh,
pada ngluncur marang langit
Ingkang werna-werni
Duh.....
Apik banget langite saiki
Ora mung ana bintang-bintang
Nanging dikancani kembang api
LARA ATI
Ngapa sliramu mung nggawe lara atiku?
Apa kuwi namane tresna?
Aku wis angel percaya karo sliramu maneh
Susah ngilangke lara atiku iki
Apa karepmu saiki,
Aku wis ora bisa mujudke maneh
URIPKU
Bareng karo metune surya
Aku nyawang padange dina iki
Kaya uripku saiki
Akeh kang arep gawe atiku seneng
Bapak...
Ibu...
Masku...
Kekasihku...
Kanca-kancaku..
Mugi karo anane sekabehane,
Aku bisa mujudke cita-citaku
NALIKA PADA LUNGA
Nalika wong-wong kang tak tresnani lunga,
Lunga kabeh saka uripku
Aku ora ngerti apa kang arep tak lakoni
Ora ana maneh kang peduli marang awakku
Ora ana kang ngurusi aku
Ora ana maneh wong kang sayang aku
Aku uga melu lunga adoh
Nanging karepku
Nusul ing tempate wong kang sayang marang aku
Kluargaku...
Kekasihku...
Kanca-kancaku...
Ing wulan cahyane terang
Aku weruh pasuryanmu ing kana
Ngguyu lan nyawang aku
Sliramu mancarke cahya ing atiku
Kaya wulan kang mancarke cahya saben wengi
Wangine tresna wis mambu
Ngguyu wis ngrekah
Tresna kuwi wis mekar
Lara wis mari
Ra ana goresan lara
Tresnamu dadi obat ing jero atiku
Ireng wis karubah dadi putih
Lan...
Karepku tetep putih selawase
SLIRAMU
Atise wengi iki,
ngrasuk ing awakku
Resahe ati dadi slimute kalbu
Aku pengin sliramu ana terus
Ing ngimpi lan nyataku
Ngiasi saben dina-dinakU
HELEN
Helen.....
Ya, jeneng kuwi sliramu ucapke marang aku
Nyapa aku ngono
Aku ora ngerti apa karepmu?
Sliramu nggawe aku ngguyu
Najan ora ana kang lucu
Aku langsung ngguyu
Yen krungu omongan lan swaramu
Nggawe atiku rumangsa kepenak
Sliramu sakabehane kanggo aku
Kanca sejatiku
Najan kita nembe sedhela kancanan
Sliramu lunga adoh saka aku
Nganti aku mikir
Dhewe ora mungkin ketemu maneh
Helen,
Aku pengin krungu kata kuwi
Metu saka wicaramu marang aku
ESUK IKI
Atise esuk karo slimute kabut
Lan tetesan banyu udan
Nggawe ora ana tenaga
Karo apa kang meh dilakokake
Kabeh tek rasakake
Kaya atise awak ora nganggo slimut
Lan...
Tetesane luh nggawe aku pengin lunga
Iki dalan kang mesti aku lakoni
KANCA
Kanca kuwi kaya lintang ing langit
Senajan adoh,
Tetep mancarke cahya
Najan kadang ilang
Dheweke tetep ana
Ra ana wong kuwi
Namung...
Ora bisa dilalekake
Ana terus lan ngiasi ati
PURBALINGGA
Purbalingga...
Aku kangen
Wes suwe aku lunga
Aku pengin ngrasakake ramene maneh
Alun-alun ora tau sepi
Sawah-sawah ijo,
Esih akeh tak sawang
Gunung slamet ingkang endah
Purbalingga...
Kapan aku balik?
Nyawang kahananmu saiki
TAUN BARU
Langit ing wengi iki
Akeh lintang-lintang ingkang mancarke cahya
Nanging wulan ora gelem metu
Ngancani lintang-lintang ingkang akeh
Aku nyawang langit iku
Lungguh karo sliramu
Pengin ngerti kahanane langit pas taun baru
Jam 12 wengi kurang seprapat
Kembang api wis akeh,
pada ngluncur marang langit
Ingkang werna-werni
Duh.....
Apik banget langite saiki
Ora mung ana bintang-bintang
Nanging dikancani kembang api
LARA ATI
Ngapa sliramu mung nggawe lara atiku?
Apa kuwi namane tresna?
Aku wis angel percaya karo sliramu maneh
Susah ngilangke lara atiku iki
Apa karepmu saiki,
Aku wis ora bisa mujudke maneh
URIPKU
Bareng karo metune surya
Aku nyawang padange dina iki
Kaya uripku saiki
Akeh kang arep gawe atiku seneng
Bapak...
Ibu...
Masku...
Kekasihku...
Kanca-kancaku..
Mugi karo anane sekabehane,
Aku bisa mujudke cita-citaku
NALIKA PADA LUNGA
Nalika wong-wong kang tak tresnani lunga,
Lunga kabeh saka uripku
Aku ora ngerti apa kang arep tak lakoni
Ora ana maneh kang peduli marang awakku
Ora ana kang ngurusi aku
Ora ana maneh wong kang sayang aku
Aku uga melu lunga adoh
Nanging karepku
Nusul ing tempate wong kang sayang marang aku
Kluargaku...
Kekasihku...
Kanca-kancaku...
Jumat, 18 Juni 2010
TINDAK TUTUR
Tindak Tutur
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya untuk mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara formal (Subyakto, 1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan, baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat yang berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan bersifat formal.
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering dihadapi oleh pembelajar bahasa Indonesia pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih sering menjadi kendala bagi pembelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2001) tentang kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pembelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).
Secara fungsi, banyak ahli membagi bahasa ke dalam bermacam klasifikasi, misalnya, Halliday mendeskripsikan tujuh fungsi bahasa, yakni fungsi instrumental, regulatory, representational interactional, personal, heuristic, dan imaginative (dalam Brown, 1980:194-195). Whatmough membaginya atas empat fungsi, yakni informatif, dinamis, emotif, dan estetis (Rusyana, 1984:141-142), dan yang lebih rinci disampaikan oleh Brown (1980:195) bukan dalam fungsi bahasa, melainkan dalam tindak komunikasi. Brown menyajikan lima belas tindak komunikasi, yaitu greeting, complimenting, interrupting, requesting, evading, criticizing, complaining, accusing, agreeing, persuading, reporting, commanding, questioning, sympathizing, dan apologizing. Perbedaan pendapat tersebut bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk menjadi khasanah dalam pemerian fungsi bahasa.
Menurut Muhammad Rohmadi, (2004) teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to do Things with words?. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tu¬tur (fire performance of speech acts).
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.
Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1962). Teori tersebut dikembangkan kembali oleh Searle pada tahun 1969. Menurut Searle, dalam semua komunikasi kebahasaan terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sekedar lambang, kata atau kalimat, tetapi lebih merupakan hasil dari perilaku tindak tutur (Searle 1969 dalam Suwito 1983:33). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur merupakan inti dari komunikasi. Tindak tutur merupajkan suatu analisis yang bersifat pokok dalam kajian pragmatik (Levinson dalam Suyono 1990:5). Pendapat tersebut berkaitan dengan objek kajian pragmatik yang sebagian besar berupa tindak tutur dalam peristiwa komunikasi. Dalam analisis pragmatik objek yang dianalisis adalah objek yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi, yaitu berupa ujaran atau tuturan yang yang diidentifikasikan maknanya dengan menggunakan teori pragmatik.
Sementara itu Austin (dalam Ibrahim 1992:106) sebagai peletak dasar teori tindak tutur mengungkapkan bahwa sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan (action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujaran sesuatu dapat disebut sebagai tindakan atau aktifitas. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu, maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain, seperti halnya mencubit atau memukul. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Austin mengungkapkan teori tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.
Sejalan dengan teori yang dikemukakan Austin, Rustono (1999:24) mengemukakan pula bahwa aktivitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu merupakan tindak tutur atau tindak ujar. Rumusan tersebut merupakan simpulan dari dua pendapat, yaitu pendapat Austin (1962) dan Gunarwan (1994:43) yang menyatakan bahwa mengujarkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Karena disamping melakukan ujaran, ujaran tersebut dapat berpengaruh terhadap orang lain yang mendengarkan sehingga menimbulkan respon dan terjadilah peristiwa komunikasi. Dalam menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan bermacam-macam maksud yang dikomunikasikan, Leech (1983) berpendapat bahwa tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakupi (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai tindakan atau aktivitas dan (5) tuturan sebagai hasil tindakan bertutur. Konsep tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
a. Jenis Tindak Tutur
Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan bertutur tidak terbatas jumlahnya, karena setiap hari seseorang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berkomunikasi, sehingga tindakan bertutur selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan atau pesan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Meskipun demikian para ahli dapat mengklasifikasikan tindak tutur tersebut dalam berbagai jenis tindak tutur yang dikelompokkan berdasarkan jenis tuturannya, kategori, modus dan sudut pandang kelayakan pelakunya. Beberapa ahli yang mengklasifikasikan tindak tutur antara lain Austin (1962), Searle (1969), Fraser (1974) dan Wijana (1996). Teori-teori yang telah dikembangkan oleh para ahli tersebut akan dijelaskan berikut ini.
1) Tindak Tutur Konstantif dan Performatif
Austin (1962) mengklasifikasikan tindak tutur yang bermodus deklaratif menjadi dua, yaitu tindak tutur konstantif dan performatif. Tindak tutur konstantif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.
• “Soekarno adalah presiden pertama RI”
Tuturan tersebut merupakan tuturan konstantif karena kebenaran tuturan tersebut dapat diterima berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh mitra tutur yang mendengarkannya, yaitu bahwa Soekarno adalah presiden pertama RI.
Tuturan performatif, menurut Austin adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu.
• “Mohon maaf atas segala kekurangan saya”
Tuturan tersebut merupakan tuturan performatif, karena tuturan tersebut selain sebagai tindak bertutur namun juga memiliki kegunaan untuk memohon maaf kepada mitra tutur. Dalam tuturan performatif penutur tidak dapat menyatakan bahwa tuturan itu benar atau salah, tetapi sahih atau tidak sahih.
Austin (1962:26-36 dalam Rustono 1999:35) mengemukakan adanya empat syarat kesahihan, yaitu (1) harus ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu, (2) orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu, (3) prosedur itu harus dilaksanakan oleh peserta secara benar, dan (4) prosedur itu harus dilaksanakan oleh peserta secara lengkap.
2) Tindak Tutur Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
Austin (1962) dan Searle (1969) menyempurnakan teori mengenai tindak tutur yang terdahulu dan mengklasifikasikan tuturan-tuturan yang ada, maka Austin dan Searle membagi tuturan menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusioner (locutionary act), tindak ilokusione (ilokutionary act) dan perlokusioner (perlocutionary act) atau biasa disebut dengan istilah lokusi, ilokusi dan perlokusi yang akan dijabarkan berikut ini.
a) Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Dalam tindak tutur ini dihasilkan serangkaian bunyi bahasa yang berarti sesuatu (Ibrahim, 1993:15). Lebih jauh tindak tutur yang relative paling mudah untuk diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan (Wijana 1996:17-18). Lokusi semata-mata tindak mengucapkan sesuatu dengan kata-kata. Dalam tindak lokusi mengacu pada apa makna tuturan yang diucapkan tanpa mengikutsertakan maksud. Tuturan berikut adalah tindak tutur lokusi:
(1) “Saya sedang makan”
(2) “Ayah ke Jakarta”
(3)“Kucing itu lucu”
Tuturan (1) mengacu pada makna bahwa penutur hanya memberitahukanbahwa dirinya sedang makan tanpa dimaksudkan meminta perhatian. Sama halnya dengan tuturan (2) dan (3), masing-masing hanya memberitahukan bahwa Ayahnya pergi ke Jakarta dan bahwa kucing yang disaksikan oleh penutur itu lucu.
b) Tindak Tutur Ilokusi
Berbeda dengan lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur (Wijana 1996:19). Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something.
Leech (dalam Rustono 1999:38) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi ada beberapa verba yang menandai tindak tutur ilokusi, antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengucapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya. Berikut adalah tindak tutur ilokusi:
(4) “Nasi goreng pak Amat itu enak “
(5) “Jalan disana licin “
(6) “Di rumah itu banyak setannya “
Tuturan (4) yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tuturnya tidak semata-mata memberi tahu, tetapi juga mempunyai maksud bahwa penutur mengajak mitra tuturnya intuk bersama-sama makan nasi goreng Pak Amat. Tuturan (5) dan (6) juga tidak semata-mata memberitahukan, tetapi mempunyai maksud menyarankan agar berhati-hati karena jalan di sana licin, dan menakut-nakuti agar mitra tutur tidak pergi ke rumah itu.
c) Tindak Tutur Perlokusi
Tin¬dak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang penutur sering kali memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak disengaja oleh penuturnya. Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah oleh Austin (1962 dalam Rustono 1999:38) sebut tindak perlokusi.
Rustono (1999:38) menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Sementara itu Tarigan (1987:35) mengatakan bahwa ujaran yang diucapkan penutur bukan hanya peristiwa ujar yang terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan ujaran yang diujarkan mengandung maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh atau akibat terhadap lingkungan mitra tutur atau penyimak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur perlokusi berhubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik (Chaer 1995:70)
Leech (dalam Rustono 1999:39) menjelaskan terdapat beberapa verba yang menandai sekaligus menjadi fungsi tindak perlokusi. Beberapa verba tersebut antara lain membujuk, menipu, mendorong, membuat jengkel, menakut-nakuti, menyenangkan, melegakan, mempermalukan, menarik perhatian dan sebagainya. Tuturan berikut adalah tindak tutur perlokusi yang masing-masing mempunyai efek pada mitra tutur.
(7) “Saya tidak punya uang pak”
(8) “Kemarin saya terlambat”
(9) “Ada pencuri !”
Tuturan (7) yang diujarkan seorang anak kepada ayahnya bermakna tidak hanya memberitahu tetapi juga sekaligus meminta uang, efek yang terjadi sang ayah akan merasa iba dan memberikan uang kepada anaknya sama halnya dengan tuturan (8) yang dituturkan oleh seorang karyawan kepada atasannya, tidak hanya memberitahu, tetapi juga minta maaf atas keterlambatannya yang berefek sang atasan tidak jadi marah-marah. Tuturan (9) yang dituturkan seseorang kepada tetangganya bisa bermakna menyarankan agar tetangganya lebih waspada, efeknya tetangga akan merasa khawatir. Tuturan yang mengandung tindak perlokusi mempunyai ‘fungsi’ yang mengakibatkan efek terhadap mitra tutur atas tuturan yang diujarkan. Dengan demikian tindak tutur perlokusi menekankan hasil dari suatu tuturan (Suyono 1990:8).
3) Tindak Tutur Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, Isbati
Menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Austin (1962), Searle kembali membahas mengenai teori tindak tutur. Apabila Austin membagi tuturan berdasarkan jenisnya menjadi tiga jenis, yaitu tuturan lokusi, ilokusi dan perlokusi, maka Searle (dalam Suyono 1990:5) mengembangkan jenis tuturan berdasarkan kategorinya menjadi lima, yaitu antara lain (1) tindak tutur representatif (asertif), (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, (5) deklaratif (isbati). Kelima tindak tutur tersebut dijabarkan sebagai berikut.
a) Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, jenis tindak tutur tersebut disebut juga tindak tutur asertif. Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan yang menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi dan sebagainya. Contoh tindak tutur representatif terdapat dalam tuturan berikut ini.
(10 ) “Saya suka makan nasi goreng”
(11) “Besok peringatan hari pahlawan”
(12) “R.A Kartini lahir di Jepara”
Tuturan (10) merupakan tindak tutur representatif karena penutur mengakui bahwa dirinya suka nasi goreng, hal tersebut mengikat penuturnya akan kebenaran isi tuturan tersebut. Demikian pula dengan tuturan (11) dan (12), tuturan (11) merupakan tuturan pernyataan bahwa besok akan diadakan peringatan hari pahlawan, sedangkan tuturan (12) merupakan tuturan menyebutkan bahwa R.A Kartini lahir di Jepara.
b) Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif disebut juga tindak tutur imposif, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba atau menantang. Contoh tuturan direktif terdapat dalam tuturan berikut.
(13) “ Berikan buku itu!”
(14) “Silakan masuk!”
(15) “Tolong ambilkan pensil di meja itu!”
Tuturan (13) termasuk tuturan direktif karena tuturan tersebut dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan memberikan buku yang dipegang oleh mitra tuturnya. Demikian juga dengan tuturan (14) dan (15) masing-masing dimaksudkan untuk menyuruh mitra tuturnya untuk melakukan apa yng disebutkan oleh penutur.
c) Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif biasajuga disebut dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tuturan ekspresif tersebut antara lain tuturan memuji, mengucapkan terimakasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung. Contoh dari tindak tutur ekspresif terdapat dalam tuturan berikut.
(15) “Bagus sekali jawabanmu, hanya masih kurang spesifik”
(16) “Terimakasih atas sanjunganmu”
(17) “Sudah bekerja keras tapi gaji tidak naik”
Tuturan (15) merupakan tindak tutur ekspresif berupa pujian yang memiliki maksud agar mitra tutur dapat memperbaiki jawaban yang dinilai kurang spesifik. Demikian pula dengan tuturan (16) dan (17) masing-masing memiliki maksud agar mitra tutur tidak memuji penutur terlalu berlebihan dan tuturan (17) merupakan keluhan terhadap apa yang selama ini telah dikerjakannya.
d) Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul. Contoh tindak tutur komisif terdapat dalam tutran berikut:
(18) “Saya akan segera datang ke rumahmu”
(19) “Saya berani bersumpah bahwa saya tidak melakukan hal itu”
(20) “ Awas kalau kamu berani berbohong”
Tuturan (18) adalah tindak komisif berjanji yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang diucapkan bahwa penutur akan segera datang ke rumah mitra tutur. Demikian juga dengan tuturan (19) dan (20) masing-masing merupakan tindak tutur komisif bersumpah bahwa penutur tidak melakukan hal yang dituduhkan dan tuturan (20) merupakan tuturan mengancam mitra tutur.
e) Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklarasi disebut juga tindak tutur isbati, tindak tutur tersebut merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru misalnya status atau keadaan dan lain sebagainya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini berupa tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni dan memaafkan. Contoh tindak tutur tersebut terdapat dalam tuturan berikut.
(21) “Kamu jangan keluar rumah ya, nak”
(22) “Besok aku tidak jadi ke sana”
(23) “Anda boleh mengajukan lamaran”
Tuturan (21) merupakan tuturan deklaratif melarang agar mitra tutur tidak keluar dari rumah, demikian juga dengan tuturan (22) dan (23) masing-masing memiliki maksud membatalkan janji dengan mitra tutur dan mengizinkan mitra tutur untuk mengajukan lamaran.
4) Tindak Tutur Langsung, Tak Langsung, Literal dan Tak Literal
Tuturan yang bermodus deklaratif dapat mengandung arti yang sebenarnya dan berfungsi untuk menyampaikan informasi secara langsung. Wijana (1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal yang akan dijabarkan sebagai berikut.
a) Tindak Tutur Langsung
Secara umum tindak tutur langsung adalah tuturan yang digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa kalimat Tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu, kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, atau permohonan. Tuturan tersebut dicontohkan sebagai berikut:
(24) “Kapan kamu datang?”
(25) “Saya pergi sekolah.”
(26) “Tolong ambilkan sapu!”
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan langsung karena digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa tuturan (24) digunakan untuk bertanya, tuturan (25) digunakan untuk memberitahukan bahwa penutur pergi ke sekolah dan tuturan (26) digunakan untuk menyatakan perintah.
b) Tindak Tutur Tak Langsung
Tindak tutur tak langsung merupakan tindak tutur yang digunakan tidak sesuai dengan penggunaan tuturan tersebut secara umum, yaitu apabila kalimat tanya digunakan untuk menyuruh mitra tutur, kalimat berita digunakan untuk bertanya dan sebagainya. Tuturan tak langsung tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut:
(27) “Kapan kamu pulang?
(28) “Sudah malam, besok ketemu lagi”
(29) “Besok ke sini lagi ya!”
Tuturan (27), (28) dan (29) merupakan tuturan tak langsung, yaitu bahwa tuturan (27), (28) dan (29) masing-masing digunakan untuk menyuruh mitra tuturnya agar segera pulang dengan menggunakan kalimat tanya, kalimat berita dan kalimat perintah.
c) Tindak Tutur Literal
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Contohnya dapat dilihat dalam tuturan berikut:
(30) “Tutup mulut”
(31) “Makan hati”
(32) “Tangan kanannya”
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan literal, yaitu bahwa pada tuturan (30) yang dimaksud dengan tutup mulut adalah menutup mulut dengan tangan ketika menguap, sedangkan tuturan (31) dan (32) masing-masing memiliki makna makan hati ayam dan tangan yang sebelah kanannya.
d) Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut:
(33) “Orang itu tinggi hati”
(34) “Pejabat itu menerima suap”
(35) “Ia dijadikan kambing hitam”
Kata yang dicetak miring dalan tuturan-tuturan tersebut merupakan kata yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya, yaitu bahwa kata “tinggi hati” dalam tuturan (33) memiliki makna bahwa orang yang dibicarakan adalah orang yang sombong dan merasa lebih mulia dari yang lain, maka digunakan kata tinggi hati. Kata “suap” dalam tuturan (34) memiliki makna uang sogok, yaitu uang yang diberikan kepada pejabat atau orang yang berwenang mengurus perkara sebagai sarana untuk melancarkan maksudnya dalam arti negatif dan kata “kambing hitam” pada tuturan (35) memiliki maksud orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, namun dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan atau lebih jelasnya orang yang dilimpahi kesalahan orang lain.
Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut :
1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya : Ambilkan buku itu! Kusuma gadis yang cantik”, Berapa saudaramu, Mad?
2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.
3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.
4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: pengenalan awal. Jakarta: Balai Pustaka
Gunarwan, Asim. 1994. Pragmatik: Pandangan Mata Burung. Jakarta: Universitas Indonesia
Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmtik (Diterjemahkan oleh Oka). Jakarta: Balai Pustaka
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Andi Offset
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media Jogja
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henry Offset
Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajaran. Malang: YA3
Tarigan, Henri Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset
__________________. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya untuk mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara formal (Subyakto, 1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan, baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat yang berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan bersifat formal.
Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memerlukan dua sarana penting, yakni sarana linguistik dan sarana pragmatik. Sarana linguistik berkaitan dengan ketepatan bentuk dan struktur bahasa, sedangkan sarana pragmatik berkaitan dengan kecocokan bentuk dan struktur dengan konteks penggunaannya. Kendala pada sarana linguistik lebih sering dihadapi oleh pembelajar bahasa Indonesia pemula, sedangkan sarana pragmatik lebih sering menjadi kendala bagi pembelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fadilah (2001) tentang kesalahan berpragmatik dalam wacana tulis pembelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).
Secara fungsi, banyak ahli membagi bahasa ke dalam bermacam klasifikasi, misalnya, Halliday mendeskripsikan tujuh fungsi bahasa, yakni fungsi instrumental, regulatory, representational interactional, personal, heuristic, dan imaginative (dalam Brown, 1980:194-195). Whatmough membaginya atas empat fungsi, yakni informatif, dinamis, emotif, dan estetis (Rusyana, 1984:141-142), dan yang lebih rinci disampaikan oleh Brown (1980:195) bukan dalam fungsi bahasa, melainkan dalam tindak komunikasi. Brown menyajikan lima belas tindak komunikasi, yaitu greeting, complimenting, interrupting, requesting, evading, criticizing, complaining, accusing, agreeing, persuading, reporting, commanding, questioning, sympathizing, dan apologizing. Perbedaan pendapat tersebut bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk menjadi khasanah dalam pemerian fungsi bahasa.
Menurut Muhammad Rohmadi, (2004) teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to do Things with words?. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tu¬tur (fire performance of speech acts).
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.
Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1962). Teori tersebut dikembangkan kembali oleh Searle pada tahun 1969. Menurut Searle, dalam semua komunikasi kebahasaan terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sekedar lambang, kata atau kalimat, tetapi lebih merupakan hasil dari perilaku tindak tutur (Searle 1969 dalam Suwito 1983:33). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur merupakan inti dari komunikasi. Tindak tutur merupajkan suatu analisis yang bersifat pokok dalam kajian pragmatik (Levinson dalam Suyono 1990:5). Pendapat tersebut berkaitan dengan objek kajian pragmatik yang sebagian besar berupa tindak tutur dalam peristiwa komunikasi. Dalam analisis pragmatik objek yang dianalisis adalah objek yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi, yaitu berupa ujaran atau tuturan yang yang diidentifikasikan maknanya dengan menggunakan teori pragmatik.
Sementara itu Austin (dalam Ibrahim 1992:106) sebagai peletak dasar teori tindak tutur mengungkapkan bahwa sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan (action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujaran sesuatu dapat disebut sebagai tindakan atau aktifitas. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu, maksud inilah yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain, seperti halnya mencubit atau memukul. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Austin mengungkapkan teori tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.
Sejalan dengan teori yang dikemukakan Austin, Rustono (1999:24) mengemukakan pula bahwa aktivitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu merupakan tindak tutur atau tindak ujar. Rumusan tersebut merupakan simpulan dari dua pendapat, yaitu pendapat Austin (1962) dan Gunarwan (1994:43) yang menyatakan bahwa mengujarkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Karena disamping melakukan ujaran, ujaran tersebut dapat berpengaruh terhadap orang lain yang mendengarkan sehingga menimbulkan respon dan terjadilah peristiwa komunikasi. Dalam menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud-maksud tertentu sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan bermacam-macam maksud yang dikomunikasikan, Leech (1983) berpendapat bahwa tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakupi (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai tindakan atau aktivitas dan (5) tuturan sebagai hasil tindakan bertutur. Konsep tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
a. Jenis Tindak Tutur
Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang berupa tindakan bertutur tidak terbatas jumlahnya, karena setiap hari seseorang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berkomunikasi, sehingga tindakan bertutur selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan atau pesan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Meskipun demikian para ahli dapat mengklasifikasikan tindak tutur tersebut dalam berbagai jenis tindak tutur yang dikelompokkan berdasarkan jenis tuturannya, kategori, modus dan sudut pandang kelayakan pelakunya. Beberapa ahli yang mengklasifikasikan tindak tutur antara lain Austin (1962), Searle (1969), Fraser (1974) dan Wijana (1996). Teori-teori yang telah dikembangkan oleh para ahli tersebut akan dijelaskan berikut ini.
1) Tindak Tutur Konstantif dan Performatif
Austin (1962) mengklasifikasikan tindak tutur yang bermodus deklaratif menjadi dua, yaitu tindak tutur konstantif dan performatif. Tindak tutur konstantif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.
• “Soekarno adalah presiden pertama RI”
Tuturan tersebut merupakan tuturan konstantif karena kebenaran tuturan tersebut dapat diterima berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh mitra tutur yang mendengarkannya, yaitu bahwa Soekarno adalah presiden pertama RI.
Tuturan performatif, menurut Austin adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu.
• “Mohon maaf atas segala kekurangan saya”
Tuturan tersebut merupakan tuturan performatif, karena tuturan tersebut selain sebagai tindak bertutur namun juga memiliki kegunaan untuk memohon maaf kepada mitra tutur. Dalam tuturan performatif penutur tidak dapat menyatakan bahwa tuturan itu benar atau salah, tetapi sahih atau tidak sahih.
Austin (1962:26-36 dalam Rustono 1999:35) mengemukakan adanya empat syarat kesahihan, yaitu (1) harus ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu, (2) orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu, (3) prosedur itu harus dilaksanakan oleh peserta secara benar, dan (4) prosedur itu harus dilaksanakan oleh peserta secara lengkap.
2) Tindak Tutur Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
Austin (1962) dan Searle (1969) menyempurnakan teori mengenai tindak tutur yang terdahulu dan mengklasifikasikan tuturan-tuturan yang ada, maka Austin dan Searle membagi tuturan menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusioner (locutionary act), tindak ilokusione (ilokutionary act) dan perlokusioner (perlocutionary act) atau biasa disebut dengan istilah lokusi, ilokusi dan perlokusi yang akan dijabarkan berikut ini.
a) Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Dalam tindak tutur ini dihasilkan serangkaian bunyi bahasa yang berarti sesuatu (Ibrahim, 1993:15). Lebih jauh tindak tutur yang relative paling mudah untuk diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan (Wijana 1996:17-18). Lokusi semata-mata tindak mengucapkan sesuatu dengan kata-kata. Dalam tindak lokusi mengacu pada apa makna tuturan yang diucapkan tanpa mengikutsertakan maksud. Tuturan berikut adalah tindak tutur lokusi:
(1) “Saya sedang makan”
(2) “Ayah ke Jakarta”
(3)“Kucing itu lucu”
Tuturan (1) mengacu pada makna bahwa penutur hanya memberitahukanbahwa dirinya sedang makan tanpa dimaksudkan meminta perhatian. Sama halnya dengan tuturan (2) dan (3), masing-masing hanya memberitahukan bahwa Ayahnya pergi ke Jakarta dan bahwa kucing yang disaksikan oleh penutur itu lucu.
b) Tindak Tutur Ilokusi
Berbeda dengan lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur (Wijana 1996:19). Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something.
Leech (dalam Rustono 1999:38) menjelaskan bahwa untuk mempermudah identifikasi ada beberapa verba yang menandai tindak tutur ilokusi, antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengucapkan selamat, berjanji, mendesak, dan sebagainya. Berikut adalah tindak tutur ilokusi:
(4) “Nasi goreng pak Amat itu enak “
(5) “Jalan disana licin “
(6) “Di rumah itu banyak setannya “
Tuturan (4) yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tuturnya tidak semata-mata memberi tahu, tetapi juga mempunyai maksud bahwa penutur mengajak mitra tuturnya intuk bersama-sama makan nasi goreng Pak Amat. Tuturan (5) dan (6) juga tidak semata-mata memberitahukan, tetapi mempunyai maksud menyarankan agar berhati-hati karena jalan di sana licin, dan menakut-nakuti agar mitra tutur tidak pergi ke rumah itu.
c) Tindak Tutur Perlokusi
Tin¬dak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang penutur sering kali memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak disengaja oleh penuturnya. Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah oleh Austin (1962 dalam Rustono 1999:38) sebut tindak perlokusi.
Rustono (1999:38) menyatakan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. Sementara itu Tarigan (1987:35) mengatakan bahwa ujaran yang diucapkan penutur bukan hanya peristiwa ujar yang terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan ujaran yang diujarkan mengandung maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh atau akibat terhadap lingkungan mitra tutur atau penyimak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak tutur perlokusi berhubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik (Chaer 1995:70)
Leech (dalam Rustono 1999:39) menjelaskan terdapat beberapa verba yang menandai sekaligus menjadi fungsi tindak perlokusi. Beberapa verba tersebut antara lain membujuk, menipu, mendorong, membuat jengkel, menakut-nakuti, menyenangkan, melegakan, mempermalukan, menarik perhatian dan sebagainya. Tuturan berikut adalah tindak tutur perlokusi yang masing-masing mempunyai efek pada mitra tutur.
(7) “Saya tidak punya uang pak”
(8) “Kemarin saya terlambat”
(9) “Ada pencuri !”
Tuturan (7) yang diujarkan seorang anak kepada ayahnya bermakna tidak hanya memberitahu tetapi juga sekaligus meminta uang, efek yang terjadi sang ayah akan merasa iba dan memberikan uang kepada anaknya sama halnya dengan tuturan (8) yang dituturkan oleh seorang karyawan kepada atasannya, tidak hanya memberitahu, tetapi juga minta maaf atas keterlambatannya yang berefek sang atasan tidak jadi marah-marah. Tuturan (9) yang dituturkan seseorang kepada tetangganya bisa bermakna menyarankan agar tetangganya lebih waspada, efeknya tetangga akan merasa khawatir. Tuturan yang mengandung tindak perlokusi mempunyai ‘fungsi’ yang mengakibatkan efek terhadap mitra tutur atas tuturan yang diujarkan. Dengan demikian tindak tutur perlokusi menekankan hasil dari suatu tuturan (Suyono 1990:8).
3) Tindak Tutur Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, Isbati
Menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Austin (1962), Searle kembali membahas mengenai teori tindak tutur. Apabila Austin membagi tuturan berdasarkan jenisnya menjadi tiga jenis, yaitu tuturan lokusi, ilokusi dan perlokusi, maka Searle (dalam Suyono 1990:5) mengembangkan jenis tuturan berdasarkan kategorinya menjadi lima, yaitu antara lain (1) tindak tutur representatif (asertif), (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, (5) deklaratif (isbati). Kelima tindak tutur tersebut dijabarkan sebagai berikut.
a) Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, jenis tindak tutur tersebut disebut juga tindak tutur asertif. Tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan yang menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi dan sebagainya. Contoh tindak tutur representatif terdapat dalam tuturan berikut ini.
(10 ) “Saya suka makan nasi goreng”
(11) “Besok peringatan hari pahlawan”
(12) “R.A Kartini lahir di Jepara”
Tuturan (10) merupakan tindak tutur representatif karena penutur mengakui bahwa dirinya suka nasi goreng, hal tersebut mengikat penuturnya akan kebenaran isi tuturan tersebut. Demikian pula dengan tuturan (11) dan (12), tuturan (11) merupakan tuturan pernyataan bahwa besok akan diadakan peringatan hari pahlawan, sedangkan tuturan (12) merupakan tuturan menyebutkan bahwa R.A Kartini lahir di Jepara.
b) Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif disebut juga tindak tutur imposif, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba atau menantang. Contoh tuturan direktif terdapat dalam tuturan berikut.
(13) “ Berikan buku itu!”
(14) “Silakan masuk!”
(15) “Tolong ambilkan pensil di meja itu!”
Tuturan (13) termasuk tuturan direktif karena tuturan tersebut dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan memberikan buku yang dipegang oleh mitra tuturnya. Demikian juga dengan tuturan (14) dan (15) masing-masing dimaksudkan untuk menyuruh mitra tuturnya untuk melakukan apa yng disebutkan oleh penutur.
c) Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif biasajuga disebut dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tuturan yang termasuk dalam jenis tuturan ekspresif tersebut antara lain tuturan memuji, mengucapkan terimakasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan menyanjung. Contoh dari tindak tutur ekspresif terdapat dalam tuturan berikut.
(15) “Bagus sekali jawabanmu, hanya masih kurang spesifik”
(16) “Terimakasih atas sanjunganmu”
(17) “Sudah bekerja keras tapi gaji tidak naik”
Tuturan (15) merupakan tindak tutur ekspresif berupa pujian yang memiliki maksud agar mitra tutur dapat memperbaiki jawaban yang dinilai kurang spesifik. Demikian pula dengan tuturan (16) dan (17) masing-masing memiliki maksud agar mitra tutur tidak memuji penutur terlalu berlebihan dan tuturan (17) merupakan keluhan terhadap apa yang selama ini telah dikerjakannya.
d) Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini antara lain tuturan berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, dan berkaul. Contoh tindak tutur komisif terdapat dalam tutran berikut:
(18) “Saya akan segera datang ke rumahmu”
(19) “Saya berani bersumpah bahwa saya tidak melakukan hal itu”
(20) “ Awas kalau kamu berani berbohong”
Tuturan (18) adalah tindak komisif berjanji yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang diucapkan bahwa penutur akan segera datang ke rumah mitra tutur. Demikian juga dengan tuturan (19) dan (20) masing-masing merupakan tindak tutur komisif bersumpah bahwa penutur tidak melakukan hal yang dituduhkan dan tuturan (20) merupakan tuturan mengancam mitra tutur.
e) Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklarasi disebut juga tindak tutur isbati, tindak tutur tersebut merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru misalnya status atau keadaan dan lain sebagainya. Tuturan yang termasuk dalam jenis tindak tutur ini berupa tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni dan memaafkan. Contoh tindak tutur tersebut terdapat dalam tuturan berikut.
(21) “Kamu jangan keluar rumah ya, nak”
(22) “Besok aku tidak jadi ke sana”
(23) “Anda boleh mengajukan lamaran”
Tuturan (21) merupakan tuturan deklaratif melarang agar mitra tutur tidak keluar dari rumah, demikian juga dengan tuturan (22) dan (23) masing-masing memiliki maksud membatalkan janji dengan mitra tutur dan mengizinkan mitra tutur untuk mengajukan lamaran.
4) Tindak Tutur Langsung, Tak Langsung, Literal dan Tak Literal
Tuturan yang bermodus deklaratif dapat mengandung arti yang sebenarnya dan berfungsi untuk menyampaikan informasi secara langsung. Wijana (1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal yang akan dijabarkan sebagai berikut.
a) Tindak Tutur Langsung
Secara umum tindak tutur langsung adalah tuturan yang digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa kalimat Tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu, kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, atau permohonan. Tuturan tersebut dicontohkan sebagai berikut:
(24) “Kapan kamu datang?”
(25) “Saya pergi sekolah.”
(26) “Tolong ambilkan sapu!”
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan langsung karena digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa tuturan (24) digunakan untuk bertanya, tuturan (25) digunakan untuk memberitahukan bahwa penutur pergi ke sekolah dan tuturan (26) digunakan untuk menyatakan perintah.
b) Tindak Tutur Tak Langsung
Tindak tutur tak langsung merupakan tindak tutur yang digunakan tidak sesuai dengan penggunaan tuturan tersebut secara umum, yaitu apabila kalimat tanya digunakan untuk menyuruh mitra tutur, kalimat berita digunakan untuk bertanya dan sebagainya. Tuturan tak langsung tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut:
(27) “Kapan kamu pulang?
(28) “Sudah malam, besok ketemu lagi”
(29) “Besok ke sini lagi ya!”
Tuturan (27), (28) dan (29) merupakan tuturan tak langsung, yaitu bahwa tuturan (27), (28) dan (29) masing-masing digunakan untuk menyuruh mitra tuturnya agar segera pulang dengan menggunakan kalimat tanya, kalimat berita dan kalimat perintah.
c) Tindak Tutur Literal
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Contohnya dapat dilihat dalam tuturan berikut:
(30) “Tutup mulut”
(31) “Makan hati”
(32) “Tangan kanannya”
Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan literal, yaitu bahwa pada tuturan (30) yang dimaksud dengan tutup mulut adalah menutup mulut dengan tangan ketika menguap, sedangkan tuturan (31) dan (32) masing-masing memiliki makna makan hati ayam dan tangan yang sebelah kanannya.
d) Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna kata yang menyusunnya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut:
(33) “Orang itu tinggi hati”
(34) “Pejabat itu menerima suap”
(35) “Ia dijadikan kambing hitam”
Kata yang dicetak miring dalan tuturan-tuturan tersebut merupakan kata yang tidak sesuai dengan makna sesungguhnya, yaitu bahwa kata “tinggi hati” dalam tuturan (33) memiliki makna bahwa orang yang dibicarakan adalah orang yang sombong dan merasa lebih mulia dari yang lain, maka digunakan kata tinggi hati. Kata “suap” dalam tuturan (34) memiliki makna uang sogok, yaitu uang yang diberikan kepada pejabat atau orang yang berwenang mengurus perkara sebagai sarana untuk melancarkan maksudnya dalam arti negatif dan kata “kambing hitam” pada tuturan (35) memiliki maksud orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, namun dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan atau lebih jelasnya orang yang dilimpahi kesalahan orang lain.
Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut :
1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya : Ambilkan buku itu! Kusuma gadis yang cantik”, Berapa saudaramu, Mad?
2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.
3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.
4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: pengenalan awal. Jakarta: Balai Pustaka
Gunarwan, Asim. 1994. Pragmatik: Pandangan Mata Burung. Jakarta: Universitas Indonesia
Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmtik (Diterjemahkan oleh Oka). Jakarta: Balai Pustaka
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Andi Offset
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media Jogja
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henry Offset
Suyono. 1990. Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajaran. Malang: YA3
Tarigan, Henri Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset
__________________. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
PEMANFAATAN FILM BISU SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MENULIS DIALOG BERBAHASA JAWA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembelajaran bahasa mencakup empat aspek keterampilan berbahasa yaitu, mendengarkan atau menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Keempat aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain (Tarigan 1986:1). Keterampilan menulis adalah menuangkan pikiran atau perasaan melalui tulisan, mempergunakan bahasa sebagai medianya. Hasil keterampilan menulis dibaca oleh orang lain. Agar tulisan itu mudah dipahami, maka tulisan harus menggunakan bahasa yang jelas. Oleh karena itu, keterampilan menulis membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam pembelajarannya.
Keterampilan menulis dialog akan mudah diperoleh siswa jika mempunyai bekal yang cukup sebagai dasarnya. Seringkali siswa menganggap menulis merupakan hal yang sulit untuk dilakukan tidak terkecuali menulis dialog. Hal ini terjadi karena kebingungan siswa tentang apa yang akan mereka tulis. Menurut siswa, pembelajaran menulis yang dilakukan oleh guru dirasa kurang menarik. Guru hanya menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran menulis dialog. Media yang digunakan juga hanya teks biasa. Selain itu, guru juga cenderung membatasi imaji siswa. Hal ini terlihat dari peran guru yang hanya memberikan tema tanpa menyediakan media yang dapat merangsang kekreatifan siswa.
Pembelajaran menulis dialog di sini menggunakan media film bisu. Media ini merupakan media yang digunakan guru agar dapat merangsang imaji siswa dalam menulis dialog. Kegiatan awal yang dilakukan adalah melihat tayangan film bisu yang sudah disediakan. Kegiatan awal ini dimaksudkan agar siswa mendapatkan ide dan menuangkannya ke dalam dialog. Kegiatan selanjutnya adalah menuangkan ide setelah melihat film bisu tersebut ke dalam sebuah dialog. Aspek yang diperhatikan yaitu tingkat kemampuan siswa menuangkan kekreatifannya dalam menyusun dialog.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penggunaan media film bisu dalam keterampilan menulis dialog?
1.3 Tujuan Peneltitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Deskripsi mengenai penggunaan media film bisu dalam keterampilan menulis dialog
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai pedoman atau acuan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, ini dapat bermanfaat khususnya bagi siswa dan guru. Bagi siswa, akan menumbuhkan kekreatifitasannya dalam menulis dialog, dan dapat membiasakan dalam menulis dialog. Bagi guru, akan bermanfaat khususnya dalam melakukan pembelajaran menulis dialog.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Penggunaan Media Film Bisu dalam Keterampilan Menulis Dialog
Keterampilan menulis merupakan kegiatan menuangkan pikiran dan perasaan melalui tulisan, mempergunakan bahasa sebagai medianya. Hasil keterampilan menulis adalah untuk dibaca oleh orang lain. Agar tulisan itu mudah dibaca dan dipahami, maka tulisan tersebut haruslah menggunakan bahasa yang jelas. Oleh karena itu, keterampilan menulis membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam hal pembelajaran.
Sesuai dengan perkembangan jaman, maka media pengajaranpun juga berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi media pengajaran yang modern. Pada dasarnya media banyak digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah media komunikasi. Dalam makalah ini penulis menggunakan media film bisu dalam keterampilan menulis dialog.
Film disebut juga gambar hidup, yaitu serangkaian gambar diam yang meluncur secara cepat dan diproyeksikan sehingga menimbulkan kesan hidup dan bergerak. Film, dalam konteks ini disebut sebagai produk. Kata film akan merujuk kepada istilah yang dikenal dengan sinema. Film bisu adalah perkembangan media yang dianggap murni sebagai seni visual (tanpa audio). Film bisu sangat membangun imajinasi penonton sehingga penulis mengambil film bisu sebagai media pembelajaran dalam keterampilan menulis dialog.
Dialog tidak dapat dilepaskan dalam dunia tulis menulis, baik dalam format blog, fiksi, dan nonfiksi. Dialog sangat penting untuk berbagai tujuan dalam penceritaan sehingga pengarang tidak bisa sembarangan menjadikan dialog sebagai obrolan yang tidak jelas. Dialog yang baik menjelaskan karakter, membuat cerita berkembang maju, menciptakan konflik, dan memberikan informasi. Itulah tujuan dasar dialog. Dialog dalam karangan fiksi berfungsi sebagai penggerak cerita, selain itu berguna juga memperkuat karakter tokoh dalam cerita. Dialog juga dapat membuat cerita lebih dinamis.
Dalam penggunaan media film bisu pada awalnya memberikan penjelasan tentang dialog terlebih dahulu. Hai ini dilakukan agar siswa mengetahui tentang dialog terlebih dahulu. Kemudian, bertanya jawab dengan siswa mengenai film bisu, meliputi pengertian film bisu.
Penggunaan media ini dilakukan dengan memutarkan sebuah film bisu untuk dijadikan sumber inspirasi siswa dalam menulis sebuah dialog. Kemudian siswa melihat film itu secara bersama-sama. Kegiatan lanjutan dalam pembelajaran menulis dialog adalah pemberian tugas kepada siswa agar membuat dialog antartokoh dalam film bisu yang sudah ditonton. Diharapkan dengan melihat film bisu yang diputarkan, siswa akan memperoleh ide.
Kegiatan inti dalam pembelajaran ini adalah membuat dialog sesuai dengan film bisu yang sudah diputarkan. Setelah pembelajaran menulis dialog, kegiatan akhir adalah pembagian jurnal untuk memperoleh data.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Film bisu bisa menjadi salah satu media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran keterampilan menulis dialog.
b) Film bisu dapat dijadikan sumber inspirasi siswa dalam menulis sebuah dialog.
3.2 Saran
a) Sebaiknya guru lebih kreatif lagi dalam membuat media yang akan digunakan delam pembelajaran supaya menarik perhatian siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Henry Guntur. 1986 . Menulis. Bandung: Angkasa.
http://manshurzikri.wordpress.com/2009/12/10/Media-Part-2/
http://forumlingkarpena.net/2008/12/delapan-kesalahan-umum-dalam-membuat-dialog/
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembelajaran bahasa mencakup empat aspek keterampilan berbahasa yaitu, mendengarkan atau menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Keempat aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain (Tarigan 1986:1). Keterampilan menulis adalah menuangkan pikiran atau perasaan melalui tulisan, mempergunakan bahasa sebagai medianya. Hasil keterampilan menulis dibaca oleh orang lain. Agar tulisan itu mudah dipahami, maka tulisan harus menggunakan bahasa yang jelas. Oleh karena itu, keterampilan menulis membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam pembelajarannya.
Keterampilan menulis dialog akan mudah diperoleh siswa jika mempunyai bekal yang cukup sebagai dasarnya. Seringkali siswa menganggap menulis merupakan hal yang sulit untuk dilakukan tidak terkecuali menulis dialog. Hal ini terjadi karena kebingungan siswa tentang apa yang akan mereka tulis. Menurut siswa, pembelajaran menulis yang dilakukan oleh guru dirasa kurang menarik. Guru hanya menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran menulis dialog. Media yang digunakan juga hanya teks biasa. Selain itu, guru juga cenderung membatasi imaji siswa. Hal ini terlihat dari peran guru yang hanya memberikan tema tanpa menyediakan media yang dapat merangsang kekreatifan siswa.
Pembelajaran menulis dialog di sini menggunakan media film bisu. Media ini merupakan media yang digunakan guru agar dapat merangsang imaji siswa dalam menulis dialog. Kegiatan awal yang dilakukan adalah melihat tayangan film bisu yang sudah disediakan. Kegiatan awal ini dimaksudkan agar siswa mendapatkan ide dan menuangkannya ke dalam dialog. Kegiatan selanjutnya adalah menuangkan ide setelah melihat film bisu tersebut ke dalam sebuah dialog. Aspek yang diperhatikan yaitu tingkat kemampuan siswa menuangkan kekreatifannya dalam menyusun dialog.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penggunaan media film bisu dalam keterampilan menulis dialog?
1.3 Tujuan Peneltitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Deskripsi mengenai penggunaan media film bisu dalam keterampilan menulis dialog
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, manfaat yang dapat diperoleh adalah sebagai pedoman atau acuan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, ini dapat bermanfaat khususnya bagi siswa dan guru. Bagi siswa, akan menumbuhkan kekreatifitasannya dalam menulis dialog, dan dapat membiasakan dalam menulis dialog. Bagi guru, akan bermanfaat khususnya dalam melakukan pembelajaran menulis dialog.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Penggunaan Media Film Bisu dalam Keterampilan Menulis Dialog
Keterampilan menulis merupakan kegiatan menuangkan pikiran dan perasaan melalui tulisan, mempergunakan bahasa sebagai medianya. Hasil keterampilan menulis adalah untuk dibaca oleh orang lain. Agar tulisan itu mudah dibaca dan dipahami, maka tulisan tersebut haruslah menggunakan bahasa yang jelas. Oleh karena itu, keterampilan menulis membutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam hal pembelajaran.
Sesuai dengan perkembangan jaman, maka media pengajaranpun juga berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi media pengajaran yang modern. Pada dasarnya media banyak digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah media komunikasi. Dalam makalah ini penulis menggunakan media film bisu dalam keterampilan menulis dialog.
Film disebut juga gambar hidup, yaitu serangkaian gambar diam yang meluncur secara cepat dan diproyeksikan sehingga menimbulkan kesan hidup dan bergerak. Film, dalam konteks ini disebut sebagai produk. Kata film akan merujuk kepada istilah yang dikenal dengan sinema. Film bisu adalah perkembangan media yang dianggap murni sebagai seni visual (tanpa audio). Film bisu sangat membangun imajinasi penonton sehingga penulis mengambil film bisu sebagai media pembelajaran dalam keterampilan menulis dialog.
Dialog tidak dapat dilepaskan dalam dunia tulis menulis, baik dalam format blog, fiksi, dan nonfiksi. Dialog sangat penting untuk berbagai tujuan dalam penceritaan sehingga pengarang tidak bisa sembarangan menjadikan dialog sebagai obrolan yang tidak jelas. Dialog yang baik menjelaskan karakter, membuat cerita berkembang maju, menciptakan konflik, dan memberikan informasi. Itulah tujuan dasar dialog. Dialog dalam karangan fiksi berfungsi sebagai penggerak cerita, selain itu berguna juga memperkuat karakter tokoh dalam cerita. Dialog juga dapat membuat cerita lebih dinamis.
Dalam penggunaan media film bisu pada awalnya memberikan penjelasan tentang dialog terlebih dahulu. Hai ini dilakukan agar siswa mengetahui tentang dialog terlebih dahulu. Kemudian, bertanya jawab dengan siswa mengenai film bisu, meliputi pengertian film bisu.
Penggunaan media ini dilakukan dengan memutarkan sebuah film bisu untuk dijadikan sumber inspirasi siswa dalam menulis sebuah dialog. Kemudian siswa melihat film itu secara bersama-sama. Kegiatan lanjutan dalam pembelajaran menulis dialog adalah pemberian tugas kepada siswa agar membuat dialog antartokoh dalam film bisu yang sudah ditonton. Diharapkan dengan melihat film bisu yang diputarkan, siswa akan memperoleh ide.
Kegiatan inti dalam pembelajaran ini adalah membuat dialog sesuai dengan film bisu yang sudah diputarkan. Setelah pembelajaran menulis dialog, kegiatan akhir adalah pembagian jurnal untuk memperoleh data.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Film bisu bisa menjadi salah satu media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran keterampilan menulis dialog.
b) Film bisu dapat dijadikan sumber inspirasi siswa dalam menulis sebuah dialog.
3.2 Saran
a) Sebaiknya guru lebih kreatif lagi dalam membuat media yang akan digunakan delam pembelajaran supaya menarik perhatian siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Henry Guntur. 1986 . Menulis. Bandung: Angkasa.
http://manshurzikri.wordpress.com/2009/12/10/Media-Part-2/
http://forumlingkarpena.net/2008/12/delapan-kesalahan-umum-dalam-membuat-dialog/
RESENSI 70 TRIK PINTAR PLUS MANIPULASI PHOTOSHOP
A. Pendahuluan
Foto memiliki banyak makna dan cerita yang terkandung dalam foto tersebut. Orang bisa memberikan komentar serta mengambil kesimpulan tentang sesuatu dari sebuah foto. Tiap orang pasti akan memberikan komentar yang berbeda-beda terhadap hasil foto itu. Satu foto dapat membuat orang memberi kesimpulan bermacam-macam. Ada yang mengatakan bagus, keren, lucu, gokil, atau bahkan juga bisa jelek.
Hampir semua orang tidak menginginkan kalau fotonya itu dikatakan jelek oleh orang lain. Setidaknya mereka pasti mengharapkan komentar yang keren. Hasil foto yang keren tidak hanya didasarkan pada objek, karema, pencahayaan, atau perangkat lainnya saja, akan tetapi ada juga software yang digunakan untuk membuat foto agar menjadi lebih keren hasilnya. Banyak sekali software yang digunakan untuk mengedit foto salah satunya adalah photoshop. Dengan photosop kita bisa memodifikasi serta mengedit foto kita agar hasilnya lebih baik dari sebelumnya.
Dengan keadaan yang seperti itu maka hendaknya kita membaca buku “70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop”. Buku ini memandu kita untuk mempelajari photoshop. Dalam buku ini dibahas tip dan trik seputar fitur-fitur penting dalam software pengolah foto. Pada bab terakhir kamu juga akan diajak untuk membuat berbagai macam manipulasi yang akan mengasah kemampuanmu menggunakan photoshop.
B. Kontruksi
“70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop” merupakan salah satu buku yang ditulis oleh Catur Hadi Purnomo. Buku yang tebalnya 210 halaman ini berukuran 14 cm x 21 cm. Buku ini adalah cetakan pertama dan diterbitkan oleh Gagas Media Jakarta pada tahun 2010.
Isi dari buku ini terdiri dari delapan bab utama. Yang pertama tentang pengenalan photoshop, kostumisasi dan tampilan, bekerja dengan tool, koreksi foto, bekerja dengan layer, bekerja dengan warna dan efek, koreksi foto, dan yang terakhir adalah manipulasi foto.
C. Isi
Buku dengan judul “70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop” ini berisi tentang pengenalan photoshop, kostumisasi dan tampilan, bekerja dengan tool, koreksi foto, bekerja dengan layer, bekerja dengan warna dan efek, koreksi foto, dan manipulasi foto. Sebelum melakukan pengeditan foto akan dikenalkan pada bagian-bagian photoshop terlebih dahulu. Dalam photoshop terdapat lima bagian yaitu toolbox, menu bar, document window, option bar, dan palette.
Dalam kostumisasi dan tampilan mengandung suatu tampilan-tampilan serta pengaturan-pengaturan untuk menghasilkan foto yang bagus. Terdapat cara untuk menampilkan dan mengubah warna grid. Apabila foto itu aslinya berwarna yang tidak terlalu bagus maka akan lebih bagus jika dilakukan tapilan serta pengubahan warna grid. Saat berkreasi memerlukan tampilan objek di dalam kanvas yang berbeda-beda. Kadang kecil, kedang juga ingin diperbesar.
Untuk mengoreksi foto diperlukan suatu pencahayaan. Warna kombinasi juga diatur agar foto itu hasilnya maksimal. Foto biasanya terdiri dari berbagai macam objek di dalamnya. Ada suatu cara untuk mengambil bagian objek tertentu dan menghilangkan objek yang lain. Bingkai foto tidak bisa dipisahkan dari sebuah foto. Selain berfungsi sebagai pembatas, bingkai juga sebagai pemanis sebuah foto. Untuk membuat foto biasamu jadi luar biasa tinggal ikuti saja langkah demi langkah sederhana dalam buku ini.
D. Komentar
Buku yang berjudul “70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop” ini sangat menarik untuk dibaca karena di dalamnya terdapat bermacam-macam langkah-langkah untuk memodifikasi foto agar foto terlihat bagus. Dengan melihat cover dari buku ini pembaca akan penasaran dengan isi dari buku. Tampilan awal yang baus ini membuat orang yang melihat akan mudah tertarik untuk membacanya. Bahasa yang digunakan oleh penulis juga sanga mudah dipahami dan dikemas dalam langkah langkah yang menarik sehingga pembaca tidak akan bosan melainkan akan penasaran dengan isi selanjutnya.
Buku dengan tebal 210 halaman ini memberikan kita pengetahuan yang lebih mengenai cara-cara dalam memodifikasi serta memanipulasi foto. Dengan membaca buku ini kita akan bisa dengan mudah mengedit foto yang awalnya biasa saja menjadi foto yang sangat luar biasa. Foto yang dihasilkan akan terlihat lebih cantik. Dengan begitu orang lain akan memberikn komentar yang bagus atas hasil foto kita.
Isi dari buku ini memberikan tampilan yang sangat menarik. Tiap lembar ditampilkan gambar-gambar yang menarik. Cara-cara mengedit foto pun didasari dengan gambar yang memang sangat mempengaruhi pengeditan. Gambar-gambar tersebut menggambarkan setiap topic yang dibahas. Seperti pada bab satu ada gambar tampilan dari toolbox serta menjelaskan tentang kategori-kategori yang ada pada toolbox tersebut.
Setiap langkah dijelaskan dengan pencontohan gambar sehingga secara jelas kita bisa menirukan serta memahami langkah tersebut dengan sangat mudah. Penulis selalu memberikan gambar dalam setiap langkahnya. Kalaupun ada yang belum dimengerti dalam pengeditan foto pembaca akan mudah menyelesaikan masalah tersebut dengan membaca buku ini. Pada bagian akhir buku ini juga memberikan pemahaman kita tentang daftar shortcut agar kita lebih mudah dalam membuka file.
Terdapat sedikit kekurangan dalam buku ini yaitu buku ini hanya menjelaskan secara sekilas. Walaupun disertai gambar, akan tetapi pemahaman serta penjelasan kurang begitu lengkap.
Foto memiliki banyak makna dan cerita yang terkandung dalam foto tersebut. Orang bisa memberikan komentar serta mengambil kesimpulan tentang sesuatu dari sebuah foto. Tiap orang pasti akan memberikan komentar yang berbeda-beda terhadap hasil foto itu. Satu foto dapat membuat orang memberi kesimpulan bermacam-macam. Ada yang mengatakan bagus, keren, lucu, gokil, atau bahkan juga bisa jelek.
Hampir semua orang tidak menginginkan kalau fotonya itu dikatakan jelek oleh orang lain. Setidaknya mereka pasti mengharapkan komentar yang keren. Hasil foto yang keren tidak hanya didasarkan pada objek, karema, pencahayaan, atau perangkat lainnya saja, akan tetapi ada juga software yang digunakan untuk membuat foto agar menjadi lebih keren hasilnya. Banyak sekali software yang digunakan untuk mengedit foto salah satunya adalah photoshop. Dengan photosop kita bisa memodifikasi serta mengedit foto kita agar hasilnya lebih baik dari sebelumnya.
Dengan keadaan yang seperti itu maka hendaknya kita membaca buku “70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop”. Buku ini memandu kita untuk mempelajari photoshop. Dalam buku ini dibahas tip dan trik seputar fitur-fitur penting dalam software pengolah foto. Pada bab terakhir kamu juga akan diajak untuk membuat berbagai macam manipulasi yang akan mengasah kemampuanmu menggunakan photoshop.
B. Kontruksi
“70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop” merupakan salah satu buku yang ditulis oleh Catur Hadi Purnomo. Buku yang tebalnya 210 halaman ini berukuran 14 cm x 21 cm. Buku ini adalah cetakan pertama dan diterbitkan oleh Gagas Media Jakarta pada tahun 2010.
Isi dari buku ini terdiri dari delapan bab utama. Yang pertama tentang pengenalan photoshop, kostumisasi dan tampilan, bekerja dengan tool, koreksi foto, bekerja dengan layer, bekerja dengan warna dan efek, koreksi foto, dan yang terakhir adalah manipulasi foto.
C. Isi
Buku dengan judul “70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop” ini berisi tentang pengenalan photoshop, kostumisasi dan tampilan, bekerja dengan tool, koreksi foto, bekerja dengan layer, bekerja dengan warna dan efek, koreksi foto, dan manipulasi foto. Sebelum melakukan pengeditan foto akan dikenalkan pada bagian-bagian photoshop terlebih dahulu. Dalam photoshop terdapat lima bagian yaitu toolbox, menu bar, document window, option bar, dan palette.
Dalam kostumisasi dan tampilan mengandung suatu tampilan-tampilan serta pengaturan-pengaturan untuk menghasilkan foto yang bagus. Terdapat cara untuk menampilkan dan mengubah warna grid. Apabila foto itu aslinya berwarna yang tidak terlalu bagus maka akan lebih bagus jika dilakukan tapilan serta pengubahan warna grid. Saat berkreasi memerlukan tampilan objek di dalam kanvas yang berbeda-beda. Kadang kecil, kedang juga ingin diperbesar.
Untuk mengoreksi foto diperlukan suatu pencahayaan. Warna kombinasi juga diatur agar foto itu hasilnya maksimal. Foto biasanya terdiri dari berbagai macam objek di dalamnya. Ada suatu cara untuk mengambil bagian objek tertentu dan menghilangkan objek yang lain. Bingkai foto tidak bisa dipisahkan dari sebuah foto. Selain berfungsi sebagai pembatas, bingkai juga sebagai pemanis sebuah foto. Untuk membuat foto biasamu jadi luar biasa tinggal ikuti saja langkah demi langkah sederhana dalam buku ini.
D. Komentar
Buku yang berjudul “70 Trik Pintar Plus Manipulasi Photoshop” ini sangat menarik untuk dibaca karena di dalamnya terdapat bermacam-macam langkah-langkah untuk memodifikasi foto agar foto terlihat bagus. Dengan melihat cover dari buku ini pembaca akan penasaran dengan isi dari buku. Tampilan awal yang baus ini membuat orang yang melihat akan mudah tertarik untuk membacanya. Bahasa yang digunakan oleh penulis juga sanga mudah dipahami dan dikemas dalam langkah langkah yang menarik sehingga pembaca tidak akan bosan melainkan akan penasaran dengan isi selanjutnya.
Buku dengan tebal 210 halaman ini memberikan kita pengetahuan yang lebih mengenai cara-cara dalam memodifikasi serta memanipulasi foto. Dengan membaca buku ini kita akan bisa dengan mudah mengedit foto yang awalnya biasa saja menjadi foto yang sangat luar biasa. Foto yang dihasilkan akan terlihat lebih cantik. Dengan begitu orang lain akan memberikn komentar yang bagus atas hasil foto kita.
Isi dari buku ini memberikan tampilan yang sangat menarik. Tiap lembar ditampilkan gambar-gambar yang menarik. Cara-cara mengedit foto pun didasari dengan gambar yang memang sangat mempengaruhi pengeditan. Gambar-gambar tersebut menggambarkan setiap topic yang dibahas. Seperti pada bab satu ada gambar tampilan dari toolbox serta menjelaskan tentang kategori-kategori yang ada pada toolbox tersebut.
Setiap langkah dijelaskan dengan pencontohan gambar sehingga secara jelas kita bisa menirukan serta memahami langkah tersebut dengan sangat mudah. Penulis selalu memberikan gambar dalam setiap langkahnya. Kalaupun ada yang belum dimengerti dalam pengeditan foto pembaca akan mudah menyelesaikan masalah tersebut dengan membaca buku ini. Pada bagian akhir buku ini juga memberikan pemahaman kita tentang daftar shortcut agar kita lebih mudah dalam membuka file.
Terdapat sedikit kekurangan dalam buku ini yaitu buku ini hanya menjelaskan secara sekilas. Walaupun disertai gambar, akan tetapi pemahaman serta penjelasan kurang begitu lengkap.
BAHASA-BAHASA DI SULAWESI SELATAN
SULAWESI SELATAN
Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar, dahulu disebut ''Ujungpandang''. Sulawesi adalah pulau dengan luas daratan 62.362,55 km2 dengan jumlah penduduk 8.213.864 (tahun 2004) dan memiliki relief berupa jazirah-jazirah yang panjang serta pipih yang ditandai fakta bahwa tidak ada titik daratan yang jauhnya melebihi 90 km dari batas pantai. Kondisi yang demikian menjadikan pulau Sulawesi memiliki garis pantai yang panjang dan sebagian daratannya bergunung-gunung.
Kombinasi ini meghamparkan alam yang mempesona dipandang baik dari daerah pesisir maupun daerah ketinggian. Sekitar 30.000 tahun silam, pulau Sulawesi telah dihuni oleh manusia. Peninggalan peradaban di masa tersebut ditemukan di gua-gua bukit kapur daerah Maros kurang lebih 30 km dari Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Peninggalan prasejarah lainnya yang berupa alat batu peeble dan flake serta fosil babi dan gajah yang telah punah, dikumpulkan dari teras sungai di Lembah Wallanae, diantara Soppeng dan Sengkang, Sulawesi Selatan.
Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku utama yaitu Toraja, Bugis, Makassar, dan Mandar. Suku Toraja terkenal memiliki keunikan tradisi yang tampak pada upacara kematian, rumah tradisional yang beratap melengkung dan ukiran cantik dengan warna natural. Sedangkan suku Bugis, Makassar dan Mandar terkenal sebagai pelaut yang patriotik. Dengan perahu layar tradisionalnya, Pinisi, mereka menjelajah sampai ke utara Australia, beberapa pulau di Samudra Pasifik, bahkan sampai ke pantai Afrika.
1. Rumpun Bahasa Sulawesi Selatan
Rumpun bahasa Sulawesi Selatan adalah grup bahasa yang bernama sama dengan provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Grup bahasa ini dituturkan oleh beragam suku di Sulawesi Selatan (sekarang juga pecahannya Sulawesi Barat), namun demikian ada juga tiga bahasa yang termasuk grup ini yang dituturkan di pedalaman Kalimantan Barat.
Bahasa yang umum digunakan di Sulawesi Selatan adalah Makassar, Bugis, Luwu, Toraja, Mandar, Melayu Kendari, Konjo, dan Pattae.
a. Bahasa Melayu-Bugis Makassar
Dialek Melayu-Bugis Makassar memiliki ciri- ciri varian yang menunjukkan banyak perbedaan dengan dialek Melayu di Indonesia Timur. Selain itu terdapat perubahan fonetik, seperti adanya konsonan panjang dan perbedaan kosakata, seperti jumlah partikel yang sering digunakan untuk menunjukkan emosi dan tanggapan penutur.
Bahasa Melayu memiliki kekhasan dalam penggunaan partikel- partikel tertentu. Umumnya berfungsi sebagai penegas. Partikel- partikel inilah yang memberi warna dalam pemakaian bahasa Melayu di Melayu Sulawesi. Seperti partikel ji, mi, pi, mo, ma', di', tonji, tawwa, pale. Partikel-partikel ini muncul saat penutur daerah menggunakan bahasa Melayu. Partikel-partikel ini melekat dan menjadi ciri sesuai dengan bahasa daerahnya.
Misalnya saja untuk orang Bugis-Makassar, mereka menggunakan mi, moko, ji. Sedangkan untuk orang Mandar mereka lebih banyak menggunkan partikel O. Sementara orang Toraja menggunakan parteikel le'.
Namun partikel ini masih mempunyai variasi. Tergantung siapa penutur dan orang yang diajaknya bertutur. Untuk dialek Melayu Bugis-Makassar misalnya, mereka biasanya menggunakan struktur susunan kalimat yang berurutan verbal, subjek, objek (VSO). Sedangkan dialek-dialek lain di Indonesia timur mempelihatkan urutan SVO.
Misalnya dalam kalimat, "Saya makan ikan". Untuk Melayu Makassar mereka mengatakan, "Makan-ka ikang". Sedangkan untuk Melayu-Ambon, "Beta makan ikang".
Dialek Melayu Bugis-Makassar adalah bahasa aglutinatif yakni unsur-unsur verbal nominal dan partikel dipadukan disambung menjadi dua kata yang panjang, dan kata itu tidak dapat dipisahkan, serta kadang-kadang tidak dapat disisipkan.
Unsur-unsur yang disatukan itu mengalami perubahan fonetik yang mengikat semua unsur bahasa itu. Misalnya dalam kalimat, "Makamma'ki (silakan Anda makan)", yakni dengan perubahan bunyi makang menjadi makam karena dicantumkan ke partikel ma'.
Dari banyaknya varian-varian bahasa ini menunjukkan adanya jejak bahasa Melayu yang berasimalisi ke dalam bahasa daerah di Indonesia timur. Hal ini melahirkan varian bahasa yang dikenal dengan bahasa Melayu-Bugis Makassar, Bahasa Melayu-Kendari, bahasa Melayu-Mandar, bahasa Melayu- Toraja
b. Bahasa Melayu-Toraja
Bahasa Toraja adalah salah satu rumpun dari Bahasa Melayu (Austronesia) Tua yang dituturkan sehari-hari oleh Suku Toraja yang dikenal sebagai satu dari suku-suku Proto-melayu. Kekhasannya dapat ditemukan dari penggunaan kata-kata Melayu Tua dalam Bahasa Toraja, Misalnya: Tasik = Laut, Tunu = Membakar, Pitu = Tujuh, dll. Bahasa Toraja memiliki banyak dialek (Logat), Misalnya di daerah Utara Toraja ada Logat Sa'dan-Rantepao, Logat Tallulembang (Sangalla', Makale dan Mengkendek), Logat Toraja Barat (Rembon-Saluputti), Logat Toraja Selatan (Gandang Batu, Sillanan, Duri), Logat Toraja Luwu (Palopo) dan Logat Mamasa.
Toraja ialah salah satu etnik yang terdapat di Sulawesi Selatan. Mereka menduduki kawasan pergunungan Sulawesi Selatan. Jumlah suku ini diperkirakan sekitar 650,000 orang.
Istilah Toraja adalah dari Bahasa Bugis to riaja. 'To' bermaksud orang dan 'riaja' bermaksud bukit. Maka Toraja bermaksud orang yang datang dari bukit. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya berasal dari To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), ertinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan sebutan tersebut menjadi Toraja.
c. Bahasa Melayu-Mandar
Bahasa Melayu-Mandar suatu waktu juga akan hilang, yaitu ketika tidak lagi dituturkan. Yang menarik di bahasa Mandar sebab ketika kita hendak menyebut selalu maka ada ekspresi sbb:
Simata Lamba-i Massikola (Dia selalu pergi ke sekolah)
Pola yang unik adalah
Sa-lamba-lambana Massikola. (Dia selalu pergi ke sekolah).
Kata kerja lamba pada contoh yang terakhir menjadi berulang.
Sehingga dengan pola yang sama kita jumpai
Sa-pole-polena. (He always comes)
Sa-suma-sumangi'na. ( He always cries)
Sa-cawa-cawana
Sa-sali-salilinna.
Sa-malo-malona.
d. Bahasa Melayu- Kendari
Dari segi logat..anak melayu Kendari jarang memakai e lemah tetapi penekanan e seperti logat batak. Bahasa Melayu Kendari membuktikan bahwa kita bisa blend dalam diversity dan kreatif membuat 'sesuatu' untuk menjembatani diversity tersebut. bahasa Melayu Kendari yang mix dari berbagai macam culture adalah simbol peleburan suatu diversity yang justru makin mendekatkan individu dalam bergaul walaupun background culturenya beragam. Walaupun mungkin bahasa Melayu Kendari ini bisa melenceng jauh dari EYD.
2. Penelitian tentang Bahasa Sulawesi Selatan
MODEL PERKEMBANGAN
BAHASA-BAHASA DAERAH SULAWESI-SELATAN
DR. MASHADI SAID
Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma Jakarta, Jalan Margonda Raya No. 100 Depok 16424
tel. 021-78881112 pes. 481
mashadi@staff.gunadarma.ac.id atau mashadisaid@yahoo.com
DR.-ING. FARID THALIB
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma Jakarta,
Jalan Margonda raya No. 100 Depok 16424
tel. 021-78881112 pes. 457
farid@staff.gunadarma.ac.id
Abstrak
Bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang ditengarai semakin hari semakin menurun persentase pengunaan dan penuturnya memerlukan perhatian khusus, bukan hanya perlu dilestarikan, tetapi lebih jauh dari itu; bahasa daerah harus diperkembangkan. Memperkembangkan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan berarti membuat bahasa daerah berkembang yang kondisinya lebih baik daripada kondisinya saat ini atau sebelum mendapat pengaruh globalisasi. Makalah ini memaparkan dua hal yang bersifat fundamental. Pertama, memaparkan 3 kategori paradigma ”peta kinerja” yang dapat ditempuh dalam pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yang meliputi a) pembiaran, b) pelestarian (pemertahanan dari keadaannya saat ini), dan c) pemerkembangan. Peta kinerja pemerkembangan dibagi ke dalam 3 model, yaitu model 1, 2, dan 3. Ketiga model itu berkinerja secara signifikan terhadap pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulwesi Selatan, tetapi memiliki tingkat kebermaknaan yang berbeda-beda dalam proses pemerkembangannya. Kedua, model implementasi pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang meliputi 3 unsur kegiatan utama, yaitu a) penilian, b) evaluasi/pembandingan terhadap visi, dan c) tindakan/pengondisian.
Kata-kata Kunci: Bahas-bahasa daerah, model pemerkembangan, peta kinerja pemerkembangan.
A. Pendahuluan
Dalam makalah ini digunakan istilah “pemerkembangan” bukan “pelestarian” atau “pemertahanan”. Karena bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada saat ini mengalami ancaman penyusutan-penyusutan dalam berbagai dimensinya, diperlukan program pemercepatan. Program pemercepatan mengandung makna membuat perkembangan bahasa-bahasa daerah jauh lebih cepat guna mengimbangi kecepatan ancaman proses kepunahan yang telah ada di depan mata. Kata “lestari” berarti tetap seperti keadaannya semula, tidak berubah, bertahan, kekal, awet, terlindung dari kemusnahan atau kerusakan. Menurut hemat kami bila digunakan usaha pemertahanan atau pelestarian, hal itu berarti bahwa perjalanan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan hanya akan bersifat stabil dan kemungkinan besar akan kalah cepat daripada faktor-faktor yang dapat membuatnya menurun yang pada akhirnya akan tinggal sebagai kenangan belaka.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, kami menggunakan istilah “pemerkembangan” yang di dalamnya mengandung makna, di samping unsur pemertahanan, juga unsur pemercepatan. Saat ini bahasa-bahasa daerah sedang mengalamai ancaman yang sangat dahsyat yang dapat menyebabkannya menjadi punah. Ancaman yang dahsyat itu perlu diimbangi dengan suatu program atau tindakan yang volumenya jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ancaman kepunahan. Sebaliknya, jika ancaman kepunahan sama besarnya dengan tindakan yang diberikan, maka besar kemungkinan bahasa-bahasa daerah itu hanya berjalan di tempat. Artinya, ancaman dan tindakan hanya menghasilkan keadaan yang seimbang, sehingga bahasa daerah sulit diharapkan mengalami meningkatan sebagaimana yang ditargetkan. Singkatnya, diperlukan usaha pemerkembangan bahasa daerah yang volumenya jauh lebih besar daripada volume ancaman kepunahan yang terimplementasi dalam program pemerkembangan.
B. Bahasa-Bahasa Daerah: Mengapa Perlu Diperkembangkan?
Perlunya program pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulwesi Selatan didasarkan atas delapan alasan.
1. Kedudukan Bahasa Daerah
Bahasa daerah memiliki kedudukan utama dalam perkembangan bahasa Indonesia. Untuk memperkaya bahasa Indonesia, kosa kata bahasa daerah merupakan penyumbang utama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, baru ada 11 bahasa daerah sebagai penyumbang. Namun, belum satu pun bahasa daerah Sulawesi Selatan yang tercatat sebagai penyumbang. Hal ini cukup memprihatinkan bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah putra Sulawesi Selatan yang telah berpartsipasi aktif dalam percaturan nasional. Artinya, keunggulan bahasa daerah dapat dinilai dari kontribusinya terhadap pengembangan bahasa Indonesia. Bila Sulawesi Selatan dikenal sebagai masyarakat bahari yang pernah mengukir kejayaan dalam menaklukkan nusantara, maka seyogyanya kosa kata yang dapat disumbangkan adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan bahari. Karena itu, penutur bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat berperan aktif untuk memperkembangkan bahasa Indonesia, sekaligus mendorong pemerkembangan bahasa daerahnya. Gambar 1 berikut menunjukkan kedudukan strategis bahasa daerah dalam tataran nasional.
Fungsi bahasa daerah, seperti tergambar pada gambar 1 menunjukkan bahwa di samping sebagai alat komunikasi pada daerah yang bersangkutan, juga sebagai pemerkaya kosa kata bahasa Indonesia. Ungkapan yang belum ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat diserap dari bahasa-bahasa daerah dari seluruh persada nusantara. Dalam hal pembentukan istilah, bahasa daerah menempati kedudukan pertama setelah bahasa Indonesia, dan bahasa asing menempati urutan terakhir5.
2. Keterasingan Generasi Muda dari Bahasa Daerahnya
Menurut pengamatan kami, generasi muda Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) saat ini mulai mengalami keterasingan terhadap bahasa-bahasa daerahnya sendiri. Di kota-kota di Sulawesi Selatan, para orang tua di rumah lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya walaupun ibu-bapaknya adalah orang asli Sulawesi Selatan yang masih fasih menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Dalam pergaulan sehari-hari, sangat jarang dijumpai sesama penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasanya sendiri ketika mereka bertemu di mana pun. Menggunakan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan lebih canggung dibandingkan dengan teman-teman kita dari Jawa yang masih sangat fasih menggunakan bahasa Jawa di mana pun mereka bertemu sesama Jawa.
3. Surutnya Kebanggaan terhadap Budaya Asli Daerah
Di forum-forum resmi, kebanggaan putra-putri Sulawesi Selatan sendiri menggunakan falsafah leluhurnya belum terlihat. Putra-putri terbaik Sulawesi Selatan lebih nyaman menggunakan falsafah orang lain daripada falsafahnya sendiri. Mungkin pemahaman dan pengimplementasian nilai-nilai budaya mulai tergusur dari eksistensinya dalam lubuk hati generasi muda Bugis-Makassar, sehingga falsafah leluhurnya yang sangat sesuai dengan ”pemerintahan yang baik”, ”demokrasi”, ”kontrak sosial”, ”penegakan hukum”, ”etos kerja”, ”prestasi” dan sebagainya kurang ditonjolkan. Falsafah ”pemerintahan yang baik” dalam hal kepemimpinan dikenal dengan ”falsafah Sulapa Eppa”. Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat empat yang tak terpisahkan, yaitu: ”Maccai na Malempu; Waranawi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur; Berani lagi Teguh dalam Pendirian).
Dalam hal etos kerja dan mencari kesejahteraan, falsafah kerja keras ”Resopa natinulu na temmangingngi malomo naletei pammase Dewata” (Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah yang dapat menjadi sarana mendapat rizki dari Tuhan). Artinya, sarana untuk memperoleh kesejahteraan adalah kerja keras dan ketekunan. Dalam hal penegakan hukum, ada falsafah ”adekumi kupopuang” (hanya hukum yang kupertuan). Artinya, hanya hukumlah yang harus kutaati. Dalam hal demokrasi, falsafah Bugis-Makassar dikenal dengan ungkapan:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak
Dalam hal orientasi prestasi juga sudah mulai luntur. Saat ini banyak generasi pelanjut menganut prinsip ”instan”, yang ingin serba cepat. Padahal kenyataannya, umumnya orang yang menduduki posisi puncak meniti karier dari bawah. Hal ini dikenal dengan falsafah ”punggawa sawi” (Kapten kapal). ”Punggawa sawi” adalah jabatan kepemimpinan tertinggi di perahu layar dalam masyarakat Bugis-Makassar, sebagai masyarakat bahari. Seseorang tidak bisa menduduki posisi ”punggawa sawi” sebelum meniti karier sebagai ”sawi” (anak buah kapal). Falsafah ini mengandung prinsip bahwa suatu prestasi hanya dapat dicapai melalui suatu proses, tidak instan.
Falsafah Rumusan Makna
Pemerintahan yang baik maccai na malempu, waraniwi na magetteng Pemimpin negeri yang dapat mengantar masyarakat mencapai ketenteraman hidup adalah yang memiliki empat sifat, yaitu cerdas/cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian.
Kesejahteraan Resopa natinulu na temmangingngi malomo naletei pammase Dewata Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah, rizki akan dilimpahkan oleh Yang Mahasa Pengasih
Demokrasi Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum, Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak.
4. Ketercerabutan dari Akar Budaya
Banyak dimensi budaya yang tidak bisa diserap dan dijelaskan tanpa menggunakan bahasa daerah. Dalam bahasa Bugis-Makassar, falsafah Rewako atau Ewako, sama dengan falsafah ”pesse” atau ”pacce” yang berarti nyali. Artinya, seorang Bugis-Makassar haruslah memiliki nyali untuk mencapai kesuksesan. Hanya saja sering disalahartikan. Akibatnya, banyak generasi muda Bugis-Makassar bertindak nekat walaupun dia berada di pihak yang salah. Karena itu, memperkenalkan bahasa daerah terhadap putra-putrinya sejak dini merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang sesungguhnya sangat sesuai dengan peradaban yang saat ini didominasi dunia luar. Kita bangga dengan kontrak sosial dengan menggunakan teori-teori dari luar, padahal sesungguhnya praktik kontrak sosial sudah lama dikenal (sejak abad ke-15) di negeri Bugis-Makassar jauh sebelum Prancis mengumandangkan kontrak sosial pada abad ke-186. Agar generasi mendatang tidak tercerabut dari akar sosial-budayanya dan tetap berwawasan nasional, memperkenalkan budaya lokal melalui bahasa daerah masing-masing perlu diperkembangkan.
5. Penyusutan Fungsional Bahasa Daerah
Bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan telah menunjukkan penyusutan fungsionalnya. Keadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan sejak tahun 1945 (kemerdekaan) mengalami serangan dari bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pemerkayaan bahasa Indonesia yang seharusnya didukung oleh bahasa-bahasa daerah yang tersebar di Indonesia, tampaknya peran bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak menunjukkan sumbangan yang berarti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hanya ada 11 bahasa daerah yang tercatat memberi sumbangan pemerkayaan bahasa Indonesia, yaitu bahasa Bali, Batak, Dayak, Jawa, Lampung, Madura, Minangkabau, Minahasa, Manado, Palembang, dan Sunda7. Ada sumbangan kata bahasa Bugis dalam KBBI, yaitu ”gantole” yang berasal dari bahasa Bugis ”gantolle” tetapi bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak dicatat sebagai salah satu penyumbang utama seperti halnya 11 bahasa daerah lainnya yang dicatat di atas. Padahal, pada dasarnya, bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat memberi sumbangan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris atau asing ke dalam bahasa Indonesia. Contoh:
Leksikon Konteks Makna dalam bahasa Bugis
Run The stocking runs. malara
The stocking runs. Kata run tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia dalam konteks ini dan hanya bahasa Bugislah yang paling tepat untuk mewakili kata run pada konteks tersebut, yaitu malara’. Banyak unsur kebudayaan Bugis yang tidak dapat diungkapkan dalam bahasa Indonesia:
Kosa kata Makna
kabo, makabo rumput agak panjang dan kurang indah dipandang, sehingga perlu dirapikan
Sande, beggo, lepa-lepa, dsb. nama-nama jenis perahu
cucuru, katiri mandi, pallu butung, nama-nama kudapan
Karena itu, bahasa-bahasa daerah tidak sekedar dilestarikan atau dipertahankan, tetapi harus dikondisikan agar dapat berfungsi secara maksimal.
6. Gejala Ketercerabutan akan Kebanggaan dari Kebudayaan Asli
Seni tradisional kecapi, sinrili, yang dipentaskan pada acara-acara seperti pernikahan dan upacara lainnya disertai dengan lagu-lagu yang mengandung nasihat dan perjuangan telah berangsur-angsur digantikan dengan musik dari luar. Seni bela diri seperti pencak silat mulai ditinggalkan dan digantikan oleh seni bela diri dari luar seperti taekwondo, karate, kungfu, dsb. Di Makassar ada kata asing yang digunakan seperti Emergency, Islamic Centre, Racing Centre, di Jakarta, nama-nama perumahan, tempat-tempat umum didominasi oleh nama-nama yang berbau asing, seperti The Plasa Semanggi, Ocean Palace, Cibubur Juction, Proyek Rest Area, BusWay, WaterWay. Hal ini menunjukkan bahwa kebanggaan terhadap bahasa dan budaya sendiri telah tercerabut dari habitatnya.
7. Gejala Ketertindasan Budaya Lokal
Di banyak daerah, nama-nama tempat umum yang memiliki nilai sejarah diganti dengan nama-nama populer dengan alasan nasionalisme. Contoh, ”Jalan Nanakeng” diganti dengan nama bahasa Indonesia ”Jalan Cempeda”. Nama-nama tempat umum seperti gedung-gedung pemerintah telah banyak diberi nama-nama orang luar atas nama nasionalisme. Contoh, nama rumah sakit kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan sama sekali tidak menggambarkan nilai-nilai budaya lokal. Nama-nama daerah para transmigran menggunakan nama daerah asal para transmigran, seperti Wonomulyo di Sulawesi Barat. Tentunya hal ini merupakan gambaran tertindasnya budaya lokal.
8. Gejala Menuju Kepunahan
Adanya gejala kepunahan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan ditandai dengan berkurangnya pajanan (exposure) bahasa daerah, baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Di banyak rumah tangga, bahasa keluarga telah didominasi oleh bahasa Indonesia. Jurusan bahasa Bugis-Makassar Universitas Negeri Makassar sudah ditutup karena tidak adanya pengangkatan guru bahasa daerah. Jurusan Sastra Daerah di Universitas Hasanuddin mulai mengalami penyusutan jumlah mahasiswa. Di samping itu, ditengarai berkurangnya penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan karena serangan bahasa Indonesia dan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris yang mengglobal saat ini.
C. Model Pemerkembangan Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan
Sebelum masa negara persatuan Republik Indonensia, bahasa daerah menduduki posisi penting pada tiap-tiap daerah sebagai alat komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan suku bangsa yang bersangkutan. Namun, seiring dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia, bahasa daerah mengalami stagnasi dalam perkembangannya karena para penutur bahasa-bahasa daerah tanpa menyadari mulai meninggalkan bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi sehari-hari, khususnya di ibu kota provinsi, kota, dan kabupaten. Selanjutnya, serangan bahasa asing yang melanda dunia global semakin menyingkirkan bahasa daerah dalam pentas nasional.
Menyadari hal tersebut, diadakanlah kongres bahasa daerah yang dimulai dari kongres bahasa Jawa, kongres bahasa Sunda dan pada saat ini adalah kongres bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghambat laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Pada dasarnya ada 5 model perjalanan ke depan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yaitu model 1 adalah model ”pembiaran”, model 2 adalah ”pelestarian”, model 3, 4, dan 5 adalah model ”pemerkembangan”. Model pembiaran adalah membiarkan perjalanan bahasa daerah ke depan apa adanya, sebagaimana tergambar pada grafik hipotetik (kurva 1 gambar 2). Kurva itu menunjukkan bahwa jumlah penutur bahasa daerah semakin hari semakin berkurang. Ini berarti bahwa jika penurunan eksistensi bahasa daerah dibiarkan tanpa intervensi, maka secara alami bahasa daerah akan diakhiri dengan kepunahan.
Untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan (sesuai dengan makna lestari yang telah dijelaskan di atas), maka gambarannya sama dengan kurva 2 gambar 2. Namun, jika paradigma ini digunakan, maka kondisi bahasa daerah ke depan sama dengan keadaannya sekarang. Kondisinya telah mengalami penyusutan-penyusutan dalam perjalanannya selama 61 tahun Indonesia merdeka. Posisinya sangat terancam karena dahsyatnya arus globalisasi yang dapat merambah sampai ke seluruh sendi-sendi peradaban masyarakat di daerah.
Pemerkembangan bahasa daerah dapat ditempuh melalui 3 paradigma peta kinerja, yaitu peta kinerja yang ditunjukkan pada kurva 3, kurva 4, dan kurva 5 pada gambar 2. Peta kinerja pada kurva 3 menunjukkan bahwa pemerkembangan bahasa daerah ditempuh melalui tindakan secara pelan-pelan yang semakin lama semakin intensif, tetapi ketercapaian tujuannya lebih lambat daripada kurva 4. Pada paradigma peta kinerja kurva 4, pemerkembangan bahasa daerah lebih bersifat monoton, tetapi pencapaian tujuan lebih cepat daripada paradigma kurva 3 karena keintesifannya sedikit lebih tinggi. Paradigma peta kinerja pada kurva 5 menunjukkan pemerkembangan bahasa-bahasa daerah yang lebih intensif sejak dari awal tindakan, tetapi memerlukan usaha maksimal dan biaya yang lebih besar. Paradigma peta kinerja ini merupakan paradigma unggulan untuk memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal dan diharapkan capaian kemajuannya sama dengan kondisi sebelum tahun 1945.
Berdasarkan pilihan paradigma yang akan diambil pada gambar 2, model pemerkembangan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai model yang bersifat implementatif. Pengimplementasian model pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada model ini merupakan siklus yang semua unsurnya berjalan secara serempak, yaitu:
1. Penetapan visi, cita-cita, atau target yang akan dicapai. Kondisi kuantitatif dan kualitatif bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang diharapkan. Butir-butir yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk dijadikan tolok ukur pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan meliputi:
• Jumlah penutur 67% ( dua per tiga bagian )
• Bahasa daerah sebagai bahasa rumah tangga 67%
• Kemampuan baca/tulis bahasa daerah 67%
• Bahasa daerah adalah bahasa pergaulan sehari-hari
• dst.
2. Penilaian kondisi riil bahasa-bahasa daerah. Hal ini dilakukan melalui survei.
3. Mengevaluasi hasil penilaian kondisi riil bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan dan membandingkan dengan target yang hendak dicapai.
4. Hasil evaluasi (tahap 3) berupa kesenjangan antara target dengan kondisi riil menjadi masukan bagi mengambilan tindakan atau pengondisian. Masukan itu bisa berupa fakta dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan.
5. Pengambilan tindakan dan pengondisian dapat berupa:
• Pembuatan atau penyempurnaan peraturan daerah;
• Perumusan atau penyempurnaan kebijakan pemerintah daerah;
• Pengadaan sarana dan prasarana;
• Pengadaan kegiatan-kegiatan rutin.
Tindakan dan pengondisian itu dipandu oleh visi, cita-cita, atau target pada bitir 1 untuk memperoleh hasil maksimal.
6. Siklus ini berjalan terus-menerus sampai target yang diharapkan benar-benar tercapai.
7. Bila target yang diharapkan telah tercapai, langkah selanjutnya adalah program pemertahanan/pelestarian.
Kegiatan pada butir 2, 3, dan harus dilaksanakan setiap tahun. Hasil kegiatan pada butir 3 digunakan sebagai rujukan untuk menetapkan kebijakan dalam penyusunan mata anggaran daerah setiap tahun sesuai dengan kegiatan pada butir 5.
D. Alternatif Tindakan dan Pengondisian
Berdasarkan masukan dari hasil evaluasi, secara garis besar tindakan dan pengondisian dapat ditempuh melalui 4 cara, yaitu:
• Peraturan daerah
• Kebijakan
• Sarana dan Prasarana
• Kegiatan-kegiatan
1. Peraturan Daerah
Peraturan yang dimaksudkan adalah penerbitan PERDA sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Misalnya, di jenjang pendidikan sekolah Bahasa daerah dijadikan muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2. Kebijakan
Penjabaran PERDA berupa langkah-langkah yang bersifat teknis. Misalnya, penetapan rencana pembangunan jangka menengah yang lebih rinci mengenai pemerkembangan bahasa-bahasa daerah.
3. Sarana/Prasarana
Pengadaan sarana/prasana sesuai dengan kebutuhan seperti:
a) Pengembangan Program Studi Sastra daerah yang didanai oleh PEMDA.
b) Pembentukan Pusat Studi Bahasa dan Kebudayaan Sulawesi-Selatan.
c) Pembentukan lembaga ”Kalang Budaya” yang berfungsi sebagai think-tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan.
d) Pengadaan rubrik koran/majalah berbahasa daerah.
e) Website (situs) berbahasa daerah.
f) Pembentukan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bidang bahasa dan kebudayaan Sulawesi Selatan.
g) Dsb.
4. Kegiatan
a. Akademik
1) Pembelajaran bahasa-bahasa dan kebudayaan daerah
2) Penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
3) Pengembangan Kamus bahasa-bahasa daerah
4) Dsb.
• Non-formal
1) Lomba pidato, baca puisi, prosa, MC, dsb. dalam bahasa daerah
2) Lomba penulisan prosa, puisi dalam aksara lontara
3) Penggunaan dwi-bahasa nama-nama jalan, tempat umum, seperti gedung pemerintah, swalayan, pasar, sekolah, tempat hiburan, rumah sakit, dan sejenisnya.
4) Penulisan karya sastra yang bernuansa budaya Sulawesi Selatan.
5) Mengangkat kepermukaan budaya Sulawesi Selatan ke dalam film-film laga.
6) Pengadaan acara berbahasa daerah melalui radio dan televisi.
7) Penggubahan lagu-lagu berbahasa daerah dan musik trandisional, tari-tarian dan seni tradisional lainnya.
8) Penggunaan bahasa daerah dalam pidato-pidato (formal dan informal), komunikasi verbal pada acara-acara resmi dan tidak resmi (pernikahan, rapat, ulang tahun, dsb.)
9) Lomba musik tradisional, seperti kecapi, sinrilik, dsb.
• Informal
Pemerkembangan bahasa daerah yang bersifat informal dilakukan dalam lingkungan keluarga sebagai bahasa rumah tangga. Penanaman kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui ceritera rakyat yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa lebih menarik, seperti dikemas dalam bentuk buku ceritera bergambar, komik, CD. Banyak ceritera rakyat Sulwesi Selatan yang dapat membangun semangat berprestasi bagi generasi mendatang. McClelland, seorang psikolog Amerika dari Havard University menunjukkan bahwa bangsa maju didominasi oleh genarasi produktif yang di masa kecilnya banyak membaca ceritera perjuangan.
E. Penutup
Seiring dengan dahsyatnya serangan globalisasi terhadap bahasa-bahasa daerah, yang memungkinkan terancamkan keberadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, diperlukan usaha-usaha maksimal. Usaha-usaha maksimal itu tidak hanya diarahkan pada pelestarian bahasa-bahasa daerah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu membuat bahasa daerah lebih diperkembangkan. Dengan kata lain, diperlukan penciptaan kondisi-kondisi untuk membuat bahasa daerah berkembang guna mengembalikan eksistensi bahasa daerah sebagaimana keadaannya sebelum tahun 1945.
Model pemerkembangan bahasa yang ditawarkan di sini diyakini dapat mengantisipasi kepunahan dan mengimbangi dampak negatif pengaruh luar. Untuk memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal diperlukan upaya-upaya dan pengondisian yang lebih optimal berdasarkan paradigma peta kinerja pada kurva 5 pada gambar 2. Perealisasiannya dilaksanakan melalui aktivitas yang bersifat terencana, konsisten atau terus-menerus, dan dievaluasi secara berkala berdasarkan model implementasi pemerkembangan yang tergambar pada gambar 3.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H. (1985). Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press., hlm. 86.
Departemen Pendidikan Nasional. ( 2003). Kamus Besar Bahasa Indenesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Ogata, Katsuhigo. (2004). Modern Control Engineering. Tokyo: Prentice Hall.
Purbo-Hadiwidjojo, M. M. (1999). Kata dan Makna: teman penulis dan penerjemah menemukan kata dan istilah . Bandung: Penerbit ITB, hlm 127.
Said, Mashadi. (1998). Konsep Jati Diri Manusia Bugis dalam Lontara: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Manusia Bugis. Disertasi Universitas Negeri Malang. Belum diterbitkan.
INTERFERENSI BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR BAHASA TORAJA DI SDN 013 TARAKAN (BAB II )
Oleh MARTINA S.
A. Bahasa
Soekono (91984 :1) berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat yang berupa bunyi suara. Maksud dari pendapat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia lainnya. Dengan demikian dapat di katakan bahwa manusia tidak dapat berinteraksi satu sama lain tanpa adanya bahasa.
Keraf (1995 : 1:2) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi, yang di hasilkan oleh alat ucap manusia. Pendapat tersebut menyatakan bahwa bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi berupa lambang bunyi ujaran yang mempunyai makna dan arti. Dengan demikian, dapat di katakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi manusia yang berupa lamnbang bunyi ujaran, yang memiliki makna dan arti.
Chaer (1995 : 159) mangatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di bentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat di kaidahkan. Maksud pernyataan tersebut menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem yang tersusun menurut pola-pola tertentu dan terdiri atas beberapa kaidah yakni kaidah fonologi, morfologi, dan sintaksis.
B. Interferensi Bahasa
Chaer (1995 : 159) mengatakan bahwa interferensi merupakan perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Pernyataan tersebut pada dasamya menyatakan bahwa interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa akibat adanya pengaruh bahasa lain. Interferensi merupakan salah satu gejala yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa karena adanya dua system bahasa yang dikuasai. Yakni bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua. Seseorang yang menguasai dua bahasa (dwi bahasa) dalam berbahasa kedua sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa pertama. Jadi bahasa pertama berinterferensi pada bahasa kedua. Interferensi lebih bersifat individual.
Interferensi yang terjadi berupa pengucapan baik secara lisan maupun tulisan. Interferensi bahasa lisan terdapat dalam ujaran seorang dwi bahasa, akibat penguasaan bahasa pertama. Penutur bilingual menggunakan dua bahasa secara bergantian. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penutur memiliki variasi bahasa. Ada penutur yang menguasai Bl dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak, serta ada pula yang kemampuan B2-nya sangat minim. Penuturan bilingual yang mempunyai kemampuan bahasa pertama (Bl) dan bahasa kedua (B2) sama baiknya tentu tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan (kemampuan bahasa sejajar), sedangkan yang mempunyai kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah (tidak sama) dari kemampuan Bl-nya disebut kemampuan bahasa majemuk (Chaer, 1995:159). Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena dipengaruhi oleh kemampuan B1 -nya. Interferensinya terjadi pada beberapa bidang kebahasaan yaitu bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis.
C. Fonologi
1) Klasifikasi Vokal (Bahasa Toraja)
Bunyi vocal biasanya di klasifikasikan dan di beri nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertical dan biasa bersifat horizontal. Secara vertical di bedakan adanya vokal tinggi misalnya bunyi {i} dan {«} : vocal tengah , misalnya bunyi {e} dan {9} dan vocal rendah, misalnya bunyi {a}, secara horizontal di bedakan adanya vocal depan, misalnya bunyi {/} dan {e} vocal pusat, misalnya bunyi {3} dan vocal belakang, misalnya bunyi {M} dan {o}. Kemudian menurut bentuk mulut di bedakan adanya vocal bundar dan vocal tak bundar. Di sebut vocal bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misalnya vocal {o} dan {«}. di sebut vocal tak bundar karena bentuk mulut tak membundar, melainkan melebar ketika mengucapkan vocal tersebut, misalnya vocal {/’} dan {e} (Chaer, 1993:113).
Klasifikasi Vocal (Bahasa Toraja)
Klasifikasi vocal bahasa Toraja bertujuan untuk member! gambaran mengenai posisi ata tempat setoap fonem di wilayah alat-alat ucap berdasarkan pembentuknya,yaitu alat ucap mana yang aktif dalam proses terjadinya bunyi-bunyi vocal itu. Fonem vocal dalam bahasa Toraja sebanyak lima buah, yakni {i}, {u}, {e}, {o}, dan {a}. Selain itu bahasa Toraja yang memiliki rangkaian vocal, baik itu rangkaian vokal yang sama (kembar) maupun rangkaian vocal yang berbeda
2) Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Konsonan adalah bunyi ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan (Keraf, 1990 ; 25). Berikut klarifikasi konsonan dalam bahasa Indonesia.
Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Bahasa Toraja memiliki tujuh belas konsonan termasuk satu konsonan serapan yaitu (c) (sande, 1990 : 47). Bahasa toraja juga memiliki rangkaian konsonan yang di namakan konsonan kembar (geminate). Rangkaian ini memiliki ciri spesifik dan unik dalam bahasa toraja karena secara fonetis merupakan bunyi panjang yang kelihatannya sebagai suatu konsonan terdiri (Sander, 1990:55)
C. Morfologi
Ramlan (2001:21) mendefinisikan morfologi sebagai bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata baik secara gramatukal maupun leksikal. Ramlan mengatakan bahwa perubahan-prubahan bentuk kata terjadi padabentuk dasar yang mengikutinya. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada afiksasi dan reduplikasi. Komponen tersebut juga terjadi pada interferensi bahasa.
1. Afiksasi
Afiks atau imbuhan ada tiga, yakni imbuhan awal, imbuhan tengah, dan imbuhan akhir (Soekono, 198:92).
a. Imbuhan awal
1. Awalan / perfiks : me-, her-, di-, ter-, pe-, per-, se-, ke-
2. Prokilis : ku, kau
b. Imbuhan tengah Sisipan / infiks : -el-, -em-, -er-,
c. Imbuhan akhir
1. Akhiran / supfiks : -/, -kan, -an, -man, -wan, -wati, -is
2. Partikel : -lah, -kah, -tah, -pun
3. Eknis : -ku, -mu, -dal, -ndal, -anda
d. Konfiks : ke-an, me-kan, mem-per-i, mem-per-kan, di-i, di-kan, di-per-i, di- per- kan.
2. Reduplikasi
Mansoer (1996:143) menjelaskan adanya bentuk ulang dan bentuk ulang kata. Ulangan kata adalah kata yang di ulang-ulang, misalnya “mana,mana yang kau maksud?” kalinat tersebut terdapat kata ‘mantf yang diulang beberapa kali. Sedangkan kata ‘mand’ dalam kalimat “mana-mana yang kau sukai, ambil saja”. adalah kata ulang yang menyatakan benda atau bahan apa saja kata ulang (reduplikasi) adalah proses morfemis yang megulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 1994:182).
D. Sintaksis
Sintaksis merupakan bidang tataran linguistic yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsure-unsur lain sebagai satuan. Objek kajian sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.
1. Frasa
Frasa merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang masing-masing mempertahankan makna dasar katanya (kreaft, 1991: 175).
Setiap frasa memiliki satu unsur yang di sebut inti atau pusat, sedangkan unsur yang lain menjadi penjelas atau pembatas, misalnya: petani muda, tepi sawah, lereng gunung. Kata ‘petani’, ‘tepi’, ‘lereng’, adalah inti atau pusat, sedangkan kata ‘muda”, ‘sawah’, ‘gunung’, adalah unsur penjelas atau pembatasnya.
2. Klausa
Klausa adalah sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi prodikatif. Artinya, di adalam konstruksi itu ada komponen lain yang berfungsi sebagai subjek, sebgai objek, dan keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek boleh di katakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib (chaer, 1994:231). Misalnya ‘kamar mandi’ dan ‘adik mandi’. Konstruksi ‘kamar mandi’ bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen ‘kamar’ dan ; ‘mandi’ tidak bersifat perdikatif. Sedangkan konsruksi ‘nenek mandi’ adalah klausa karena hubungan komponen ‘nenek’ dan ‘mandi ‘ bersifat predikatif; ‘nenek’ adalah subjak dan ‘mandi’ pengisi predikat.
3. Kalimat
Bahasa dalam setiap hari, sering terjadi hubungan antar kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan antara kata-kata dapat menimbulkan kelompok kata atau kalimat. Kelompok kata merupakan bagian kalimat, tetapi tidak semua kelompok kata dapat di namai kalimat (Soekono, 1984:231).
Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Sulawesi. Ibu kotanya adalah Makassar, dahulu disebut ''Ujungpandang''. Sulawesi adalah pulau dengan luas daratan 62.362,55 km2 dengan jumlah penduduk 8.213.864 (tahun 2004) dan memiliki relief berupa jazirah-jazirah yang panjang serta pipih yang ditandai fakta bahwa tidak ada titik daratan yang jauhnya melebihi 90 km dari batas pantai. Kondisi yang demikian menjadikan pulau Sulawesi memiliki garis pantai yang panjang dan sebagian daratannya bergunung-gunung.
Kombinasi ini meghamparkan alam yang mempesona dipandang baik dari daerah pesisir maupun daerah ketinggian. Sekitar 30.000 tahun silam, pulau Sulawesi telah dihuni oleh manusia. Peninggalan peradaban di masa tersebut ditemukan di gua-gua bukit kapur daerah Maros kurang lebih 30 km dari Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Peninggalan prasejarah lainnya yang berupa alat batu peeble dan flake serta fosil babi dan gajah yang telah punah, dikumpulkan dari teras sungai di Lembah Wallanae, diantara Soppeng dan Sengkang, Sulawesi Selatan.
Penduduk Sulawesi Selatan terdiri atas empat suku utama yaitu Toraja, Bugis, Makassar, dan Mandar. Suku Toraja terkenal memiliki keunikan tradisi yang tampak pada upacara kematian, rumah tradisional yang beratap melengkung dan ukiran cantik dengan warna natural. Sedangkan suku Bugis, Makassar dan Mandar terkenal sebagai pelaut yang patriotik. Dengan perahu layar tradisionalnya, Pinisi, mereka menjelajah sampai ke utara Australia, beberapa pulau di Samudra Pasifik, bahkan sampai ke pantai Afrika.
1. Rumpun Bahasa Sulawesi Selatan
Rumpun bahasa Sulawesi Selatan adalah grup bahasa yang bernama sama dengan provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Grup bahasa ini dituturkan oleh beragam suku di Sulawesi Selatan (sekarang juga pecahannya Sulawesi Barat), namun demikian ada juga tiga bahasa yang termasuk grup ini yang dituturkan di pedalaman Kalimantan Barat.
Bahasa yang umum digunakan di Sulawesi Selatan adalah Makassar, Bugis, Luwu, Toraja, Mandar, Melayu Kendari, Konjo, dan Pattae.
a. Bahasa Melayu-Bugis Makassar
Dialek Melayu-Bugis Makassar memiliki ciri- ciri varian yang menunjukkan banyak perbedaan dengan dialek Melayu di Indonesia Timur. Selain itu terdapat perubahan fonetik, seperti adanya konsonan panjang dan perbedaan kosakata, seperti jumlah partikel yang sering digunakan untuk menunjukkan emosi dan tanggapan penutur.
Bahasa Melayu memiliki kekhasan dalam penggunaan partikel- partikel tertentu. Umumnya berfungsi sebagai penegas. Partikel- partikel inilah yang memberi warna dalam pemakaian bahasa Melayu di Melayu Sulawesi. Seperti partikel ji, mi, pi, mo, ma', di', tonji, tawwa, pale. Partikel-partikel ini muncul saat penutur daerah menggunakan bahasa Melayu. Partikel-partikel ini melekat dan menjadi ciri sesuai dengan bahasa daerahnya.
Misalnya saja untuk orang Bugis-Makassar, mereka menggunakan mi, moko, ji. Sedangkan untuk orang Mandar mereka lebih banyak menggunkan partikel O. Sementara orang Toraja menggunakan parteikel le'.
Namun partikel ini masih mempunyai variasi. Tergantung siapa penutur dan orang yang diajaknya bertutur. Untuk dialek Melayu Bugis-Makassar misalnya, mereka biasanya menggunakan struktur susunan kalimat yang berurutan verbal, subjek, objek (VSO). Sedangkan dialek-dialek lain di Indonesia timur mempelihatkan urutan SVO.
Misalnya dalam kalimat, "Saya makan ikan". Untuk Melayu Makassar mereka mengatakan, "Makan-ka ikang". Sedangkan untuk Melayu-Ambon, "Beta makan ikang".
Dialek Melayu Bugis-Makassar adalah bahasa aglutinatif yakni unsur-unsur verbal nominal dan partikel dipadukan disambung menjadi dua kata yang panjang, dan kata itu tidak dapat dipisahkan, serta kadang-kadang tidak dapat disisipkan.
Unsur-unsur yang disatukan itu mengalami perubahan fonetik yang mengikat semua unsur bahasa itu. Misalnya dalam kalimat, "Makamma'ki (silakan Anda makan)", yakni dengan perubahan bunyi makang menjadi makam karena dicantumkan ke partikel ma'.
Dari banyaknya varian-varian bahasa ini menunjukkan adanya jejak bahasa Melayu yang berasimalisi ke dalam bahasa daerah di Indonesia timur. Hal ini melahirkan varian bahasa yang dikenal dengan bahasa Melayu-Bugis Makassar, Bahasa Melayu-Kendari, bahasa Melayu-Mandar, bahasa Melayu- Toraja
b. Bahasa Melayu-Toraja
Bahasa Toraja adalah salah satu rumpun dari Bahasa Melayu (Austronesia) Tua yang dituturkan sehari-hari oleh Suku Toraja yang dikenal sebagai satu dari suku-suku Proto-melayu. Kekhasannya dapat ditemukan dari penggunaan kata-kata Melayu Tua dalam Bahasa Toraja, Misalnya: Tasik = Laut, Tunu = Membakar, Pitu = Tujuh, dll. Bahasa Toraja memiliki banyak dialek (Logat), Misalnya di daerah Utara Toraja ada Logat Sa'dan-Rantepao, Logat Tallulembang (Sangalla', Makale dan Mengkendek), Logat Toraja Barat (Rembon-Saluputti), Logat Toraja Selatan (Gandang Batu, Sillanan, Duri), Logat Toraja Luwu (Palopo) dan Logat Mamasa.
Toraja ialah salah satu etnik yang terdapat di Sulawesi Selatan. Mereka menduduki kawasan pergunungan Sulawesi Selatan. Jumlah suku ini diperkirakan sekitar 650,000 orang.
Istilah Toraja adalah dari Bahasa Bugis to riaja. 'To' bermaksud orang dan 'riaja' bermaksud bukit. Maka Toraja bermaksud orang yang datang dari bukit. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya berasal dari To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), ertinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan sebutan tersebut menjadi Toraja.
c. Bahasa Melayu-Mandar
Bahasa Melayu-Mandar suatu waktu juga akan hilang, yaitu ketika tidak lagi dituturkan. Yang menarik di bahasa Mandar sebab ketika kita hendak menyebut selalu maka ada ekspresi sbb:
Simata Lamba-i Massikola (Dia selalu pergi ke sekolah)
Pola yang unik adalah
Sa-lamba-lambana Massikola. (Dia selalu pergi ke sekolah).
Kata kerja lamba pada contoh yang terakhir menjadi berulang.
Sehingga dengan pola yang sama kita jumpai
Sa-pole-polena. (He always comes)
Sa-suma-sumangi'na. ( He always cries)
Sa-cawa-cawana
Sa-sali-salilinna.
Sa-malo-malona.
d. Bahasa Melayu- Kendari
Dari segi logat..anak melayu Kendari jarang memakai e lemah tetapi penekanan e seperti logat batak. Bahasa Melayu Kendari membuktikan bahwa kita bisa blend dalam diversity dan kreatif membuat 'sesuatu' untuk menjembatani diversity tersebut. bahasa Melayu Kendari yang mix dari berbagai macam culture adalah simbol peleburan suatu diversity yang justru makin mendekatkan individu dalam bergaul walaupun background culturenya beragam. Walaupun mungkin bahasa Melayu Kendari ini bisa melenceng jauh dari EYD.
2. Penelitian tentang Bahasa Sulawesi Selatan
MODEL PERKEMBANGAN
BAHASA-BAHASA DAERAH SULAWESI-SELATAN
DR. MASHADI SAID
Fakultas Sastra, Universitas Gunadarma Jakarta, Jalan Margonda Raya No. 100 Depok 16424
tel. 021-78881112 pes. 481
mashadi@staff.gunadarma.ac.id atau mashadisaid@yahoo.com
DR.-ING. FARID THALIB
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma Jakarta,
Jalan Margonda raya No. 100 Depok 16424
tel. 021-78881112 pes. 457
farid@staff.gunadarma.ac.id
Abstrak
Bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang ditengarai semakin hari semakin menurun persentase pengunaan dan penuturnya memerlukan perhatian khusus, bukan hanya perlu dilestarikan, tetapi lebih jauh dari itu; bahasa daerah harus diperkembangkan. Memperkembangkan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan berarti membuat bahasa daerah berkembang yang kondisinya lebih baik daripada kondisinya saat ini atau sebelum mendapat pengaruh globalisasi. Makalah ini memaparkan dua hal yang bersifat fundamental. Pertama, memaparkan 3 kategori paradigma ”peta kinerja” yang dapat ditempuh dalam pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yang meliputi a) pembiaran, b) pelestarian (pemertahanan dari keadaannya saat ini), dan c) pemerkembangan. Peta kinerja pemerkembangan dibagi ke dalam 3 model, yaitu model 1, 2, dan 3. Ketiga model itu berkinerja secara signifikan terhadap pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulwesi Selatan, tetapi memiliki tingkat kebermaknaan yang berbeda-beda dalam proses pemerkembangannya. Kedua, model implementasi pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang meliputi 3 unsur kegiatan utama, yaitu a) penilian, b) evaluasi/pembandingan terhadap visi, dan c) tindakan/pengondisian.
Kata-kata Kunci: Bahas-bahasa daerah, model pemerkembangan, peta kinerja pemerkembangan.
A. Pendahuluan
Dalam makalah ini digunakan istilah “pemerkembangan” bukan “pelestarian” atau “pemertahanan”. Karena bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada saat ini mengalami ancaman penyusutan-penyusutan dalam berbagai dimensinya, diperlukan program pemercepatan. Program pemercepatan mengandung makna membuat perkembangan bahasa-bahasa daerah jauh lebih cepat guna mengimbangi kecepatan ancaman proses kepunahan yang telah ada di depan mata. Kata “lestari” berarti tetap seperti keadaannya semula, tidak berubah, bertahan, kekal, awet, terlindung dari kemusnahan atau kerusakan. Menurut hemat kami bila digunakan usaha pemertahanan atau pelestarian, hal itu berarti bahwa perjalanan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan hanya akan bersifat stabil dan kemungkinan besar akan kalah cepat daripada faktor-faktor yang dapat membuatnya menurun yang pada akhirnya akan tinggal sebagai kenangan belaka.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, kami menggunakan istilah “pemerkembangan” yang di dalamnya mengandung makna, di samping unsur pemertahanan, juga unsur pemercepatan. Saat ini bahasa-bahasa daerah sedang mengalamai ancaman yang sangat dahsyat yang dapat menyebabkannya menjadi punah. Ancaman yang dahsyat itu perlu diimbangi dengan suatu program atau tindakan yang volumenya jauh lebih besar dibandingkan dengan volume ancaman kepunahan. Sebaliknya, jika ancaman kepunahan sama besarnya dengan tindakan yang diberikan, maka besar kemungkinan bahasa-bahasa daerah itu hanya berjalan di tempat. Artinya, ancaman dan tindakan hanya menghasilkan keadaan yang seimbang, sehingga bahasa daerah sulit diharapkan mengalami meningkatan sebagaimana yang ditargetkan. Singkatnya, diperlukan usaha pemerkembangan bahasa daerah yang volumenya jauh lebih besar daripada volume ancaman kepunahan yang terimplementasi dalam program pemerkembangan.
B. Bahasa-Bahasa Daerah: Mengapa Perlu Diperkembangkan?
Perlunya program pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulwesi Selatan didasarkan atas delapan alasan.
1. Kedudukan Bahasa Daerah
Bahasa daerah memiliki kedudukan utama dalam perkembangan bahasa Indonesia. Untuk memperkaya bahasa Indonesia, kosa kata bahasa daerah merupakan penyumbang utama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, baru ada 11 bahasa daerah sebagai penyumbang. Namun, belum satu pun bahasa daerah Sulawesi Selatan yang tercatat sebagai penyumbang. Hal ini cukup memprihatinkan bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah putra Sulawesi Selatan yang telah berpartsipasi aktif dalam percaturan nasional. Artinya, keunggulan bahasa daerah dapat dinilai dari kontribusinya terhadap pengembangan bahasa Indonesia. Bila Sulawesi Selatan dikenal sebagai masyarakat bahari yang pernah mengukir kejayaan dalam menaklukkan nusantara, maka seyogyanya kosa kata yang dapat disumbangkan adalah istilah-istilah yang berkaitan dengan bahari. Karena itu, penutur bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat berperan aktif untuk memperkembangkan bahasa Indonesia, sekaligus mendorong pemerkembangan bahasa daerahnya. Gambar 1 berikut menunjukkan kedudukan strategis bahasa daerah dalam tataran nasional.
Fungsi bahasa daerah, seperti tergambar pada gambar 1 menunjukkan bahwa di samping sebagai alat komunikasi pada daerah yang bersangkutan, juga sebagai pemerkaya kosa kata bahasa Indonesia. Ungkapan yang belum ditemukan dalam bahasa Indonesia dapat diserap dari bahasa-bahasa daerah dari seluruh persada nusantara. Dalam hal pembentukan istilah, bahasa daerah menempati kedudukan pertama setelah bahasa Indonesia, dan bahasa asing menempati urutan terakhir5.
2. Keterasingan Generasi Muda dari Bahasa Daerahnya
Menurut pengamatan kami, generasi muda Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) saat ini mulai mengalami keterasingan terhadap bahasa-bahasa daerahnya sendiri. Di kota-kota di Sulawesi Selatan, para orang tua di rumah lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya walaupun ibu-bapaknya adalah orang asli Sulawesi Selatan yang masih fasih menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Dalam pergaulan sehari-hari, sangat jarang dijumpai sesama penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasanya sendiri ketika mereka bertemu di mana pun. Menggunakan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan lebih canggung dibandingkan dengan teman-teman kita dari Jawa yang masih sangat fasih menggunakan bahasa Jawa di mana pun mereka bertemu sesama Jawa.
3. Surutnya Kebanggaan terhadap Budaya Asli Daerah
Di forum-forum resmi, kebanggaan putra-putri Sulawesi Selatan sendiri menggunakan falsafah leluhurnya belum terlihat. Putra-putri terbaik Sulawesi Selatan lebih nyaman menggunakan falsafah orang lain daripada falsafahnya sendiri. Mungkin pemahaman dan pengimplementasian nilai-nilai budaya mulai tergusur dari eksistensinya dalam lubuk hati generasi muda Bugis-Makassar, sehingga falsafah leluhurnya yang sangat sesuai dengan ”pemerintahan yang baik”, ”demokrasi”, ”kontrak sosial”, ”penegakan hukum”, ”etos kerja”, ”prestasi” dan sebagainya kurang ditonjolkan. Falsafah ”pemerintahan yang baik” dalam hal kepemimpinan dikenal dengan ”falsafah Sulapa Eppa”. Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat empat yang tak terpisahkan, yaitu: ”Maccai na Malempu; Waranawi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur; Berani lagi Teguh dalam Pendirian).
Dalam hal etos kerja dan mencari kesejahteraan, falsafah kerja keras ”Resopa natinulu na temmangingngi malomo naletei pammase Dewata” (Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah yang dapat menjadi sarana mendapat rizki dari Tuhan). Artinya, sarana untuk memperoleh kesejahteraan adalah kerja keras dan ketekunan. Dalam hal penegakan hukum, ada falsafah ”adekumi kupopuang” (hanya hukum yang kupertuan). Artinya, hanya hukumlah yang harus kutaati. Dalam hal demokrasi, falsafah Bugis-Makassar dikenal dengan ungkapan:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,
Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum
Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak
Dalam hal orientasi prestasi juga sudah mulai luntur. Saat ini banyak generasi pelanjut menganut prinsip ”instan”, yang ingin serba cepat. Padahal kenyataannya, umumnya orang yang menduduki posisi puncak meniti karier dari bawah. Hal ini dikenal dengan falsafah ”punggawa sawi” (Kapten kapal). ”Punggawa sawi” adalah jabatan kepemimpinan tertinggi di perahu layar dalam masyarakat Bugis-Makassar, sebagai masyarakat bahari. Seseorang tidak bisa menduduki posisi ”punggawa sawi” sebelum meniti karier sebagai ”sawi” (anak buah kapal). Falsafah ini mengandung prinsip bahwa suatu prestasi hanya dapat dicapai melalui suatu proses, tidak instan.
Falsafah Rumusan Makna
Pemerintahan yang baik maccai na malempu, waraniwi na magetteng Pemimpin negeri yang dapat mengantar masyarakat mencapai ketenteraman hidup adalah yang memiliki empat sifat, yaitu cerdas/cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian.
Kesejahteraan Resopa natinulu na temmangingngi malomo naletei pammase Dewata Hanya dengan kerja keras dan ketekunanlah, rizki akan dilimpahkan oleh Yang Mahasa Pengasih
Demokrasi Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat,Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum, Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak.
4. Ketercerabutan dari Akar Budaya
Banyak dimensi budaya yang tidak bisa diserap dan dijelaskan tanpa menggunakan bahasa daerah. Dalam bahasa Bugis-Makassar, falsafah Rewako atau Ewako, sama dengan falsafah ”pesse” atau ”pacce” yang berarti nyali. Artinya, seorang Bugis-Makassar haruslah memiliki nyali untuk mencapai kesuksesan. Hanya saja sering disalahartikan. Akibatnya, banyak generasi muda Bugis-Makassar bertindak nekat walaupun dia berada di pihak yang salah. Karena itu, memperkenalkan bahasa daerah terhadap putra-putrinya sejak dini merupakan sarana untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang sesungguhnya sangat sesuai dengan peradaban yang saat ini didominasi dunia luar. Kita bangga dengan kontrak sosial dengan menggunakan teori-teori dari luar, padahal sesungguhnya praktik kontrak sosial sudah lama dikenal (sejak abad ke-15) di negeri Bugis-Makassar jauh sebelum Prancis mengumandangkan kontrak sosial pada abad ke-186. Agar generasi mendatang tidak tercerabut dari akar sosial-budayanya dan tetap berwawasan nasional, memperkenalkan budaya lokal melalui bahasa daerah masing-masing perlu diperkembangkan.
5. Penyusutan Fungsional Bahasa Daerah
Bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan telah menunjukkan penyusutan fungsionalnya. Keadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan sejak tahun 1945 (kemerdekaan) mengalami serangan dari bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pemerkayaan bahasa Indonesia yang seharusnya didukung oleh bahasa-bahasa daerah yang tersebar di Indonesia, tampaknya peran bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak menunjukkan sumbangan yang berarti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hanya ada 11 bahasa daerah yang tercatat memberi sumbangan pemerkayaan bahasa Indonesia, yaitu bahasa Bali, Batak, Dayak, Jawa, Lampung, Madura, Minangkabau, Minahasa, Manado, Palembang, dan Sunda7. Ada sumbangan kata bahasa Bugis dalam KBBI, yaitu ”gantole” yang berasal dari bahasa Bugis ”gantolle” tetapi bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan tidak dicatat sebagai salah satu penyumbang utama seperti halnya 11 bahasa daerah lainnya yang dicatat di atas. Padahal, pada dasarnya, bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan dapat memberi sumbangan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris atau asing ke dalam bahasa Indonesia. Contoh:
Leksikon Konteks Makna dalam bahasa Bugis
Run The stocking runs. malara
The stocking runs. Kata run tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia dalam konteks ini dan hanya bahasa Bugislah yang paling tepat untuk mewakili kata run pada konteks tersebut, yaitu malara’. Banyak unsur kebudayaan Bugis yang tidak dapat diungkapkan dalam bahasa Indonesia:
Kosa kata Makna
kabo, makabo rumput agak panjang dan kurang indah dipandang, sehingga perlu dirapikan
Sande, beggo, lepa-lepa, dsb. nama-nama jenis perahu
cucuru, katiri mandi, pallu butung, nama-nama kudapan
Karena itu, bahasa-bahasa daerah tidak sekedar dilestarikan atau dipertahankan, tetapi harus dikondisikan agar dapat berfungsi secara maksimal.
6. Gejala Ketercerabutan akan Kebanggaan dari Kebudayaan Asli
Seni tradisional kecapi, sinrili, yang dipentaskan pada acara-acara seperti pernikahan dan upacara lainnya disertai dengan lagu-lagu yang mengandung nasihat dan perjuangan telah berangsur-angsur digantikan dengan musik dari luar. Seni bela diri seperti pencak silat mulai ditinggalkan dan digantikan oleh seni bela diri dari luar seperti taekwondo, karate, kungfu, dsb. Di Makassar ada kata asing yang digunakan seperti Emergency, Islamic Centre, Racing Centre, di Jakarta, nama-nama perumahan, tempat-tempat umum didominasi oleh nama-nama yang berbau asing, seperti The Plasa Semanggi, Ocean Palace, Cibubur Juction, Proyek Rest Area, BusWay, WaterWay. Hal ini menunjukkan bahwa kebanggaan terhadap bahasa dan budaya sendiri telah tercerabut dari habitatnya.
7. Gejala Ketertindasan Budaya Lokal
Di banyak daerah, nama-nama tempat umum yang memiliki nilai sejarah diganti dengan nama-nama populer dengan alasan nasionalisme. Contoh, ”Jalan Nanakeng” diganti dengan nama bahasa Indonesia ”Jalan Cempeda”. Nama-nama tempat umum seperti gedung-gedung pemerintah telah banyak diberi nama-nama orang luar atas nama nasionalisme. Contoh, nama rumah sakit kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan sama sekali tidak menggambarkan nilai-nilai budaya lokal. Nama-nama daerah para transmigran menggunakan nama daerah asal para transmigran, seperti Wonomulyo di Sulawesi Barat. Tentunya hal ini merupakan gambaran tertindasnya budaya lokal.
8. Gejala Menuju Kepunahan
Adanya gejala kepunahan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan ditandai dengan berkurangnya pajanan (exposure) bahasa daerah, baik di rumah tangga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Di banyak rumah tangga, bahasa keluarga telah didominasi oleh bahasa Indonesia. Jurusan bahasa Bugis-Makassar Universitas Negeri Makassar sudah ditutup karena tidak adanya pengangkatan guru bahasa daerah. Jurusan Sastra Daerah di Universitas Hasanuddin mulai mengalami penyusutan jumlah mahasiswa. Di samping itu, ditengarai berkurangnya penutur bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan karena serangan bahasa Indonesia dan bahasa asing lain, seperti bahasa Inggris yang mengglobal saat ini.
C. Model Pemerkembangan Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Selatan
Sebelum masa negara persatuan Republik Indonensia, bahasa daerah menduduki posisi penting pada tiap-tiap daerah sebagai alat komunikasi dalam berbagai aspek kehidupan suku bangsa yang bersangkutan. Namun, seiring dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia, bahasa daerah mengalami stagnasi dalam perkembangannya karena para penutur bahasa-bahasa daerah tanpa menyadari mulai meninggalkan bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi sehari-hari, khususnya di ibu kota provinsi, kota, dan kabupaten. Selanjutnya, serangan bahasa asing yang melanda dunia global semakin menyingkirkan bahasa daerah dalam pentas nasional.
Menyadari hal tersebut, diadakanlah kongres bahasa daerah yang dimulai dari kongres bahasa Jawa, kongres bahasa Sunda dan pada saat ini adalah kongres bahasa-bahasa Sulawesi Selatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghambat laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Pada dasarnya ada 5 model perjalanan ke depan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, yaitu model 1 adalah model ”pembiaran”, model 2 adalah ”pelestarian”, model 3, 4, dan 5 adalah model ”pemerkembangan”. Model pembiaran adalah membiarkan perjalanan bahasa daerah ke depan apa adanya, sebagaimana tergambar pada grafik hipotetik (kurva 1 gambar 2). Kurva itu menunjukkan bahwa jumlah penutur bahasa daerah semakin hari semakin berkurang. Ini berarti bahwa jika penurunan eksistensi bahasa daerah dibiarkan tanpa intervensi, maka secara alami bahasa daerah akan diakhiri dengan kepunahan.
Untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan (sesuai dengan makna lestari yang telah dijelaskan di atas), maka gambarannya sama dengan kurva 2 gambar 2. Namun, jika paradigma ini digunakan, maka kondisi bahasa daerah ke depan sama dengan keadaannya sekarang. Kondisinya telah mengalami penyusutan-penyusutan dalam perjalanannya selama 61 tahun Indonesia merdeka. Posisinya sangat terancam karena dahsyatnya arus globalisasi yang dapat merambah sampai ke seluruh sendi-sendi peradaban masyarakat di daerah.
Pemerkembangan bahasa daerah dapat ditempuh melalui 3 paradigma peta kinerja, yaitu peta kinerja yang ditunjukkan pada kurva 3, kurva 4, dan kurva 5 pada gambar 2. Peta kinerja pada kurva 3 menunjukkan bahwa pemerkembangan bahasa daerah ditempuh melalui tindakan secara pelan-pelan yang semakin lama semakin intensif, tetapi ketercapaian tujuannya lebih lambat daripada kurva 4. Pada paradigma peta kinerja kurva 4, pemerkembangan bahasa daerah lebih bersifat monoton, tetapi pencapaian tujuan lebih cepat daripada paradigma kurva 3 karena keintesifannya sedikit lebih tinggi. Paradigma peta kinerja pada kurva 5 menunjukkan pemerkembangan bahasa-bahasa daerah yang lebih intensif sejak dari awal tindakan, tetapi memerlukan usaha maksimal dan biaya yang lebih besar. Paradigma peta kinerja ini merupakan paradigma unggulan untuk memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal dan diharapkan capaian kemajuannya sama dengan kondisi sebelum tahun 1945.
Berdasarkan pilihan paradigma yang akan diambil pada gambar 2, model pemerkembangan pada gambar 3 dapat dijadikan sebagai model yang bersifat implementatif. Pengimplementasian model pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan pada model ini merupakan siklus yang semua unsurnya berjalan secara serempak, yaitu:
1. Penetapan visi, cita-cita, atau target yang akan dicapai. Kondisi kuantitatif dan kualitatif bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan yang diharapkan. Butir-butir yang dapat dijadikan sebagai indikator untuk dijadikan tolok ukur pemerkembangan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan meliputi:
• Jumlah penutur 67% ( dua per tiga bagian )
• Bahasa daerah sebagai bahasa rumah tangga 67%
• Kemampuan baca/tulis bahasa daerah 67%
• Bahasa daerah adalah bahasa pergaulan sehari-hari
• dst.
2. Penilaian kondisi riil bahasa-bahasa daerah. Hal ini dilakukan melalui survei.
3. Mengevaluasi hasil penilaian kondisi riil bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan dan membandingkan dengan target yang hendak dicapai.
4. Hasil evaluasi (tahap 3) berupa kesenjangan antara target dengan kondisi riil menjadi masukan bagi mengambilan tindakan atau pengondisian. Masukan itu bisa berupa fakta dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan.
5. Pengambilan tindakan dan pengondisian dapat berupa:
• Pembuatan atau penyempurnaan peraturan daerah;
• Perumusan atau penyempurnaan kebijakan pemerintah daerah;
• Pengadaan sarana dan prasarana;
• Pengadaan kegiatan-kegiatan rutin.
Tindakan dan pengondisian itu dipandu oleh visi, cita-cita, atau target pada bitir 1 untuk memperoleh hasil maksimal.
6. Siklus ini berjalan terus-menerus sampai target yang diharapkan benar-benar tercapai.
7. Bila target yang diharapkan telah tercapai, langkah selanjutnya adalah program pemertahanan/pelestarian.
Kegiatan pada butir 2, 3, dan harus dilaksanakan setiap tahun. Hasil kegiatan pada butir 3 digunakan sebagai rujukan untuk menetapkan kebijakan dalam penyusunan mata anggaran daerah setiap tahun sesuai dengan kegiatan pada butir 5.
D. Alternatif Tindakan dan Pengondisian
Berdasarkan masukan dari hasil evaluasi, secara garis besar tindakan dan pengondisian dapat ditempuh melalui 4 cara, yaitu:
• Peraturan daerah
• Kebijakan
• Sarana dan Prasarana
• Kegiatan-kegiatan
1. Peraturan Daerah
Peraturan yang dimaksudkan adalah penerbitan PERDA sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Misalnya, di jenjang pendidikan sekolah Bahasa daerah dijadikan muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2. Kebijakan
Penjabaran PERDA berupa langkah-langkah yang bersifat teknis. Misalnya, penetapan rencana pembangunan jangka menengah yang lebih rinci mengenai pemerkembangan bahasa-bahasa daerah.
3. Sarana/Prasarana
Pengadaan sarana/prasana sesuai dengan kebutuhan seperti:
a) Pengembangan Program Studi Sastra daerah yang didanai oleh PEMDA.
b) Pembentukan Pusat Studi Bahasa dan Kebudayaan Sulawesi-Selatan.
c) Pembentukan lembaga ”Kalang Budaya” yang berfungsi sebagai think-tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan.
d) Pengadaan rubrik koran/majalah berbahasa daerah.
e) Website (situs) berbahasa daerah.
f) Pembentukan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam bidang bahasa dan kebudayaan Sulawesi Selatan.
g) Dsb.
4. Kegiatan
a. Akademik
1) Pembelajaran bahasa-bahasa dan kebudayaan daerah
2) Penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
3) Pengembangan Kamus bahasa-bahasa daerah
4) Dsb.
• Non-formal
1) Lomba pidato, baca puisi, prosa, MC, dsb. dalam bahasa daerah
2) Lomba penulisan prosa, puisi dalam aksara lontara
3) Penggunaan dwi-bahasa nama-nama jalan, tempat umum, seperti gedung pemerintah, swalayan, pasar, sekolah, tempat hiburan, rumah sakit, dan sejenisnya.
4) Penulisan karya sastra yang bernuansa budaya Sulawesi Selatan.
5) Mengangkat kepermukaan budaya Sulawesi Selatan ke dalam film-film laga.
6) Pengadaan acara berbahasa daerah melalui radio dan televisi.
7) Penggubahan lagu-lagu berbahasa daerah dan musik trandisional, tari-tarian dan seni tradisional lainnya.
8) Penggunaan bahasa daerah dalam pidato-pidato (formal dan informal), komunikasi verbal pada acara-acara resmi dan tidak resmi (pernikahan, rapat, ulang tahun, dsb.)
9) Lomba musik tradisional, seperti kecapi, sinrilik, dsb.
• Informal
Pemerkembangan bahasa daerah yang bersifat informal dilakukan dalam lingkungan keluarga sebagai bahasa rumah tangga. Penanaman kecintaan terhadap bahasa dan kebudayaan daerah dapat dilakukan melalui ceritera rakyat yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa lebih menarik, seperti dikemas dalam bentuk buku ceritera bergambar, komik, CD. Banyak ceritera rakyat Sulwesi Selatan yang dapat membangun semangat berprestasi bagi generasi mendatang. McClelland, seorang psikolog Amerika dari Havard University menunjukkan bahwa bangsa maju didominasi oleh genarasi produktif yang di masa kecilnya banyak membaca ceritera perjuangan.
E. Penutup
Seiring dengan dahsyatnya serangan globalisasi terhadap bahasa-bahasa daerah, yang memungkinkan terancamkan keberadaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Selatan, diperlukan usaha-usaha maksimal. Usaha-usaha maksimal itu tidak hanya diarahkan pada pelestarian bahasa-bahasa daerah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu membuat bahasa daerah lebih diperkembangkan. Dengan kata lain, diperlukan penciptaan kondisi-kondisi untuk membuat bahasa daerah berkembang guna mengembalikan eksistensi bahasa daerah sebagaimana keadaannya sebelum tahun 1945.
Model pemerkembangan bahasa yang ditawarkan di sini diyakini dapat mengantisipasi kepunahan dan mengimbangi dampak negatif pengaruh luar. Untuk memperkembangkan bahasa-bahasa daerah secara maksimal diperlukan upaya-upaya dan pengondisian yang lebih optimal berdasarkan paradigma peta kinerja pada kurva 5 pada gambar 2. Perealisasiannya dilaksanakan melalui aktivitas yang bersifat terencana, konsisten atau terus-menerus, dan dievaluasi secara berkala berdasarkan model implementasi pemerkembangan yang tergambar pada gambar 3.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H. (1985). Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press., hlm. 86.
Departemen Pendidikan Nasional. ( 2003). Kamus Besar Bahasa Indenesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Ogata, Katsuhigo. (2004). Modern Control Engineering. Tokyo: Prentice Hall.
Purbo-Hadiwidjojo, M. M. (1999). Kata dan Makna: teman penulis dan penerjemah menemukan kata dan istilah . Bandung: Penerbit ITB, hlm 127.
Said, Mashadi. (1998). Konsep Jati Diri Manusia Bugis dalam Lontara: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kebijaksanaan Manusia Bugis. Disertasi Universitas Negeri Malang. Belum diterbitkan.
INTERFERENSI BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR BAHASA TORAJA DI SDN 013 TARAKAN (BAB II )
Oleh MARTINA S.
A. Bahasa
Soekono (91984 :1) berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat yang berupa bunyi suara. Maksud dari pendapat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia lainnya. Dengan demikian dapat di katakan bahwa manusia tidak dapat berinteraksi satu sama lain tanpa adanya bahasa.
Keraf (1995 : 1:2) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi, yang di hasilkan oleh alat ucap manusia. Pendapat tersebut menyatakan bahwa bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi berupa lambang bunyi ujaran yang mempunyai makna dan arti. Dengan demikian, dapat di katakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi manusia yang berupa lamnbang bunyi ujaran, yang memiliki makna dan arti.
Chaer (1995 : 159) mangatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu di bentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat di kaidahkan. Maksud pernyataan tersebut menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem yang tersusun menurut pola-pola tertentu dan terdiri atas beberapa kaidah yakni kaidah fonologi, morfologi, dan sintaksis.
B. Interferensi Bahasa
Chaer (1995 : 159) mengatakan bahwa interferensi merupakan perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Pernyataan tersebut pada dasamya menyatakan bahwa interferensi adalah perubahan sistem suatu bahasa akibat adanya pengaruh bahasa lain. Interferensi merupakan salah satu gejala yang sering terjadi dalam pemakaian bahasa karena adanya dua system bahasa yang dikuasai. Yakni bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua. Seseorang yang menguasai dua bahasa (dwi bahasa) dalam berbahasa kedua sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa pertama. Jadi bahasa pertama berinterferensi pada bahasa kedua. Interferensi lebih bersifat individual.
Interferensi yang terjadi berupa pengucapan baik secara lisan maupun tulisan. Interferensi bahasa lisan terdapat dalam ujaran seorang dwi bahasa, akibat penguasaan bahasa pertama. Penutur bilingual menggunakan dua bahasa secara bergantian. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penutur memiliki variasi bahasa. Ada penutur yang menguasai Bl dan B2 sama baiknya, ada pula yang tidak, serta ada pula yang kemampuan B2-nya sangat minim. Penuturan bilingual yang mempunyai kemampuan bahasa pertama (Bl) dan bahasa kedua (B2) sama baiknya tentu tidak mengalami kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan (kemampuan bahasa sejajar), sedangkan yang mempunyai kemampuan terhadap B2 jauh lebih rendah (tidak sama) dari kemampuan Bl-nya disebut kemampuan bahasa majemuk (Chaer, 1995:159). Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena dipengaruhi oleh kemampuan B1 -nya. Interferensinya terjadi pada beberapa bidang kebahasaan yaitu bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis.
C. Fonologi
1) Klasifikasi Vokal (Bahasa Toraja)
Bunyi vocal biasanya di klasifikasikan dan di beri nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertical dan biasa bersifat horizontal. Secara vertical di bedakan adanya vokal tinggi misalnya bunyi {i} dan {«} : vocal tengah , misalnya bunyi {e} dan {9} dan vocal rendah, misalnya bunyi {a}, secara horizontal di bedakan adanya vocal depan, misalnya bunyi {/} dan {e} vocal pusat, misalnya bunyi {3} dan vocal belakang, misalnya bunyi {M} dan {o}. Kemudian menurut bentuk mulut di bedakan adanya vocal bundar dan vocal tak bundar. Di sebut vocal bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misalnya vocal {o} dan {«}. di sebut vocal tak bundar karena bentuk mulut tak membundar, melainkan melebar ketika mengucapkan vocal tersebut, misalnya vocal {/’} dan {e} (Chaer, 1993:113).
Klasifikasi Vocal (Bahasa Toraja)
Klasifikasi vocal bahasa Toraja bertujuan untuk member! gambaran mengenai posisi ata tempat setoap fonem di wilayah alat-alat ucap berdasarkan pembentuknya,yaitu alat ucap mana yang aktif dalam proses terjadinya bunyi-bunyi vocal itu. Fonem vocal dalam bahasa Toraja sebanyak lima buah, yakni {i}, {u}, {e}, {o}, dan {a}. Selain itu bahasa Toraja yang memiliki rangkaian vocal, baik itu rangkaian vokal yang sama (kembar) maupun rangkaian vocal yang berbeda
2) Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Konsonan adalah bunyi ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan (Keraf, 1990 ; 25). Berikut klarifikasi konsonan dalam bahasa Indonesia.
Klarifikasi Konsonan (Bahasa Toraja)
Bahasa Toraja memiliki tujuh belas konsonan termasuk satu konsonan serapan yaitu (c) (sande, 1990 : 47). Bahasa toraja juga memiliki rangkaian konsonan yang di namakan konsonan kembar (geminate). Rangkaian ini memiliki ciri spesifik dan unik dalam bahasa toraja karena secara fonetis merupakan bunyi panjang yang kelihatannya sebagai suatu konsonan terdiri (Sander, 1990:55)
C. Morfologi
Ramlan (2001:21) mendefinisikan morfologi sebagai bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata baik secara gramatukal maupun leksikal. Ramlan mengatakan bahwa perubahan-prubahan bentuk kata terjadi padabentuk dasar yang mengikutinya. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada afiksasi dan reduplikasi. Komponen tersebut juga terjadi pada interferensi bahasa.
1. Afiksasi
Afiks atau imbuhan ada tiga, yakni imbuhan awal, imbuhan tengah, dan imbuhan akhir (Soekono, 198:92).
a. Imbuhan awal
1. Awalan / perfiks : me-, her-, di-, ter-, pe-, per-, se-, ke-
2. Prokilis : ku, kau
b. Imbuhan tengah Sisipan / infiks : -el-, -em-, -er-,
c. Imbuhan akhir
1. Akhiran / supfiks : -/, -kan, -an, -man, -wan, -wati, -is
2. Partikel : -lah, -kah, -tah, -pun
3. Eknis : -ku, -mu, -dal, -ndal, -anda
d. Konfiks : ke-an, me-kan, mem-per-i, mem-per-kan, di-i, di-kan, di-per-i, di- per- kan.
2. Reduplikasi
Mansoer (1996:143) menjelaskan adanya bentuk ulang dan bentuk ulang kata. Ulangan kata adalah kata yang di ulang-ulang, misalnya “mana,mana yang kau maksud?” kalinat tersebut terdapat kata ‘mantf yang diulang beberapa kali. Sedangkan kata ‘mand’ dalam kalimat “mana-mana yang kau sukai, ambil saja”. adalah kata ulang yang menyatakan benda atau bahan apa saja kata ulang (reduplikasi) adalah proses morfemis yang megulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 1994:182).
D. Sintaksis
Sintaksis merupakan bidang tataran linguistic yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsure-unsur lain sebagai satuan. Objek kajian sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.
1. Frasa
Frasa merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang masing-masing mempertahankan makna dasar katanya (kreaft, 1991: 175).
Setiap frasa memiliki satu unsur yang di sebut inti atau pusat, sedangkan unsur yang lain menjadi penjelas atau pembatas, misalnya: petani muda, tepi sawah, lereng gunung. Kata ‘petani’, ‘tepi’, ‘lereng’, adalah inti atau pusat, sedangkan kata ‘muda”, ‘sawah’, ‘gunung’, adalah unsur penjelas atau pembatasnya.
2. Klausa
Klausa adalah sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi prodikatif. Artinya, di adalam konstruksi itu ada komponen lain yang berfungsi sebagai subjek, sebgai objek, dan keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam konstruksi klausa ini, fungsi subjek boleh di katakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib (chaer, 1994:231). Misalnya ‘kamar mandi’ dan ‘adik mandi’. Konstruksi ‘kamar mandi’ bukanlah sebuah klausa karena hubungan komponen ‘kamar’ dan ; ‘mandi’ tidak bersifat perdikatif. Sedangkan konsruksi ‘nenek mandi’ adalah klausa karena hubungan komponen ‘nenek’ dan ‘mandi ‘ bersifat predikatif; ‘nenek’ adalah subjak dan ‘mandi’ pengisi predikat.
3. Kalimat
Bahasa dalam setiap hari, sering terjadi hubungan antar kata yang satu dengan kata yang lain. Hubungan antara kata-kata dapat menimbulkan kelompok kata atau kalimat. Kelompok kata merupakan bagian kalimat, tetapi tidak semua kelompok kata dapat di namai kalimat (Soekono, 1984:231).
Langganan:
Postingan (Atom)